"Lili nggak masuk, udah langsung selingkuh aja lo Jir." Celetuk Ares dengan cengiran lebarnya ketika mendapati Fajir dan Niken yang masuk ke dalam kelas berdua. "Tau nih, dasar cowok ganteng tipe nggak setia!" Angga menimpali. Dari bangkunya, ia kemudian menatap Niken. "Ken, jangan mau sama Fajir ya? Cewek cantik itu milik semua orang. oke?"
"Apaan si oncom goreng. Lo kira Niken barang apa?" Ares mencentang kepala Angga dari bangkunya.
Niken yang sejak tadi di goda-goda itu hanya tersenyum saja. Cewek itu kemudian jalan menuju bangkunya dan duduk disana. Sikap santai yang sudah terlatih sejak dulu, membuat Niken tidak perlu repot-repot menutupi kegelisahan yang kini bersarang di benaknya. Tanpa kentara, Niken kemudian mengalihkan pandangannya pada cctv yang berada di pojok atas ruang kelas, lantas mendengus.
Benar-benar sial karena Niken melupakan hal yang terpenting satu ini. Jelas sekali Fajir sudah memegang kartu AS dan siap membuat hidupnya di sekolah hancur jika sampai hal itu terbongkar. Tetapi, mengaku kepada guru BP juga bukanlah jawaban dari masalah ini karena jelas akan ada sanksi yang setimpal dengan perbuatan yang ia lakukan. Sekarang ia seperti berada diujung tebing yang menjorok ke jurang. Serba salah.
Niken mendesah lagi-lagi. Baru juga ia hendak mengambil bukunya, seseorang keburu mengambil tempat di kursi Lili yang kosong. Cewek itu menoleh dan mendapati Sarah sudah duduk di sana, cewek dengan aksesoris biru itu nyengir. "Gue duduk sini ya. Nggak keliatan mau nyalin tulisan dari papan tulis kalau di belakang."
"Mm," Niken mengangguk tersenyum.
Jam pelajaran terakhir adalah milik Bu Endang, satu-satunya guru sejarah yang mendapat mandat memegang seluruh kelas sebelas IPA dan IPS. Bu Endang merupakan satu-satunya guru di Sriwijaya yang berasal dari Jawa tengah. Beliau pindah ke kota Palembang karena mendapatkan suami orang asli sini, tetapi herannya kultur khas di sana rupanya sama sekali tidak terkikis meskipun sudah hampir lima tahun Bu Endang menetap di sini, terbukti dari cara bicara—meskipun bukan menggunakan bahasa jawa, namun sisi lemah lembut khas wanita solo berbicara tak pernah absen—dan bagaimana guru berumur 30 tahunan itu menghias kepalanya dengan konde. Dan cara mengajarnya yang lebih kepada memenuhi buku catatan anak muridnya—karena menurut Bu Endang itu adalah salah satu hal efektif agar anak muridnya menangkap dari pada yang mereka catat—dan cara menjelaskan guru wanita itu yang sering dijuluki anak-anak cowok sebagai lullaby.
"Err, Ken? gue kok nggak percaya ya kalo Lili yang ngambil dompet Jelita," Sarah memiringkan kepala menatap Niken yang sedang berkutat dengan buku Sejarahnya.
Niken berhenti membaca, walaupun fokus cewek itu belum juga pindah dari buku di depannya. Ia bersikap santai, lalu menoleh pelan. "Gue juga nggak yakin dia yang ngambil. Kayak nggak mungkin Lili kan baik."
Sarah mengangguk setuju, semakin mengutarakan hasil analisanya. "Apa ada yang nggak suka ya sama dia? Terus sengaja gitu bikin dia bersalah?"
"Tapi bukti riil udah kelihatan," Niken mengedikkan bahu. "Lagipula, kita nggak bisa nilai orang baik cuma dari tampang dan prilaku yang dia tunjukkin ke kita kan?"
"Iya sih..." Sarah mendesah. "Yasnu kok nggak bertindak sih? Ngomong doang sahabat, bukannya bantuin malah diem be!" tiba-tiba Sarah merasa kesal.
Cewek itu benar-benar mengidolakan persahabatan Lili dan Nu, menurut Sarah keduanya terlihat serasi dan terkadang dia malah yang kelimpungan selalu ingin menjodohkan dua orang itu. Tetapi, sekarang Sarah jadi kesal sendiri karena Nu malah tak nampak mengambil tindakan sedikitpun, padahal biasanya cowok itu selalu pasang badan kalau Lili melakukan hal ceroboh seperti lupa membawa buku cetak atau seragam olah raga. Atau, kalau Lili tiba-tiba pingsan ketika upacara berlangsung.
Niken mulai mengiring opini tanpa kentara. "Atau mungkin Nu udah tau yang sebenarnya makanya dia nggak ngebelain?"
"Tapi gue tetep nggak percaya." Kata Sarah kekeuh. Cewek itu sudah sekelas dengan Lili sejak kelas sepuluh, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk menilai apakah seseorang itu baik, atau nakal, atau sombong menurutnya.
Sarah mengerutkan dahi, kemudian menghadap ke depan ketika Bu Endang telah datang.
"Inspiratif banget ya Bu Endang." Cewek itu geleng-geleng kepala.
Niken tersenyum kecil dan mengangguk setuju. "Tapi, tu anak-anak kayak nggak ngotak. Nggak berhenti ribut padahal udah ada guru di depan kelas."
"Kalo gue jadi Bu Endang, udah gue kasih nilai jelek tu cowok-cowok. Biar aja rambut kebanggaan Dipo di gundulin karena rankingnya nurun!"
"Jahaaaat lo!"
"Hahaha!" tawa Sarah meledak ketika membayangkan Dipo dengan rambut seperti Ares. "Beneran jadi upin-ipin mereka berdua."