Berulang kali Lili melirik jam dinding di antara bingkai foto presiden dan wakil presiden yang menggantung tepat di atas papan tulis kelas dengan tak sabar. Entah karena dia menunggu, atau memang seperti itulah perpindahan dari menit ke menitnya, namun Lili merasa kalau siang ini waktu terasa lebih lambat dari biasanya. Rupanya, kegusaran Lili di tempatnya duduk telah di baca oleh Sarah yang duduk di belakangnya, karena cewek dengan aksesoris serba biru itu langsung menoel punggung Lili menggunakan bolpoin yang ia pegang.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya Sarah khawatir. Dan sekarang cewek itu semakin terkejut saat melihat wajah Lili yang pucat dan... "Yaampun, Li!? Lo kenapa ih? Kok ruam gitu leher lo?"
Pertanyaan Sarah itu membuat Ares (teman sebangku Lili untuk hari ini) yang sejak tadi memilih jalannya untuk tidur di kelas daripada merangkum buku sosiologi langsung membuka mata ketika suara Sarah samar terdengar di telinganya. Cowok itu menjauhkan sebelah pipinya dari meja, menegakkan tubuhnya. Matanya sedikit menyipit dengan kepala condong ke depan memerhatikan wajah pucat Lili dengan seksama.
"Anjay, lo kenapa Li?" tanya Ares tak selow. Cowok itu berseru—benar-benar dengan suara super besar sampai membuat seluruh penghuni kelas menoleh ke arah mereka. Ares menggaruk dahinya yang tak gatal ketika Pak Toipi yang sejak tadi menyibukkan diri dengan kertas-kertas di atas mejanya, ikut menoleh.
Dari balik kaca matanya Pak Toipi memerhatikan salah satu siswinya yang nampak tak berdaya di bangkunya. "Lili, kau sakit?"
Ditanya seperti itu malah membuat Lili ingin menangis. Tubuhnya terasa semakin panas akibat ruam dan gatal kemerahan yang entah kenapa bisa timbul. Cewek itu menahan airmata di pelupuk mata sambil meringis. "Kayaknya alergi saya kambuh, Pak."
"Astaga, baiklah, tolong Sarah kau antarkan Lili ke UKS."
Sarah langsung mengangguk. Cewek itu berdiri sambil memegang lengan Lili, dibantunya teman sekelasnya itu berdiri kemudian mereka berdua berjalan keluar kelas.
Suasana kelas yang ribut langsung dihentikan oleh Pak Toipi. Guru berkacamata itu mengatakan agar penghuni kelas kembali melanjutkan pekerjaan mereka dan dilarang berisik. Membuat seisi kelas menurut dan kembali berkutat dengan pekerjaan mereka, walaupun beberapa tetap memilih untuk bermain HP atau pekerjaan lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mata pelajaran sosiologi siang ini.
Fajir memerhatikan dari tempatnya duduk dengan kening mengernyit dalam. Jauh ke dalam ingatannya, sepertinya ia melihat Lili baik-baik saja sampai masuk ke kelas tadi yang seperti ingin berbicara dengannya, namun diurungkan oleh cewek itu entah karena apa sebabnya.
"Cewek lo alergi apaan, Jir?" Dipo bersuara. Ikut memandangi punggung dua cewek yang mulai menghilang di depan sana.
"Nggak tau."
"Anjay, jadi beneran lo udah jadian sama Lili?!" Angga yang sengaja pindah tempat duduk dari bangkunya karena meja itu kosong langsung menoleh ke belakang. Cowok itu sedang sibuk main HP, namun radar pendengarannya jelas melalang buana karena langsung siaga satu ketika mendengar gosip yang menggelitik telinga.
"Kata siapa?" Fajir balik bertanya.
"Tuh tadi lo nggak komplain waktu Dipo bilang 'cewek lo' ."
"Itu mah karena dia aja yang ngarep, Ga." Respons Ares yang tahu-tahu sudah mengambil tempat di sebelah Angga. Cowok itu memasukkan tasnya ke dalam laci meja seraya menyeringai menatap kedua sobat sejiwa yang duduk di belakangnya.
"Ngapain lo kemari?" Dipo mendengus.
"Duh chayank, jangan ngambek dong. Aku nggak selingkuh kok sama cewek-cewek itu...," jawab Ares dengan nada dibuat manja sambil mencolek dagu Dipo pelan. Cowok itu mengedipkan satu matanya sebelum melanjutkan. "Hatiku nyangkut di kamu."
"Najis!" Dipo melemparkan tipe-X miliknya mengenai dahi Ares yang langsung ditanggapi dengan gerutuan oleh cowok plontos itu.
"Ngeri gue lama-lama bergaul sama kalian." Fajir pura-pura bergedik sambil melindungi tubuhnya dengan tangan menyilang.
"Gue juga njir." Sahut Angga.
