Lili

Ria Rahmawati
Chapter #6

#05

Ada tiga klastering dalam pembagian kelompok guru versi Sriwijayans di SMA Sriwijaya ini. Pertama, jajaran guru killer. Kedua, jajaran guru favorit—biasanya karena si guru asik dalam pembawaannya mengajar, atau karena tidak sering memberikan tugas atau kuis. Ketiga, jajaran guru menyebalkan—untuk yang satu ini biasanya deretan guru yang selalu datang ke kelas ketika bel belum berbunyi.

Walaupun normalnya guru-guru di Sriwijaya datang tepat waktu atau setidaknya jika ngaret hanya beberapa menit untuk kegiatan belajar-mengajar. Tapi jelas, tidak pernah lebih dari sepuluh menit—kecuali kalau si guru memang tidak bisa mengajar hari itu, itu juga pasti ada guru piket yang memanggil ketua kelas dari kelas yang ajar si guru untuk datang ke kantor. Dan sekarang, Lili tidak bisa menahan perasaan leganya ketika menyambangi XI S1—bersama Fajir—dan menemukan suara kegaduhan dari dalam ruang kelasnya.

"Oi Jir, telat? Tumben? Kok barengan ama Lili? Berangkat bareng ya? Cieee..."

Satu suara sumbang nan menjengkelkan milik Ares si cowok tengil yang pikirannya hanya 'ciee...cie...' saja itu mampu membuat semua penghuni kelas yang tadinya asyik dengan kesibukan mereka masing-masing langsung menatap ke arah Lili dan Fajir. Kemudian sapaan 'ciee...' keluar serempak dari mulut murid-murid itu. Tanpa terkecuali.

Mendelik kesal sesaat kepada Ares yang cengar-cengir duduk di kursi guru, Lili segera kabur ke mejanya.

"Jangan isengin dia, Res." Ucap Fajir.

"Gue nggak ngisengin. Gue nanya serius tau!" jawab cowok berpotongan rambut ala polisi itu. disandarkan Ares tubuhnya pada sandaran kursi dengan kedua tangan di atas bahu kursi, kedua matanya menatap menyeringai pada Fajir yang masih menatap lurus ke arah meja Lili dengan satu tangan memegangi tali ransel hitamnya yang menggantung pada satu bahu. "Lo naksir ya sama ceweknya Nu?"

Fajir menoleh. "Siapa?"

"Liliana Zahrantiara."

Fajir tersenyum miring sambil mendengus, "Dia bukan pacarnya kali." Kemudian cowok itu berjalan menuju mejanya. Keningnya berkerut ketika tidak menemukan Dipo disana. Otomatis, kepalanya langsung menoleh dengan pandangan bertanya pada Ares yang tengah melangkah mendekat.

"Kesiangan bangun, abis begadang katanya."

"Jadi nggak masuk?"

Ares mengangkat bahu, mengempaskan tubuh pada kursinya. "Istirahat kedua ntar dia masuk. Lagi minta surat dokter katanya."

Fajir mengangguk paham. Bukan hal baru bagi cowok itu mendengar hal seperti ini karena jelas saat di Jakarta dulu Fajir bahkan beberapa kali melakukan hal itu saat dirinya 'terpaksa' terlambat masuk karena alasan pribadi. Maksudnya, habis menonton pertandingan bola yang memaksanya untuk tidur jam lima pagi misalnya. Tanpa bertanya lagi, Fajir langsung menaruh tasnya di kolong meja, ia mengeluarkan HP-nya dari dalam tas dan mendapati satu pesan dari bank yang menginformasikan bahwa uang bulanan telah di transfer. Tanpa merasa perlu menggubrisnya, cowok itu langsung meletakkan HP-nya di atas meja dan bertanya,

"Kemana guru kita?"

"Pak Midar?"

Fajir mengernyit. "Mungkin?"

"Nggak tau tuh, padahal doi rajin banget masuk kelas lima belas menit sebelum bel masuk. Terkejud abang terheran-heran..." jawab Ares sambil menyanyikan kalimat terakhirnya yang dia kutip dari lirik lagu yang viral beberapa waktu ini.

