Cewek itu paling cantik kalau lagi ngiket rambut. Rasanya ungkapan itu memang benar karena sekarang garpu yang dipegang Fajir terlepas dari tangannya sampai meringsek jatuh ke ubin lantai bersamaan dengan sepotong pempek yang tertusuk di garpu itu.
Fajir tidak pernah menganggap pada qoute bodoh yang sering dia baca di sosial media atau dari cuplikan film thailand yang pernah di tontonnya itu benar sampai hari ini. Melihat Lili mengikat rambutnya yang terurai membuat cewek itu semakin terlihat berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya. Dan Fajir sadar kalau suara berisik yang kini terdengar adalah berasal dari jantungnya yang kini berdetak tak karuan.
Daripada Lili menyangkanya yang bukan-bukan, Fajir segera menggeleng pelan menyadarkan diri sambil berdeham. Tangan kananya dengan cekatan menyambar gelas es kacang yang isinya tinggal setengah itu kemudian menyesapnya.
Ini beneran gila, batin Fajir. Bisa-bisanya dia terpesona—sampai menjatuhkan benda pula—dengan cewek yang sedang mengikat rambut. Dia yakin Ares dan Dipo akan mengolok-oloknya jika tahu soal ini.
Tengsin, tengsiiin...
Fajir melirik Lili yang kini sedang menatapnya bingung. "Yaampun, lo kenapa?"
Fajir mengacak rambut, "Nggak, kesemutan aja tangannya tadi. Sori ya bikin kaget." Ucap Fajir kemudian menunduk untuk mengambil garpunya yang terjatuh tadi dan meletakkannya di atas meja. Pempek pesanannya ini benar-benar enak, bahkan rasanya sama persis seperti yang di beli Mama Fajir dulu. Tetapi, dengan ritme jantung yang mendadak berisik dan hati yang nggak karuan begini, Fajir merasa sulit rasanya untuk menghabiskan sisanya.
"Ini bisa di take away?" tanya Fajir sambil menunjuk pempeknya di atas meja.
Lili mengangguk. "Lo mau balik?"
Kalau dia mengiakan, pasti Lili akan berpikir Fajir nggak nyaman disini bersama cewek itu—padahal yang jadi masalahnya adalah dirinya sendiri—jadi, Fajir lebih baik membuat kebohongan kecil hari ini.
"Gue lupa kalau Ares ngajakin tanding PES di rumahnya."
"Emang lo tau jalan ke rumahnya?"
Fajir terkekeh kecil. "Li, disini nggak seluas Jakarta. Lo nggak usah khawatir gitu sama gue, gue nggak akan nyasar kok."
Mendengar respons Fajir, Lili langsung memutar bola mata malas. "Aih, siapa yang khawatir ish," cewek itu berdiri dengan wajar sedikit memberengut karena diledek barusan. Lalu kembali menambahkan, "Tunggu, gue bungkus ini dulu kalo gitu." Imbuhnya sambil membawa nampan beserta beberapa potong pempek disana.
"Tambah sepuluh ya, Li." Ujar Fajir. Kepalang tanggung, sepertinya hari ini dia akan menyambangi rumah Ares beneran. Lagipula, ini masih terlalu siang untuk pulang ke rumahnya dan Fajir masih terlalu enggan meski untuk menyunggingkan senyum kepada ibu tiri dan Papa-nya.
Bukan karena kenapa-kenapa, cowok itu hanya belum sepenuhnya menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya kini. Karena dia sedikit takut, jika dia bersikap baik kepada perempuan yang menjadi istri Papa, mungkin Mama akan sedih dan terluka di surga sana.
Setelah menunggu tiga menit dan melihat tubuh Lili keluar dari balik sekat kayu yang menyambung ke dapur, Fajir bangkit. Dia meraih kunci motor dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Langkahnya kemudian mendekat menuju kasir dimana cewek penyebab jantungnya berisik itu sudah berdiri disana.
"110 ribu." Ucap Lili sambil menarik struk kasir. kepalanya mendongak menatap cowok yang lebih tinggi darinya itu, menunggu. Tapi, keningnya langsung mengernyit bingung ketika Fajir menyodorkan dua lembar pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu, juga HP milik cowok itu.
"Lo ada kode promo?" tebaknya. Di 0004 memang sering mengadakan promo sosmed, jadi tokonya akan memberikan sejumlah diskon bagi siapa saja yang memfollow akun sosial media 0004. Tapi, masa iya Fajir tipe-tipe cowok penganut diskon?
