Bukan Fajir CS namanya kalau tidak bisa membuat orang ingin membuang komplotan itu ke antartika saking kesalnya. Bayangkan saja, 20 menit waktu yang harus terbuang sia-sia karena tiga cowok itu—plus tiga siswa cowok lainnya yang terjangkit dalam drama pentas bahasa itu baru nongol batang hidungnya saat 10 panggilan masuk dari Gilda ke nomor Ares tidak di gubris sama sekali oleh cowok itu. Dan, cowok-cowok berandal yang punya kemampuan membuat orang bisa tua mendadak itu akhirnya datang setelah Gilda menugaskan Lili menghubungi nomor Ares atau siapapun di antara enam cowok yang saat ini terlihat dari atas sedang melangkah menuju area kelas.
"Jangan marah dulu, Gil," Ares menyela langsung ketika melihat cewek berambut bob itu sudah ingin memberikan kuliah tujuh menit kepada para berandal yang bahkan tak menunjukkan tampang bersalah sedikitpun pada para cewek-cewek yang sudah menunggu hampir berkarat. "Asem mulut nggak ngudut dari pagi."
"Rokok mulu, sakit nyesel lo pada!"
"Doain aja abang ni sehat-sehat supayo biso nafkahin adek yo..." Ares menyeringai.
Gilda berkacak pinggang melotot dengan tatapan bercampur jijik, kemudian ia mendengus malas, "Seenggaknya angkat telepon dan bales pesan gue."
"Kan udah," Ares menaikkan alisnya. "Malah di telepon langsung sama cinderella, ya nggak pangeran?" Ares memainkan alisnya menatap Fajir yang sedang mengotak-atik HP ditangannya.
Cowok itu mendongak, mengerutkan dahi hingga kedua alisnya bertaut satu.
"Lo nggak tau Li gue hampir di tonjok karena elo lebih milih gue dari pada pangeran lo. Iya sih, gue tau pesona gue emang nggak bisa di tolak tapi—"
"Res, fokus ya tolong. Gue tau lo jomblo lumutan, tapi plis demi kelas kita menang elo sampingin dulu omong kosong lo itu, okay?" Gilda memutar bola mata. Lalu, menoleh kepada Lili meminta cewek itu membagikan beberapa lembar kertas yang sudah di fotokopi dan di staples pada ujung bagian atas kertas. "Li, tolong ya..."
Lili mengangguk, melepaskan satu airpods dari telinga kanan dan mengambil setumpuk kertas yang sudah tidak terasa hangat lagi seperti tadi ketika baru keluar dari mesin photokopi. Ia berjalan berusaha santai ketika sepasang mata yang terus mengawasi langkahnya itu semakin ia dekati, tangannya terulur memberikan kertas berisi naskah 'cinderella' yang akan menjadi acuan untuk latihan drama hari ini dan seterusnya itu kepada anak-anak—minus Niken yang izin telat latihan karena ada kumpulan KIR.
Lili menyodorkan kertas kepada Fajir yang sejak tadi sibuk mengutak-atik HP itu sambil berdeham, "Nih."
Fajir mendongak, kemudian mengangguk dan mengambil kertas itu dari tangan Lili. "Thanks."
Dan satu tindakan Fajir yang membuat Lili tercengang—namun tidak mampu menolak adalah, ketika Fajir mengambil airpods yang di genggaman tangan Lili. Cowok itu menunjukkan airpods milik Lili yang sudah berada di tangannya sambil mengoyangkan tangan pelan. "Gue lupa bawa. Barengan ya dengerin musiknya?"
Lili mengerjap, lalu mengangguk kaku. Dengan cepat ia segera pergi menuju tempatnya semula.
Ares yang sejak tadi memerhatikan di sebelahnya, nampak menyeringai lebar ketika melihat sudut bibir Fajir yang tertarik ke atas, lantas ia berbisik pelan. "Modhuus kamu mas. Modhuus kerdus."
"Bacot," balas Fajir tanpa suara. Memasangkan airpods itu ke telinga dan lagu milik payung teduh langsung memenuhi indera pendengaran cowok tinggi itu.
Ternyata masih sama selera musiknya kayak dulu... Fajir bergumam dalam hati.
