Ternyata ramalan zodiak yang dikirimkan oleh Renata itu benar. Lili berbaring seharian dengan wajah menelungkup pada bantal di ranjangnya. Tubuhnya berguncang dengan sesekali jika isak tangis tak dapat dibendungnya.
Pasca insiden tadi siang di sekolah—yang membuat Mama datang ikut rapat di kantor kepsek, akhirnya dengan penuh pertimbangan nilai dan sepak terjang Lili sebagai murid baik-baik itu mampu menolong cewek itu dari ancaman Drop out. Sebagai gantinya, Lili mendapatkan skorsing selama satu minggu penuh. Walaupun Mama dan Renata (yang langsung datang ketika menerima informasi itu dari Mama Lili) mengatakan kalau kedua perempuan itu percaya seratus persen bahwa Lili tidak mengambil dompet itu, namun nyatanya itu belum bisa menyulutkan kesedihan Lili atas tuduhan yang dia terima.
Seperti yang terlihat, Lili bahkan terus-menerus mengurung diri di dalam kamar dengan seragam Sriwijayans yang masih melekat di tubuhnya. Cewek itu bahkan tidak merubah posisinya sejak awal.
Mama yang sejak tadi pengintip dari celah pintu yang dibiarkan terbuka sedikit itu mengesah. Ia percaya bahwa Lili tidak bersalah. Setelah puluhan purmana terlewat, baru kali ini Mama melihat anaknya itu menangis sesegukan. Namun, ia tidak bisa banyak membantu karena bukti yang salah alamat itu tidak bisa dielakkan.
"Biar Tata aja yang bicara sama Lili, bicik." Renata mengelus pundak Mama pelan sambil tersenyum menenangkan. Kemudian, dilangkahkannya kaki masuk ke dalam kamar.
Mama mengintip sebentar, sebelum akhirnya pergi dari tempatnya semula.
"Nu tadi chat gue. Katanya dia mau kesini, lo di teleponin nggak diangkat-angkat. Mau dibawain apa?" seloroh Renata sambil membawa tubuhnya duduk diujung ranjang. Cewek itu menoel-noel punggung Lili, mengabaikan isak tangis yang di dengarnya. "Oi, mau apo kau? Atau mau dibawain adek tiri-nyo Nu bae, hm?"
"Ta..."
Berhasil! Renata tersenyum ketika Lili menjauhkan tubuhnya dari bantal yang kini sarungnya rembes karena air matanya itu. Wajah lecek Lili langsung terlihat, membuat Renata menggeleng pelan. "Gue, bicik, opa dan Nu tuh percaya sama elo, Li. Udahan dong nangisnya, ya?"
Lili mendesah. "Gue beneran nggak ngambil dompet itu dan gue nggak tau kenapa tu dompet bisa tetiba ada di tas gue..."
"Iya, gue tau," Ucap Renata kemudian memeluk Lili erat. Tangannya bergerak menepuk punggung Lili perlahan-lahan, sambil menggumam, "Gue akan bantuin Nu buat cari tahu lewat rekaman cctv yang ada di koridor. Tenang ya, Li. Semua akan terbongkar kok."
"Makasih ya, Ta."
Renata mengangguk, menguraikan pelukannya. Tangan berkutek coklat itu bergerak menghapus sisa air mata di pipi Lili, lantas tersenyum. "Jadi?" kembali ia mengajukan pertanyaan.
"Jadi?" Lili membeo.
"Mau dibawain sodara tirinya Nu atau—hahaha!" Renata langsung terkekeh ketika Lili mendorongnya pelan sampai punggungnya terhempas ke ranjang. Cewek itu mengambil HP-nya dan memotret wajah sepupunya yang terlihat kesal namun sedikit nelangsa itu. "Gue bakal kirim ini ke cowok lo lewat Nu."
"Ih, gue nggak ada cowok. Jangan ngarang!" gerutu Lili. Kedua mata sembapnya menyipit. "Kebanyakan follow akun gosip sih." imbuhnya jengkel.
"Gue nggak percaya. Tadi aja gue ngeliat dia nangkring lama di atas motor di depan pagar rumah ini kok," Jawab Renata dengan santai. "Dan elo masih bilang kalau kalian nggak pacaran? Mana ada teman sekelas yang repot-repot diem di atas motor di depan rumah, mana panas lagi cuacanya."
Kedua mata Lili kontan membeliak. Cewek itu seketika melupakan hal yang membuatnya bersedih sejenak. Tubuhnya condong dengan jemari menggenggam erat bantal. "Ngapain Fajir kesini!?"
Renata mengedikkan bahu. Tangannya kemudian mengambil HP Lili yang berbunyi di nakas, dan satu senyuman lebar terukir di wajahnya saat melihat id caller si penelpon. "Kayaknya cowok ganteng emang ditakdirkan untuk panjang umur ya?" ucapnya sambil menunjukkan layar HP Lili ke sang empunya.
Lili menahan napas. Kepalanya menggeleng, mengisyaratkan agar Renata membuang jauh-jauh apapun yang sedang cewek itu pikirkan. "Jangan diangkat."
"Ups, tangan gue kepleset," kikik Renata pelan , kemudian membawa HP Lili ke telinga kanan. "Ya, hallo?"
Lili menggerutu. Dasar Renata jahil!
"Siniin HP gue," pinta Lili tanpa suara, yang langsung mendapat gelengan pelan dari Renata.
Sepupu Lili yang super hits itu tersenyum lebar, mendengarkan dengan khidmat kepada cowok yang menelepon itu.
"Lili ada nih lagi melotot, tapi karena matanya sembap abis nangis bombay jadi nggak serem... lo tadi kenapa nggak ngetuk pintu? Eh tunggu!" Renata berseru, menatap Lili dengan menaik-turunkan alisnya kemudian kembali bersuara, "Mending elo kasih penjelasan langsung aja deh sama cewek lo. Dia penasaran banget kenapa elo malah diem aja diluar pagar." Tukasnya. Lalu menjauhkan HP itu dari telinga dan menyodorkannya kepada si empunya, "Nih. Thank me later!" bisiknya kemudian berlari keluar kamar sambil tertawa puas.
Lili menatap jengkel kepada tubuh yang menghilang dibalik daun pintu kamar itu sebelum menarik napas pelan dan mengembuskannya tak kalah pelan. Dibawanya HP itu ketelinga kanan, lalu suaranya mengudara. "Ng, ini gue."
Tak ada respons diujung sambungan membuat kening Lili mengernyit. Cewek itu menjauhkan HP-nya, mengira kalau sambungan telepon itu telah terputus, namun ketika melihat log durasi yang masih terus berjalan, ia kembali mendekatkan HP ditelinga. Tak lama berselang, suara serak dan sedikit dalam milik Fajir terdengar. Santai, namun efeknya membuat letupan tak wajar pada jantung Lili.
"Gue percaya sama elo," kata Fajir pelan.