Lili

Ria Rahmawati
Chapter #17

#16

Lili memimpikannya lagi.

Memimpikan kejadian yang dialaminya ketika beranjak remaja. Ledekan, hinaan, dan segala macam aspek pendukung yang membuat masa menuju remajanya itu seperti di neraka. Kembali ia seperti berada di tengah-tengah kerumunan yang mengerumuninya sambil melontarkan ejekan-ejekan menyakitkan. Perihal tubuh gemuknya, perihal wajah chubby-nya. Ia ingin berlari, namun seseorang menahannya dan membuatnya kembali terduduk—menerima sorakan-sorakan itu lagi. Kerumunan itu semakin bertambah, wajah-wajah yang sama dengan wajah yang mengejeknya dulu nampak berkali-lipat seolah mereka memiliki kembaran. Mengejeknya hingga ia menangis. Ia tersesat, ia ingin lepas dari belenggu. Ia mulai berdiri, memberanikan diri untuk keluar dari kerumunan sambil berlari dan ketika ia tahu bahwa di depannya bukan sebuah jalan yang bisa di lewati—tetapi karena ia tidak dapat menghentikan laju kakinya, akhirnya ia terjerembap. Jatuh ke tanah; tanah yang tiba-tiba longsor dan menenggelamkannya ke dasar jurang...

Sebelum akhirnya ia terjaga karena sebuah suara yang nyaring memanggil. Peluh membasahi kening Lili padahal dingin AC jelas terasa menyelimuti. Cewek itu terduduk di ranjang dengan napas terengah-engah saat ia berhasil menembus selubung awan hingga membuatnya kembali ke dalam realita.

Lili mengerut saat suara berisik yang tadi membangunkannya dari mimpi buruk—dia harus berterima kasih pada alarm HP-nya—dan menatap HP silver itu dari tempatnya. Tangannya terulur malas mengambil HP itu, menggeser ikon pada layar untuk mematikan alarm yang ia setel lima belas menit lebih awal dari biasanya.

Cewek itu menyibak selimut dan membawa kakinya menapaki dinginnya ubin lantai di kamar saat suara adzan subuh terdengar lima menit kemudian. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi Lili segera melesat ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Jika untuk waktu magrib atau isya biasanya Mama, Opa dan dirinya akan melakukan shalat berjamaah di ruang shalat, tetapi berbeda jika di pagi buta begini. Karena Opa yang seperti biasa akan pergi ke masjid yang letaknya di antara kompleks perumahan Lili dan perumahan sebelah, sedangkan mengikuti Mama—Lili memilih untuk melakukan ibadah sendiri di dalam kamarnya seperti biasa.

"Asli gue nggak khusu' dah ini!" gerutunya ketika selesai melipat mukena dan menaruhnya di atas meja kecil dekat al-qur'an. Ini semua salah Fajir yang mengatakan ingin menjemputnya sampai membuatnya kepikiran melulu. Dan pasti, mimpi buruknya itu datang juga sebagai bentuk manifestasi karena cowok itu juga ada di sana.

Setidaknya menurut Lili bahwa Fajir ada di sana dan ikut meledeknya juga.

Dengan cepat ia menggeleng. Dia sudah bertekad untuk tidak ingin mengenang masalalu-nya dan melanjutkan hidup dengan bahagia, di samping itu juga saat ini tidak ada alasan untuknya untuk tidak bahagia. Meskipun menyebalkan, Lili mengakui kalau Fajir sekarang berbeda—maksudnya tidak seperti dulu.

Dan Lili telah menanamkan dalam hati bahwa ia akan berusaha menilai dari perspektif berbeda soal Fajir.

Cowok itu baik, cowok itu tampan, cowok itu...

Gue emang nggak mau lo salah paham kok. Kita kan soon to be...

"Aiiih!" seru Lili sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan saat kalimat Fajir kembali terngiang-ngiang. Rasanya kuping Lili akan meledak kalau ia terus mendengar kalimat itu padahal ini sudah lebih dari dua belas jam lamanya. Sebenarnya, itu jugalah yang membuat Lili akhirnya menyetel alarm di HP-nya lima belas menit lebih awal dari biasa, karena semalam ia berusaha mati-matian untuk memejamkan mata namun sulit untuk menuntaskannya. Alhasil daripada ia nanti malas-malasan bangun dan telat, akhirnya Lili membuat sebuah plan b.

Selesai memasang jepit rambut lidi sambil memerhatikan penampilannya sekali lagi di cermin gantung, Lili meraih ransel dan berjalan keluar. Jemarinya bergerak mengetuk dua kali layar HP-nya, dan dahi itu kembali mengernyit saat tidak menemukan pesan apapun disana.

"Dia jadi ngajak bareng nggak sih?" gumam Lili pelan. Langkahnya santai, menuruni undakan tangga menuju lantai bawah.

Lili sudah menyusun alternatif lain bila mana Fajir tidak jadi menyusulnya—sedangkan Nu, Lili bahkan tidak bisa mengharapkan cowok itu sekarang. Sejak tragedi dompet hilang itu Nu hanya sekali menghubunginya plus mengatakan kalau cowok itu akan mencari tahu kebenaran. Tapi, sampai detik ini Nu tidak pernah menghubunginya. Padahal ia pernah melihat di status aplikasi pesan daring kalau Nu sedang berada di toko buku bersama Renata. Cewek itu memang mengabarinya kalau Nu tiba-tiba menyusulnya ke rumah mengatakan kalau cowok itu hendak mengantarnya ke sekolah. Jelas saja Renata ingin menolak—jarak sekolah Renata dan SMA Sriwijaya kan beda jalan dan jauh—tetapi karena tidak ingin Nu salah paham, akhirnya ia mengiakan.