Gelengan Fajir menjelaskan praduganya. Kemudian, Lili langsung merasakan deg-degan parah ketika alasan cowok itu mengudara. Menggunakan suara dalam dan terkesan santai, ditambah mata hitam Fajir yang seperti menguncinya.
"Ini gue bayar nggak pake promo-promo. Terus HP-nya tolong diambil dan masukkin nomor hp elo, ya."
Demi neptunus!
"Nomor gue? Buat apaan?" tanya Lili berusaha terlihat sesantai mungkin. Cewek itu mengambil dua lembar uang beserta HP milik Fajir. Mengambil kembalian dari dalam mesin kasir, namun dia belum mengutak-atik HP itu untuk memasukkan nomornya.
Lili bisa melihat satu alis Fajir terangkat memandangnya. Lalu menjawab, "Lo pikir cowok minta nomor hp cewek untuk apa?"
Untuk apa? Lili juga bingung. Dia sama sekali tidak pernah di mintai nomor HP sebelumnya. Dan hari ini, cowok yang menjadi pusat lukanya terdahulu tiba-tiba datang ke toko, mengajaknya untuk menemani cowok itu makan pempek, terus meminta nomor HP-nya pula! Bagaimana bisa Fajir mengacaukan kinerja otaknya hari ini dengan sangat lancar. Astaga!
"Lo nggak mau macem-macem kan?" selidik Lili, jemarinya mulai menekan tombol di atas HP tersebut hingga layarnya menyala. Sebelum dia menginputkan nomor HP-nya, rasanya Lili harus mengetahui alasan sebenarnya kenapa seorang Alfajir Sanjaya meminta nomornya.
Lili menatap lurus. Menunggu cowok itu membuka mulut.
"Gue nggak akan ngejual nomor lo kok. Tenang aja."
Aih, bukan jawaban itu yang dia inginkan! Lagipula, siapa juga yang mau membeli nomor HP cewek sepertinya. Kalau dia seorang selebgram atau artis terkenal sih mungkin saja... Lili menggerutu kesal dalam hati.
Melihat wajah Lili yang menggerut sebal, Fajir menghela napas, cowok itu menggacak rambutnya pelan dan berujar, "Mungkin aja gue nanti penasaran lo lagi apa atau dimana."
"Ha?"
Fajir berdecak. "Mau elo atau gue nih yang masukin nomor HP lo?"
Tahu kalau pertanyaan 'Ha?'-nya tidak akan menemukan jawaban. Lili akhirnya mengembuskan napas, lalu mulai menginputkan sederet nomor di HP itu. Setelahnya, cewek berkuncir satu itu mengulurkan kembali HP ke pemiliknya.
Fajir tersenyum puas. Disimpannya nomor itu dengan cepat, lalu memasukkan kembali HP-nya ke dalam saku jaket. "Lain kali gue mampir lagi kesini. Sampe ketemu besok lusa." Ucapnya sebelum melangkah pergi dari dalam toko.
Lili mengikuti punggung Fajir hingga menghilang dari balik pintu kaca, lalu mengembuskan napas keras-keras. "Siapa juga yang ngarepin lo mampir kesini lagi!" gumamnya sebal.
Baru juga dia berbalik, hendak pergi dari meja kasir. Tahu-tahu wajah penuh kejenakaan milik Fikar terlihat disana. Cowok yang sudah seperti kakak sendiri bagi Lili itu tersenyum menggoda.
"Gebetan baru ya?"
Lili menggeser tubuh Fikar ke samping sambil berbicara ketus, "Sotoy!"
"Ah, jadi bener gebetan baru. Kakak bilang ke Bos ya—"
"Kak Fikaaar!" gerutu Lili sambil melemparkan celemek ke arah Fikar, kedua tangan Fikar dengan sigap mengambil celemek itu dan tertawa keras.
"Pinter kau nyari yang ganteng. Adek aku bener lah kalo gini." Ucap Fikar disela-sela tawanya.
"Rese!"
***
Ares menyeringai lebar dengan dua mangkuk di tangan dia berjalan menuju sofa ruang tengah di rumahnya. Rumah besar Ares tampak lengang karena memang hanya terisi dia dan kakak perempuannya yang seorang dokter gigi. Dan sekarang, kakak perempuan Ares itu sedang berada di rumah sakit untuk dines.