Lili

Ria Rahmawati
Chapter #19

#18

"Makasih ya, Nu?" sambil berkata dan menatap cowok di balik setir kemudi, Lili melepas sabuk pengaman yang dipakainya. Wajahnya masih sedikit merah, tertinggal jejak dari ruam yang tadi sempat terasa sebelum meminum resep obat yang diberikan oleh dokter. Namun hal berbeda jelas nampak, karena ruam pada tangan dan kaki yang masih terlihat masih dalam kondisi yang sama.

Sebenarnya, Lili disarankan untuk menjalankan rawat inap di rumah sakit. Namun, cewek itu menolak dengan alasan ia tidak menyukai bau rumah sakit yang khas dan lebih memilih untuk menjalankan rawat jalan saja. Setelah berdebat lumayan panjang dengan Nu, akhirnya cowok itu mengibarkan bendera putih dan mengikuti keinginan Lili.

Nu mengangguk. "Lo yakin bisa masuk rumah sendiri?" tanya Nu tak yakin melihat kondisi Lili yang masih sakit. Kedua bola mata hitam pekat itu menatap khawatir dari balik lensa kacamata.

"Gue baik kok. Ruam ini nggak bikin otot dan sendi gue jadi jelly, tau?" Lili memutar bola mata. "Sekali lagi makasih ya. Dan lo yakin nggak mau masuk dulu? Renata kayaknya ada di rumah deh."

Ada keengganan untuk pergi tersirat di mata Nu ketika mendengar nama Renata disebut, namun ia harus kembali ke sekolah untuk mengembalikan mobil milik temannya dan mengambil motor yang masih terparkir di pelataran parkir Sriwijaya. Bola mata hitam itu sedikit melirik keluar, mendapati langit Palembang yang sedikit mendung. Akhirnya Nu menggeleng sekali dan melontarkan kalimat sebagai penegasan pada penolakannya. "Gue harus balik ke Sriwijaya."

"Oh, oke deh..." jawab Lili tanpa memaksa.

"Salam ya buat Renata."

"Renata aja?" Lili mengangkat kedua alisnya sambil menahan senyum, membuat Nu langsung menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Cowok itu kemudian menambahkan.

"Tante dan Opa juga lah, Li."

Lili mengangguk. "Iya, ntar gue sampein."

"Oke."

Setelah Lili turun dari dalam mobil itu, cewek itu menyempatkan diri berdiri di depan pintu pagar menunggu sampai mobil yang dikendarai oleh Nu melesat pergi. Nu membunyikan klakson mobil sekali sebelum menarik pedal gas dan pergi dari sana, diiringi oleh kedua mata Lili yang memandang mobil yang kini semakin menjauh diujung sana. ketika mobil itu sudah tak nampak dari penglihatan, Lili mengembuskan napas lesu. Ada sedikit tempat di hatinya yang masih menyukai sahabatnya itu, dan efek yang ditimbulkan setiap kali melihat wajah lain dari Nu tiap mereka menaikkan nama Renata jelas masih sama. Bahagia yang melingkup satu dengan perasaan nelangsa. Bukan dia yang ada di hati cowok itu, dan tidak pernah ada atau berubah menjadi dia di dalamnya.

"Jangan ngarep, jangan ngarep. Harusnya lo bersyukur karena cowok kayak dia mau aja jadi sahabat lo." Gumam Lili sehalus angin sembari melangkah masuk ke dalam rumah.

***

Lili menahan hati ketika Mama dan Opa terus menceramahinya karena ia bisa-bisanya terkena alergi setelah bertahun-tahun tidak pernah. Opa bahkan hampir menangis ketika melihat salah satu cucu kesayangannya pulang dengan keadaan ruam di sekujur tubuh, padahal Opa adalah pribadi yang dikenal jarang mengungkapkan kesedihannya—kecuali ketika Oma meninggal kala itu. Terang saja pria baya itu sedih, karena sejak kepindahan Lili kemari—bahkan ketika mereka masih di Jakarta—Opa tidak henti-hentinya berpesan supaya menjaga makanan yang di konsumsi oleh cucunya. Bahkan ketika Lili masih SMP, pria baya itu selalu menyuruh Mama untuk membawakan Lili bento dengan menu empat sehat lima sempurna. Namun hal itu berhenti dilakukan ketika Lili masuk ke SMA.

Adalah hal yang membuat Opa trauma dan Opa tidak ingin jika hal itu terulang kembali. mendiang istrinya—Nenek Lili—memiliki alergi yang sama dengan Lili, dan beliau wafat karena alergi itu pula. Dan Opa tidak ingin jika itu sampai terjadi lagi di keluarganya. Karena itu setelah kepindahan anak dan cucunya kembali, Opa sangat protektif tentang menu makanan apapun yang akan di makan oleh Lili, komposisinya harus jelas dan halal.

Dan sekarang, hal yang tidak diinginkannya malah terjadi...

"Kamu pokoknya harus istirahat total sampai sembuh." Titah Opa dengan suara serak termakan usia.

Karena tahu kalau ucapan Opa bukanlah sebuah hal yang bisa diperdebatkan, Lili memilih diam tak menjawab. Ia dan Renata saling menyikut siku memberi kode. Kemudian suara Renata lah yang terdengar, "Lili ada projek, Opa...," tukasnya seraya memiringkan kepala menatap sepupunya. "iya kan, Li?"

Lili mengangguk.

"Kesehatan nomor satu." Kali ini suara Mama yang terdengar. Diangguki oleh Opa tentu saja. Kedua ayah dan anak itu menanamkan dalam diri mereka bahwa kesehatan adalah hal yang paling penting. Lalu, kemudian adalah sebuah kewajiban-kewajiban yang mengikuti dibawahnya.

"Opa dan Mama nggak nanya Lili ada projek apa?" akhirnya Lili menyuarakan keheranannya. Masa sih kedua orang tua itu tidak penasaran akan projek di sekolahnya, apalagi itu menyangkut nilai pelajaran. Dan, bagi Sriwijayans nilai adalah hal yang penting di atas segalanya.

Dengan memasang wajah cemberut karena tidak ada jawaban dari dua orang yang ia beri pertanyaan tadi, Lili mengembuskan napas lemah. "Aku jadi pemain utama di pentas bahasa antar kelas. Gimano coba?"

"Tapi kamu sakit, nak."

Lihat selengkapnya