Lili

Ria Rahmawati
Chapter #8

#07

Fajir masih merekam jelas jejak-jejak masa lalu yang membuat hatinya patah. Kepada angin malam yang tiap malam selalu di hampiri Fajir dengan harapan semoga bisa membawa serta jejak itu menyingkir dari memori sensorisnya. Agar hippocampus tidak lebih jauh melihat gambaran-gambaran yang di simpan di sana. Atau setidaknya jika Fajir bisa memilih, maka ingatan tentang Kota Palembang beberapa tahun silam bisa ia masukkan ke dalam short-term memory, sehingga tidak akan bisa lagi di recall memory dengan tak berperasaan oleh ingatannya.

Asap rokok, asap kendaraan roda dua maupun empat, atau bahkan makian bawel sang Nenek di Jakarta-lah yang sesungguhnya bisa membuat Fajir sadar kalau dia masih hidup. Bahwa dia bukan hanya manusia tak berarah, yang terus-terusan ingin mengilah bahwa kejadian di saat Papa-nya yang pergi menelantarkan Mama yang sedang terbaring lemah di rumah sakit waktu dulu adalah hal yang memang dialaminya. Yang sampai kini, dengan tak tahu aturan di recall memory oleh otaknya. Jika Jakarta Fajir selalu mengendarai motornya di tengah malam sebagai cara menghilangkan ingatan yang selalu menghantuinya. Setidaknya, dengan begitu Fajir bisa merasakan sedikit kelegaan dari dadanya yang menyesak.

Jakarta tidak pernah tidur, adalah istilah yang disematkan kepada kota itu. Belakangan Fajir yakin, jika Jakarta mendapat julukan seperti itu semata-mata bukan karena lalu-lalang kendaraan yang selalu ada bahkan ketika waktu telah menunjukkan larut, tetapi jauh dari itu... Karena beberapa orang mengalami hal serupa sepertinya, dan kemudian memilih membiarkan angin malam menerpa wajah dan membuat mereka menggigil. Dengan harapan, agar segala hal yang terekam dalam memori sensoris otak bisa ikut melebur pergi dari dalamnya.

Fajir berasal dari keluarga broken home. Mamanya yang menderita kanker terpaksa dilarikan kerumah sakit demi kesembuhan. Semuanya peduli, Fajir terkadang bergantian dengan Papa,dan bahkan Nenek yang berdomisili di Jakarta ikut datang jauh-jauh untuk merawat.

Walaupun akhirnya takdir telah memiliki jalannya sendiri.

Jauh sebelum angin sejuk datang menyapa, sebuah angin beliung memangkas habis harapan keluarga Fajir. Papa-nya pergi ketika Mama tanpa sengaja melihat pesan masuk dengan kata-kata super romantis yang ditujukan untuk sang papa—tepat disaat jadwal kemo akan dimulai. Dan menolak untuk memberikan penjelasan, papa memutuskan angkat kaki dan memilih perempuan simpanannya. Enam bulan setelah Mama wafat, Fajir tahu kalau dia telah memiliki Ibu tiri—tidak tanggung-tanggung, bahkan Fajir langsung dikenalkan kepada anak kecil seumurannya sebagai saudara.

Jika Papa tidak berniat membunuhnya, seharusnya dibiarkan saja ia tinggal menetap di Jakarta. Bukannya malah menambah kesedihan dengan menyuruhnya kembali ke kota penuh luka ini. Kota dimana segala bentuk kesengsaraannya menghujamnya.

Dan kini, Fajir harus kembali masuk ke dalam neraka yang orang lain biasa menyebutnya sebagai 'rumah'. Fajir melepas helm yang ia kenakan dan menaruhnya diatas satu spion ketika motornya telah berhenti di atas carport rumah berpagar besi coklat tinggi itu. Mang Jarwo—sekuriti yang membukakan pintu pagar tadi langsung berlari menuju carport dan mengambil alih motor itu untuk ia masukkan ke dalam garasi.

"Mas Fajir, motornya mau di cuci dulu nggak?" tanya Mang Jarwo ketika Fajir hampir sampai di depan pintu. Cowok itu menjawab pertanyaan dengan tangan kanannya yang terangkat sambil bergoyang tanpa menoleh ke arah sekuriti itu. Membuat Mang Jarwo menggeleng pelan sambil bergumam ketika mendorong motor itu masuk ke dalam garasi, "Beda banget sikapnya dari Mas Yasnu. Didikan Ibu memang penting ternyata..."