Dengan semangat 45, Ares langsung membawa kedua telunjuk kanan dan kirinya untuk menoel dagu Fajir dan Angga bersamaan. "Aduh, susah jadi orang ganteng dari embrio ini ya, banyak banget yang pengen homoan. Jadi bingung mau pilih yang mana hm..." tukasnya dengan gaya pura-pura berpikir.
"Ares, kau sudah selesai merangkumnya? Coba bawa ke depan hasil rangkumanmu. Bapak ingin melihat."
Ketiga orang di sekitar Ares kontan tertunduk sambil menahan tawa.
"Mampus!"
"Sukurin!"
"Ares, bye!"
Ejek ketiganya dengan kompak tanpa suara.
***
"Untung Bu Ina belum pulang," Ujar Sarah sambil memerhatikan Lili yang sedang menelan obat yang diberikan oleh Bu Ina—kepala UKS—tadi setelah mereka sampai di UKS. Sarah kemudian membantu Lili berbaring di brankar UKS dan memberikan selimut untuk menutupi sebagian tubuh Lili. "Lo ada alergi, Li?" tanya Sarah sambil menarik kursi plastik mendekat ke brankar dan duduk disana.
Lili menepuk bantal bersarung putih itu tiga kali sebelum menjatuhkan kepalanya disana. Ia mengangguk. "Sejak kecil gue emang alergi kedelai. Tapi gue yakin kalau gue nggak minum susu apapun, atau hal-hal yang menyangkut dengan kedelai kok tadi."
Ia ingat sekali kalau ia selalu menjauhi 'kedelai' sejak dulu. Apalagi susu kedelai yang normalnya memang cewek itu tidak seberapa menyukai susu. Saking tidak sukanya Lili dengan minuman protein itu, ia bahkan mencium wanginya saja langsung muntah. Apalagi jika dia alergi dengan kedelainya, nggak mungkin sekali dia malah mengkonsumsi hal yang membuatnya ruam dan kemerahan begini. Itu sih namanya menyengsarakan hidup.
"Lo yakin? Lo makan gorengan tempe kali?" Sarah mengerutkan alis, berpikir. Namun ia langsung membantah omongannya sendiri saat menyadari kalau Lili bahkan tidak jadi menyantap soto ayamnya karena Nu mengajak cewek itu untuk bertemu. "Eh, lo aja baru icip dua sendok kuah soto ayam nya tadi ya..."
Lili mengangguk. "Nah, iyakan. Gue juga bingung kenapa alerginya kambuh, Rah."
"Nu ngasih lo makanan apa gitu nggak tadi?"
"Enggak," Lili menggeleng pelan. "Gue tadi sama Nu cuma ngobrol soal kejadian waktu itu aja. Terus gue balik ke kelas..." buru-buru karena pengin bilang makasih sama Fajir, tapi nggak jadi. Tambah Lili dalam hati.
Sarah mangut-mangut, pandangannya terarah pada aquarium yang menempel dengan dinding bercat putih dengan ikan nirwana yang sedang berenang nyaman di dalamnya.
"Mending lo ke kelas aja deh, Rah. Lo kan belum selesai ngerangkumnya tadi." Lili kembali menambahkan.
Bukannya Lili hendak mengusir, tetapi Pak Toipi dikenal sebagai guru disiplin nilai meskipun beliau nggak memandang nilai UTS atau UAS sebagai tolak ukur siswa yang ia ajar paham atau tidak dengan materi—menurutnya aktivitas sehari-hari yang dilihatnya adalah poin utama—maka dari itu Lili menyuruh Sarah untuk kembali ke kelas. Namun, sepertinya Sarah nampak tak sependapat karena jelas dia sama sekali bergeming di tempat. Lalu, menyengir lebar.
"Gue ngantuk tau dengan suasana kelas yang lebih kalem dari kuburan itu." jawab Sarah kalem. Cewek itu menyipitkan matanya. "Ya ampun, Li! Ini kenapa ruam lo makin lebar aja deh?" ucapnya khawatir.
Lili mengikuti arah pandang Sarah dan tiba-tiba rasa gatal serta panas pada tubuhnya menjadi meningkat berkali-kali lipat. Sorot mata Lili kabur, tangannya mencoba mencari HP dari dalam saku seragam dan mengaduh ketika mengingat bahwa ia meninggalkan HP-nya di laci meja.
"Gue boleh minta tolong panggilin Bu Ina nggak? Terus lo bawa HP?"
"Bawa kok, pake aja nih," Sarah mengeluarkan HP-nya dan menyodorkannya kepada Lili. "Bentar, gue panggilin Bu Ina dulu deh. Kayaknya lo kudu di periksa ke rumah sakit deh, Li. Daripada makin parah."
Lili mengangguk, mimik wajahnya menyiratkan rasa terima kasih sebelum kembali bersuara. "Iya, gue mau nelepon Mama. Siapa tau bisa jemput kesini, karena nggak mungkin gue minta tolong Nu. Dia pasti sibuk sama KIR."