Dengan wajah super kusut karena memikirkan ia akan naik bus menuju sekolah, samar ia mendengar suara Opa sedang tertawa dengan seseorang. Seseorang yang jelas bukan Mama karena suara yang didengarya adalah suara laki-laki juga, dengan penasaran Lili mempercepat langkahnya menuju ruang makan.

Dan disana. Duduk pada salah satu kursi yang mengintari meja makan—sedang tertawa bersama Opa sambil menyantap nasi goreng sosis buatan Mama. Sedangkan wanita setengah baya yang itu sesekali melontar tawa mengimbangi kedua laki-laki berbeda generasi itu.

Lili menghentikan langkahnya di samping pilar berornamen ukiran khas nan klasik. Meremas HP dalam genggamannya dengan mata yang tak berpaling sedikitpun pada pemandangan aneh di depannya kini. Hari ini. Detik ini.

"Kesini, sayang..." suara mama menarik habis Lili ke kenyataan. Menyadarkan Lili kalau ini bukan sekuel dari mimpinya tadi malam karena suara mama begitu jelas sekarang.

Pun dengan tatapan Fajir yang khas, yang diperuntukkan hanya untuknya saja.

Lili menyeret langkahnya kaku—padahal ia berusaha bersikap biasa saja—lalu mengambil tempat di seberang Fajir yang sedang menyendokan nasi goreng ke mulutnya.

"Opa tidur nyenyak?" Lili melontarkan pertanyaan yang sudah menjadi rutinitasnya tiap pagi itu kepada pria setengah baya yang meraih cangkir kopi paginya. Padahal sudah tua, tetapi menyesap kafein setiap pagi masih menjadi kebiasaan Opa yang tak bisa dihentikan.

Pria setengah baya itu mengangguk. "Tentu saja. Opa bahkan mimpi kedatangan tamu, eh taunya beneran. Kamu nggak bilang kalau mau di susul nak Fajir, kalau bilang kan Opa bisa bilang Mamamu untuk bawain kerupuk dan pempek dari toko," Ujar Opa. Lalu menatap Fajir sambil tersenyum ramah, "Kamu besok pagi sarapan disini lagi ya. Nggak lengkap kalau sarapan tanpa pempek. Iyo dak?" kata Opa dengan mengimbuhkan tawa pada akhir kalimatnya.

Fajir tersenyum. "Iya, Opa. Besok saya mampir lagi kalau nggak ngerepotin."

"Idak lah. Opa malah senang kalau Lili punya teman selain Yasnu dan Renata." Jawab Opa.

Hih, apaan. Emang besok gue mau bareng elo lagi!? teriak Lili dengan lantang—tentu saja hanya sampai pada dinding-dinding hati cewek itu saja. karena sekarang Lili mulai menyantap nasi gorengnya dan menjadi pendengar setia obrolan antara Opa dan Fajir.

Omong-omong, kenapa Fajir bisa secepat itu ya akrab dengan Opa? Pikir Lili.

***

Sekelebat mimpi buruk itu seperti sarang laba-laba yang menyekapnya dan sulit untuk terlepas. Kepalanya sibuk menampung monolog dari praduga-praduga yang mungkin sebentar lagi akan menjadi kenyataan, tentang pendapat teman-temannya pasca tuduhan salah alamat itu...

Lili menggeleng samar, ia terus meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja. Karena itu, ketika motor Fajir berhasil memasuki gerbang Sriwijaya dengan mulus—kenyataan kembali menyentak cewek itu. Lili menahan kedua tangannya pada ransel hitam Fajir ketika cowok itu melakukan rem mendadak, setelahnya Lili langsung melompat turun.

"Lo sengaja ya!?" tuduh Lili terang-terangan. Matanya memicing menatap Fajir jengkel. Tipikal cowok, sukanya ngerem mendadak ugh!

"Habis lo dari tadi diem aja, lo kira gue abang gojek?" Fajir mendengus. Melepas helm yang ia kenakan dan menyampirkannya di satu spion motor. Cowok itu menyugar rambutnya pelan sebelum turun dari motornya.

Wajah Lili memanas. Selain karena ia bingung harus membawa topik bahasan apa, pikirannya juga tadi di selubungi oleh perkara mimpi buruk yang tak berkesudahannya itu makanya ia sampai lupa kalau ia sedang dalam perjalanan ke sekolah. Bersama orang yang tak pernah dibayangkan Lili sedikitpun pula.

"Maaf. Gue tadi lagi mikir sesuatu hal jadi nggak konsen sama dunia nyata." Lili mengembuskan napas. Lalu menyunggingkan senyum sambil menatap cowok tinggi di depannya. "Yuk!" ajaknya kemudian.

"Eh, eh mau kemana," baru juga Lili hendak mengambil langkah, ranselnya tiba-tiba di tahan dan membuatnya mundur dua langkah. Lili menatap Fajir dengan dahi berkerut jengkel, namun yang di tatap malah balas menatap geli. "Helm lo, neng. Copot dulu. Atau, lo mau bikin harlem shake?"

Otomatis, Lili membawa pandangannya ke atas. Lewat bulu-bulu mata, ia menyadari kalau dia masih memakai helm.

Lihat selengkapnya