Lili menghempas rubik fisher's cube nya ke atas ranjang bersamaan dengan tubuhnya yang juga terhempas di sana. Kedua tangannya terentang di bed cover dengan corak flamingo, sedangkan tatapannya terarah pada langit-langit kamar yang berhiaskan stikers bintang mendominasi.
Mata tajam Fajir sore tadi benar-benar mengusiknya. Lili bahkan yakin, kalau tatapan penuh intimidasi itu ditunjukkan Fajir untuknya... dan juga Nu. Tiba-tiba, sebuah kilas balik detik-detik sebelum ia bertemu Fajir di selasar parkir sekolah—yang seingatnya bahwa Fajir sudah lebih dulu bergegas keluar kelas bersama kedua sekutu barunya itu—menyeruak dalam pikiran.
Tadi, Lili harus mengikuti bimbingan belajar tambahan yang diadakan sekolah dengan tanpa memaksa setiap anak kelas sepuluh atau sebelas mengikutinya—kecuali akan menjadi hukum yang berbeda jika sudah menginjakkan kaki di kelas dua belas—bersama dengan Niken dan beberapa teman sekelas mereka. Tidak hanya itu, Nu juga mengikuti bimbel yang sama di kelasnya. Alhasil, jam pulang sekolah mereka sedikit mengulur karena mengikuti jadwal tambahan itu. Dan, jelas sekali bahwa Fajir—dihimpit Ares dan Dipo—yang bahkan langsung melesat keluar saat bel jam ketiga melengking berbunyi. Begitulah kelakuan jika ada jam kosong di jam terakhir sekolah, maka tingkat kesadaran para Sriwijayans kadang ikut 'kosong' juga.
Lili memutar otak, kepalanya terus-terusan dibayangi oleh mimik tak enak Fajir tadi siang. Belum lagi, suara cowok itu yang menanyakan soal apakah mereka merupakan teman satu sekolah ketika di SMP dulu terus terngiang di telinga Lili. Cewek itu mendesah pasrah, tubuhnya berbalik menjadi posisi tengkurap dengan dagu menyandar di kedua tangan yang terlipat. Kali ini, pandangannya menatap tanpa fokus ke bawah kolong meja belajar.
"Dia nggak lagi pengin nyoba untuk ngebully gue lagi kan?" gumam Lili sehalus angin.
"Kok kamu ngelamun?"
Suara tanya sontak membuat Lili menoleh ke pintu kamarnya. Dan disana, sudah berdiri dengan senyuman penuh kedamaian milik Mama dengan nampan di tangan. Mama berjalan mendekati Lili, kemudian dia mengambil tempat ke sisi ranjang. Sedangkan Lili, langsung bangkit dari posisi tengkurapnya.
Kaos oversize berwarna merah yang Lili kenakan berhasil menutupi sebagian pahanya yang tertutupi celana denim pendek. Lili duduk bersila dengan bantal berada dalam pangkuannya. Tak perlu ditanya, mata Lili bahkan sudah berbinar-binar ketika melihat isi nampan yang dibawa Mama.
Potongan mangga segar bersama mayones di mangkuk berbeda mampu menelan habis air liur Lili malam ini. Mama menyuapkan sepotong mangga pada Lili yang langsung diterima dengan suka cita oleh cewek itu.
"Mam, dapet mangga dari mana?" tanya Lili di sela-sela kunyahannya.
"Tante Era tadi ngasih. Panen katanya." Jawab Mama sambil menyodorkan sepiring mangga yang telah di potong-potong itu kepada Lili.
Lili mengangguk, baru juga selepas pulang sekolah tadi Nu menotice soal mangga di rumah sebelah yang pohonnya rendah, namun buahnya lebat sekali. Sungguh sulit dipercaya rasanya kalau tidak langsung melihat darimana buah mangga ini berasal. Selain buahnya yang besar-besar, rasanya juga manis banget. Ini juga bukan kiriman mangga pertama yang didapat dari tante sebelah rumah, sejak Lili pindah ke kota ini, sudah terhitung beberapa kali—hampirnya setiap pohon mangga itu berbuah—pasti tante Era selalu memberi beberapa buah untuk orang rumah. Opa pernah bercerita, kalau sejak dulu memang tetangga mereka yang satu itu ramah dan baik. Sama seperti orang tuanya.
"Opa mana, Mam?" tanya Lili sambil menyuapkan sepotong mangga ke dalam mulut.
Karena dia tadi langsung masuk ke dalam kamar dan belum keluar kamar lagi jadi Lili belum bertemu Opa. Tapi, biasanya tiap sore Opa akan duduk di teras luar dengan segelas kopi dan roti kering di atas meja, memandangi jalan kompleks yang kalau sore hari ramai anak kecil pulang mengaji. Namun, tadi Lili sama sekali tidak melihat Opa.
"Lum balek mekot Wak Wahyu liat toko tadi."
Toko yang di maksud Mama adalah toko Pempek dan Kerupuk 0004 sebagai bisnis keluarga—yang kini di kelola oleh Mama sejak mereka pindah ke Palembang—yang berada di ilir barat. Dulu, masih serupa warung kecil-kecilan, namun sekarang sudah menjadi toko dengan puluhan karyawan. Cukup besar dan terkenal di Sumatra Selatan. Bahkan, wisatawan yang ke Palembang sengaja datang untuk membeli buah tangan di toko milik keluarga Lili itu. Saat masih SMP ketika baru pindah ke Palembang, Lili ingat kalau dia sering membantu Opa dan Mama-nya di 0004, tapi setelah masuk SMA—apalagi ketika menginjakkan kaki di Sriwijaya—sebagian besar waktu Lili tersita, karenanya terkadang Lili hanya bisa ikut ke toko ketika akhir pekan saja.