Fajir mengangguk lagi. Kembali, pandangannya mengarah ke bangku cewek berkuncir satu yang sedang mengobrol dengan teman sebangkunya itu dengan menerawang. Lili jelas masih membencinya karena cewek itu mengira dia yang telah memprovokasi anak-anak di sekolah mereka dulu karena surat cinta salah alamat itu. Tanpa sadar Fajir mendesah.

"Ngapo be?" tanya Ares ketika mendengar desahan seperti frustasi dari teman barunya. Dengan posisi Ares yang duduk menghadap kebelakang dengan kedua tangan menjulur ke meja Fajir, cowok itu mengikuti arah pandang sahabatnya. Lalu, menyeringai, "Naksir lo ya sama Lili?"

"Nggak," Fajir langsung membuang muka. "Ngaco lo."

"Udah punya satpam dia, Jir. Mending elo naksir sama Niken aja. Gemes kan inosen gitu? Ya meskipun pinteran Lili sih, cantik juga."

Sungguh saran yang nggak berfaedah sekali. Karenanya, Fajir langsung menggeleng mencela, cowok itu mengambil rubik dari dalam tasnya, lalu memainkannya. Tak lama, Fajir berujar, "Tu cowok bukan pacarnya Lili. Jangan ngegosip ah Res, kayak emak-emak kompleks aja lo."

"Masa? Kok lo bisa tau? Wah, lo tadi pedekatean ya sama dia pas telat?" Ares bertanya dengan nada atraktif dan menambahkan, "Emang beda anak alumni Jakarta ini ya, gercep!"

"Cowok yang lo maksud itu sodara tiri gue." Tukas Fajir dengan nada malas.

Sejujurnya Fajir sama sekali malas membahas soal hubungan yang terjadi antara dia dan sodara tirinya itu, bahkan Fajir malas mengakui kalau Nu merupakan sodara tirinya. Rasanya masih berat, dan akan selalu berat. Karena ia tak akan pernah melupakan kejadian di masa silam itu, apalagi memaafkan dua dari tiga orang yang terlibat dalam drama; yang akhirnya menghancurkan seorang lainnya.

Sebuah awan hitam yang tak kunjung turun hujan, juga tak kunjung pergi ke tempat lain. Disana, selamanya.

Ares memasang ekspresi terkejutnya. Kepalanya maju ke depan menatap Fajir lurus-lurus. "Lo serius?"

"Nggak penting juga gue boong soal itu kayaknya." Dengusnya.

"Aku bener dak percayo! Wow!" tanpa sadar Ares mengeluarkan baso Palembangnya. Menurut Ares, ini adalah fakta langka—walaupun dia tahu jika guru-guru mereka pasti tahu soal ini—tapi Ares yakin kalau hanya segelintir anak yang tahu soal ini. dan melihat bagaimana cara Fajir memergunakan kata ganti dalam penyebutan nama Nu, pikiran cerdas Ares langsung mengambil kesimpulan bahwa hubungan antara kedua saudara tiri itu tidaklah baik.

***

"Nu telat jemput lo nya, kok sampe telat?" tanya Niken sambil menyodorkan tisu ketika Lili berhasil mendudukkan bokongnya di kursi, ia kemudian melepas tas ranselnya dan menaruh tas itu di belakang punggung.

"Makasih," Ucap Lili ketika berhasil menarik dua lembar tisu wajah dan saat itu juga ia langsung mengelap bagian bawah mata dan bawah hidungnya yang berkeringat. Hal yang selalu terjadi dan mungkin menjadi ciri khas Lili sepertinya untuk kasus berkeringat di dua daerah tersebut. Setelah selesai berkutat dengan peluhnya, Lili segera meremas bekas tisu itu dalam genggaman, lalu menatap Niken yang menunggu jawaban dari pertanyaannya. Lili menggeleng, "Enggak. Tapi, gue yang bikin telat."

"Kok bisa? Lo mainin rubik sampe kemaleman lagi?"

Lili meringis. Bukan itu penyebabnya terlambat bangun, tetapi karena anak baru di sekolah mereka itulah, dan sekarang Lili harus bertambah pusing karena Fajir tiba-tiba berkata aneh ketika mereka dihukum karena telat tadi. Namun, Lili nggak bisa menjelaskan hal itu pada Niken. Alhasil, dia malah mengangguk membenarkan tebakan teman semejanya itu.

"Terus Nu gimana? Marah?"

Lili menggeleng. "Nggak kok."

Lihat selengkapnya