Kalau bukan karena semalamam Lili yang tidak bisa tidur akibat pikirannya yang tidak mau berkooporatif dengan berhenti memikirkan Fajir dan masalalu mereka—yang mungkin saja akan terulang dalam waktu dekat ini—Lili pasti tidak akan sampai telat bangun. Ocehan mama bahkan masih kental terngiang ditelinga Lili sepanjang langkah penuh keburu-buruannya tadi di rumah. Pokoknya naluri ke-ibuan mama langsung keluar dengan segala kalimat wejangan yang lebih bisa diklasteringkan sebagai sebuah dumelan panjang; mama udah ketuk kamar kamu dari jam 5 pagi sampe bilang kalo itu udah jam 6, lho. Tuh kasian kan Nu, jadi nungguin kamu lama, udah gitu ikutan telat juga.
Seperti yang diketahui bahwa ucapan adalah doa, apalagi kalau yang mengucapkan itu adalah seorang Ibu. Maka, bisa dipastikan jalannya menuju langit berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan yang biasa. Lili memegangi helm ungu ber-Standar Nasional Indonesia ditengah perut seperti sedang memeluk, sedangkan fokusnya sudah terkunci pada gerbang Sriwijaya yang tertutup rapat—dengan Pak Hamid berdiri memakai seragam lengkap dengan posisi istirahat ditempat—yang jaraknya tak kurang dari satu meter dari posisinya berdiri sekarang. Juga, kumpulan Sriwijayans yang juga telat sepertinya.
Lili menoleh kesamping, mendapati Nu yang sedang duduk diatas motor merahnya yang telah mati mesin—salah satu peraturan lain yang harus di patuhi Sriwijayans, untuk tidak menghidupkan mesin kendaraan dalam radius dekat dengan lingkungan sekolah jika gerbang sudah tertutup—dengan sorot mata lurus ke depan. Menyadari kalau ia sedang ditatap, Nu spontan menoleh dan tersenyum.
"Sori..."
"Nggak usah pasang tampang bersalah gitu deh, Li," Ucap Nu pelan. Cowok itu tahu sekali kalau Lili pasti sedang merasa bersalah karena hari ini mereka terlambat ke sekolah. Tapi, tidak ada yang bisa menebak takdir bukan? Nu juga merasa tidak masalah jika sekali ini terlambat, lagipula mereka sudah berusaha cepat, namun apa daya kemacetan selalu terjadi di sepanjang jalan ke sekolah jika hari biasa seperti ini. "Kalo ekspresi lo masih kayak gitu aja, gue nih yang malah merasa bersalah sama lo..." tambahnya ketika mendapati ekspresi yang dikeluarkan Lili tetap tak berubah.
Keduanya berjalan mengikuti antrean lumayan panjang untuk menuju ke dalam melalui pagar kecil di sebelah pagar utama, yang biasanya menjadi tempat lalu-lalang para Sriwijayans ataupun guru-guru jika butuh keluar kawasan sekolah di jam ajar-mengajar. Pintu gerbang itu muat dilalui oleh pengendara motor juga, jadi para murid yang telat dan membawa kendaraan pun bisa melalui pagar itu tanpa harus membuka pagar utama.
Lili mengubah ekspresi, namun kedua alisnya masih menyatu kebawah. Cewek itu menoleh pada Nu sebelum kembali menatap ke depan, "Sori ya, Nu."
"Iya, Lili... mau berapa kali coba lo bilang 'sori'?"
Lili mendesah. "Abis gimana dong, kolom nama lo di blackbook jadi tercemar karena gue. Gue beneran nggak enak tau, Nu."
"Kasih kucing kalo nggak enak,"
"Ha?"
Candaan yang tidak satu kapal—atau lebih tepatnya koneksi Lili yang kurang stabil hingga tak bisa menangkap candaan yang dilempar Nu barusan. Dengan tampang penuh kebingungan yang membuat Nu malah gemas dan mengacak puncak kepala Lili tanpa sadar, keduanya terus berjalan dengan Nu yang berjalan masih menduduki motornya sambil mendorong.
"Li, satu kolom ternoda di buku hitamnya Pak Terada nggak bakal bikin lo di keluarin dari sekolah kok. Percaya deh sama gue..."
"Aih," Lili menggembungkan pipi, "Gue juga tau! Maksud gue, ya gue nggak enak gitu sama elo Yasnu..."
"Nggak pa-pa, Li. Gue serius. Lagian gue juga pengin sekali ngerasain gimana rasanya terlambat dateng ke sekolah, dan ternyata seru juga." ujar Nu setengah terkekeh. Nu tidak bohong soal itu, karena selalu menjadi anak 'baik-baik' semasa dia bersekolah, cowok itu sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya terlambat datang ke sekolah, dimarahi guru karena bandel atau tidak mengerjakan tugas. Dan hari ini Nu berhasil merasakan satu diantara banyak hal yang tak pernah dirasakannya itu, makanya alih-alih menggerutu penuh penyesalan seperti yang dilakukan Lili, Nu malah tersenyum takjub.
Aneh memang.
"Wah tumben terlambat," sapa Pak Hamid ketika Lili masuk ke dalam melewati pagar lebih dulu. Pria setengah baya dengan kulit coklat yang agak menghitam itu sedikit kaget karena salah satu siswi yang dikenalnya ikut ke dalam rombongan murid terlambat hari ini. Namun dia juga hanya menjalankan tugasnya dengan baik sehingga pria berprofesi satpam itu tidak bisa membantu kali ini.
Lili meringis kecil, "Kesiangan, pak."
"Pasti nonton drama korea ya?" tebak Pak Hamid dengan penuh ke-sok tahuan.
Pertanyaan Pak Hamid barusan sontak membuat Lili terkekeh karenanya. "Kayak tau drama korea aja deh, bapak."