Lili mengerutkan dahi, memandang bingung kepada cowok yang sedang menangkup kedua pipinya di telapak tangan cowok itu. Kedua matanya menatap lurus ke bola mata cokelat milik cowok berpotongan rambut polisi itu dengan bingung. Tadi, Fikar memanggilnya turun dari atas ruko karena kata cowok itu Lili memiliki teman yang datang ke toko mereka. Jumlahnya ada tiga orang, dan satu di antaranya adalah pacar Lili yang pernah datang ke toko juga.
Kepalanya langsung di penuhi wajah Fajir—bukannya kepedean, tetapi sejak Fajir 'berkunjung' di 0004 para pegawai (apalagi Fikar) santer menggoda Lili sampai cewek itu berada dalam fase tidak peduli dan mengabaikan godaan-godaan itu. Belum lagi terkadang Opa ikut-ikutan menimbrung dengan mengatakan kalau pria baya itu menyukai teman Lili satu itu karena terlihat sopan dan baik.
Kembali, ia mengudarakan pertanyaannya. "Res, apaan sih..." gumamnya dengan wajah bersemu merah seraya melepaskan tangkupan tangan Ares di kedua pipinya.
"Pipi lo kurusan. Nggak cubitable lagi." kata Ares, lalu mencubit pipi cewek di depannya.
"Nggak kok. Biasa aja tuh," Jawab Lili cemberut sembari mengusap pipinya yang di cubit. Lili lalu berdeham gugup ketika matanya menangkap tatapan tajam Fajir yang sedang mengarah kepadanya. Berusaha mengabaikan, Lili langsung menyuruh ketiga teman sekelasnya itu untuk mengambil tempat. "Duduk dulu, bentar ya."
Selepas Lili yang menghilang ke balik pintu kayu di dapur, Fajir langsung melemparkan kunci motornya ke arah Ares yang langsung di tangkap dengan sigap oleh cowok itu dengan seringaian lebarnya.
"Kenapa? Nggak suka?" tanya Ares kepada Fajir sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Plus, mukanya yang nggak selo dan terkesan ngajak ribut.
Fajir mendengus, mengambil kunci motornya dari tangan Ares kemudian membuang muka. "Nggak."
"Kalo dipikir-pikir, cantikan Lili sih daripada Gilda. Body jug—auch!" Ares mengaduh kesakitan saat satu kosetan dan injakan tendangan pada satu betisnya ia rasakan. Matanya menatap tajam pada dua temannya yang akan bertanggung jawab kalau ia sampai cidera. Sambil mengusap kepala dan betisnya bergantian, Ares menggerutu. "Gue kan cuma just kidding, hei kalian. Anjir sakeeet!"
"Jangan body shamming." Dipo bersuara, tak peduli dengan apa yang terjadi pada teman sejawatnya itu. Cowok itu benar-benar paling anti dengan yang namanya mengatai fisik—walaupun ia tak munafik jika dia menyukai cewek seperti Gigi Hadid atau Miranda Kerr—tetapi bagi Dipo, semua cewek itu sama saja.
Dulu, Dipo memiliki seorang adik sepupu yang sangat ia sayangi, namanya Ela. Gadis itu satu tahun dibawahnya. Dipo sangat populer di SMP-nya dulu, dan sama seperti siswa pada umumnya, Dipo si biang kerok dan suka adu kekuatan membuatnya semakin terkenal di kalangan cewek-cewek, makanya tak heran jika Dipo banyak sekali modusin cewek di sekolah mereka. Hingga suatu hari, Poppy—pacar Dipo—tanpa sengaja dipergoki Dipo sedang menyuruh Ela mengantri buku di koperasi. Dipo yang marah karena adik sepupunya diperlakukan seperti itu langsung memutuskan hubungannya dengan Poppy. Merasa tak terima, Poppy akhirnya melakukan penindasan dan memberikan berbagai macam julukan kepada Ela dengan harapan Dipo akan kembali bersamanya. Namun, karena Dipo semakin jauh dari jangkauan, bersama teman sekelompoknya, Poppy melakukan tindak kekerasan kepada Ela. Membully gadis itu habis-habisan, mengatai fisik Ela yang gemuk dan pendek—hingga julukan-julukan sadis itu menjadi panggilan Ela sehari-hari di sekolah. Akhirnya, karena merasa hidup tak adil—meskipun Dipo selalu membelanya—Ela akhirnya mengakhiri hidupnya. Sejak saat itu tidak ada lagi Dipo yang terlalu berandal seperti dulu, cowok itu juga menjadi rajin belajar karena mengingat adik sepupunya itu dulu selalu mengomelinya karena malas belajar. Dan yang paling penting, cowok itu jadi lebih menghargai perempuan.
"Bercanda, Dip. Elah."
"Jangan gitu lagi, lo nggak tau apa yang bakal terjadi kalau kita body shamming gitu, Res," Dipo akhirnya mendesah pelan, tangannya terkepal setiap mengingat sepupu kesayangannya itu harus pergi dari sisinya untuk selamanya. "Gue cuma nggak mau kejadian Ela keulang lagi." imbuhnya.
Ares langsung diam. Dia jelas tahu cerita adik sepupu Dipo itu ketika tanpa sengaja melihat foto gadis itu di dalam dompet temannya dan kemudian Ares bertanya.
"Sori, Dip, Jir..." Ares mendesah menyesal. Bukan hanya dari suara, namun lewat mimik wajah pun terlihat. Mau tak mau membuat Dipo dan Fajir yang tadinya setengah jengkel jadi geli sendiri melihatnya. Karena sepanjang mengenal Ares, cowok itu bahkan tidak pernah sekalipun menyesali perbuatannya—termasuk sering membuat guru-guru senewen.
"Anjir, nggak cocok banget lo pasang tampang kayak gitu!" Kedua teman Ares itu langsung tertawa terbahak-bahak.
"Orang lagi serius juga!" kata Ares jengkel.
"Ahya, lo juga jangan pernah bandingin fisik gitu, apalagi di depan Lili. Paham?" Fajir memperingati disela-sela tawanya.
"Kenapa emang?"
Namun, belum juga Fajir menjawab, Lili sudah nongol dengan nampan di tangannya. cewek itu tersenyum kecil menatap ketiga teman laki-lakinya seraya melangkah mendekat.
"Pokoknya jangan." Tukas Fajir pelan.
"Duh Li, jadi enak gini dapet beginian." Dipo mencairkan suasana. Cowok gondrong itu langsung menyambar pempek yang disuguhkan Lili, padahal tuan rumahnya jelas belum menawarkan makanan itu pada para tamunya.
"Malu sih, Dip," Ares menggeleng-geleng, namun tangan kanannya juga terulur menggapai es kacang merah 0004 yang terkenal sangat lezat itu. Ia menyendokkan es kacang itu dan membiarkan cairan dingin itu jatuh melewati tenggorokannya, lalu mendesah nikmat. "Es kacang emang sebaik-baiknya kombinasi pada cuaca Palembang yang nggak pernah mendung ini."
Lili tertawa mendengar manifestasi Ares barusan.
"Nggak sia-sia gue bawa lo kesini ya." Ucap Fajir pada Ares.