Fajir menutup daun pintu dengan cepat. Seharusnya dia tidak pulang sesore ini ke rumah karena dia hanya menjadikan rumah ini sebagai tempat untuk tidur dan mencuci perkakasnya. Fajir bahkan tidak pernah menyentuh makanan yang dibuat oleh wanita setengah baya yang kini berjalan mendekat dari arah dapur sambil tersenyum menyapa,

"Fajir udah pulang, nak?"

Fajir melirik sekilas. Perasaan ingin mengumpati wanita ini sudah tak tertolong lagi. Tetapi ia tidak ingin menimbulkan masalah, ini bukan Jakarta dan tidak akan ada Nenek yang membelanya disini. Tanpa menjawab sapaan yang menurutnya hanya sebuah basa-basi itu, cowok itu terus melangkah melewati wanita setengah baya dengan daster setinggi betis berwarna khaki.

"Kalau Bunda nanya itu di jawab, elo kan punya mulut." Suara Nu tiba-tiba terdengar dari undakan tangga paling atas. Cowok itu sudah berganti pakaian dengan kaos polo sambil memegang komik ditangannya. Matanya menatap tajam Fajir, lalu beralih ke Bunda yang menggerakkan kedua tangannya dengan mengatakan 'sudah, berhenti' tanpa suara kepada anak semata wayangnya.

Fajir tersenyum sinis. Ia memasukkan satu tangan ke saku celana kemudian melangkah menaiki tangga. Dan ketika langkahnya sudah berada di posisi yang sama dengan Nu, suara Fajir mengudara. "Dia nyokap lo. Bukan nyokap gue."

"Tapi dia istri Papa."

Wajah Fajir mengeras. Matanya menatap tajam pada cowok berkacamata itu, sebelum suara dinginnya keluar. "Bagi gue istri bokap cuma satu, yaitu almarhumah nyokap gue. Nggak ada yang lain."

Kemudian Fajir melanjutkan langkahnya hingga ke koridor lantai dua menuju kamarnya di ujung ruangan. Suara bantingan dari daun pintu terdengar membuat Nu menggeleng pelan. Cowok itu melangkah menuruni undakan tangga dan berkata, "Fajir benar-benar dak sopan samo bunda."

Bunda tersenyum lemah. Tangannya bergerak mengusap pipi anak laki-lakinya yang lebih tinggi daripada dirinya dengan sayang. "Fajir wajar begitu sama bunda. Dia pasti kesal karena kejadian dulu."

"Bun, kita sama-sama tau kalo nggak seperti itu ceritanya." Desah Nu. "Bukan Bunda yang merebut—"

"Sudah Nu."

Nu menatap Bunda dengan pandangan nelangsa, dan akhirnya kembali menghela napasnya. Tangannya terurai kemudian mengukung Bunda ke dalam pelukan erat, Nu menyandarkan dagunya pada bahu Bunda yang semakin menua. "Bunda harus tau kalo Nu sayang sekali sama bunda."

"Bunda juga sayang sama kamu, nak." Gumam Bunda sambil mengelus rambut belakang kepala anak laki-lakinya dengan pikirannya yang melayang-layang ke kejadian beberapa tahun silam ketika akhirnya dia bertemu lagi dengan Dharma, seorang duda yang terus datang dengan wajah sendu di kafe miliknya. Seseorang yang mengaku telah memiliki dosa besar kepada mendiang istrinya karena telah meninggalkan keluarga hanya karena napsu semata, dan ternyata hubungannya bersama si penggoda tidak bertahan lebih dari dua bulan—namun ketika Dharma kembali dan ingin meminta sebuah pengampunan, sang istri telah dinyatakan meninggal.

Entah bagaimana awalnya, tetapi Eva—nama panggilan Bunda—mengingat bahwa ia akhirnya menerima ajakan menikah Dharma lima bulan setelah perkenalan mereka. Namun karena rahimnya yang diangkat akibat tumor yang ia derita dulu, sepasang suami istri itu tidak bisa mendapatkan keturuan sebagai pengikat mereka berdua. Namun Eva tahu, jika Dharma menerimanya dengan tulus. Setulus tangisan suaminya itu tiap kali menceritakan bahwa ia telah berbuat dosa dengan mendiang istri dan anaknya malam itu.

***

Lihat selengkapnya