***
Niken berhenti mencatat dengan jemarinya masih memegang bolpoin yang ia gunakan, cewek itu memiringkan kepala menatap cowok berkacamata yang sedang fokus dengan eksperimen kepada tumbuhan brokoli di depannya. Beberapa anak-anak itu sedang berkumpul di ruang ekskul untuk mengerjakan proyek yang akan mereka ikut sertakan di lomba tingkat nasional itu, dan hal ini juga alasan kenapa Niken mengambil peran Ibu Peri pada pentas bahasa perwakilan kelas—meskipun jelas ia tentu saja sangat ingin menjadi pemeran utama dalam drama tersebut. Lomba KIR sangat mengiurkan dan wajib diikuti, namun pentas bahasa akan membuat cewek itu semakin menjadi idola di SMA Sriwijaya apalagi jika kelas mereka sampai menang. Namun, dengan terpaksa dilepaskannya kandidat sebagai pemeran utama itu—lagi pula, Miss. Chatrine jelas sudah menentukan pilihan, dan dengan menyebalkan semua teman sekelasnya langsung mengamini pilihan itu.
"Nu, di kelas lo dapet drama apa untuk pentas bahasa nanti?" Niken bertanya.
Nu membenarkan letak kacamata-nya, tubuhnya menegak sambil menjauhkan HP yang sedang menyetel musik klasik dari tumbuhan brokoli di depannya, lalu menjawab. "Aladin. Kelas kalian?"
"Oh, kalo kelas gue Cinderella. Elo tau, Lili dan Fajir jadi pemeran utamanya lho!" seru Niken riang dengan senyuman yang tak luput dari wajah cewek itu.
Niken bisa melihat bagaimana perubahan mimik wajah cowok di sebelahnya itu dan diam-diam tersenyum, lantas dia menambahkan. "Hari ini ada latihan, cuma gue izin bentar karena masih ada kerjaan disini. Lagian dialog gue pendek di drama itu jadi lumayan mudah di inget."
Nu memperbaiki posisi. "Lili gimana?"
Pertanyaan yang sudah bisa di duga Niken. Dan tentu saja maksud 'gimana' itu bukan soal kabar cewek yang Nu tanya, melainkan hal lainnya.
"Lili seneng kok, malah dia yang langsung setuju ketika ditunjuk jadi Cinderella-nya. Terus nggak lama Fajir nawarin diri," Ucap Niken. Cewek itu membawa rambutnya ke belakang telinga semakin menikmati perubahan wajah Nu.
"Lili seneng?"
Niken mengangguk. "Mereka tu kayaknya deket ya dari dulu? Gue ngeliatnya kayak Fajir naksir sama Lili deh, soalnya Ares sama Dipo sering cengin gitu."
Mendesah kasar, Nu mengedikkan bahu. "Nggak tau."
Kemudian cowok itu kembali berkutat pada tanaman brokoli dan musik klasik-nya dengan pikiran yang sudah tidak sefokus tadi. Menggeser rasa cemburu seperti yang banyak orang definisikan, perasaan Nu jelas saat ini tidak masuk ke dalam klastering 'cemburu' karena lebih tepatnya yang ia rasakan kini adalah perasaan gamang. Lili adalah sahabatnya, dan fakta bahwa dia akan berdekatan dengan cowok senakal Fajir tentu mengusiknya sebagai seorang sahabat, belum lagi sahabatnya itu merupakan sepupu Renata, gadis yang ia sukai.
Nu tidak ingin Renata mengecapnya lalai menjaga sepupu kesayangan cewek itu, tetapi pagi itu ekspresi saudara sambungnya itu benar-benar mengusik Nu—ada perasaan tidak enak yang coba dikalahkan oleh ego-nya ketika Fajir terlihat kesal karena 'tuduhan' Nu padanya. Tapi jelas, Nu mengatakan hal itu bukan tanpa alasan. Dia sudah lama 'mengenal' Fajir dan paham bagaimana cowok itu selalu bersikap kepada dia dan juga pada bunda.
***
"Sori ya temen-temen, gue terlambat banget." sapaan suara Niken membuat kumpulan anak-anak yang sedang bersiul-siul menggoda pada dua insan yang sedang melakukan dialog pada scene berdansa karena tatapan intens yang di tunjukkan Fajir-lah penyebab suara-suara berisik di XI S1 itu terjadi.
Suara itu mendadak senyap, seperti terkoordinir kepala-kepala disana otomatis menoleh ke pintu dan mendapati Niken dengan senyuman khasnya sudah berdiri di ambang pintu kelas.
"Nggak pa-pa, Ken. Orang cantik mah bebas pokoknya." Jawab Ares asal.
"Iya, nggak kayak kita-kita orang jele' ini, telat duapuluh menit langsung kena semprot sama Nyai." Tambah Dipo, membuat cowok berambut gondrong itu langsung mendapat pukulan dari Gilda menggunakan kertas fotokopian milik cewek itu.