Lili

Ria Rahmawati
Chapter #20

#19

"Lo mau minum apa?" pertanyaan Renata mengalihkan sementara fokus Fajir yang sejak tadi terus menatap ke arah Lili.

Fajir menyugar rambut ke belakang sebelum kembali menautkan ke sepuluh jemarinya seraya bertengger di atas kedua paha. Ia lantas menjawab, "Apa aja, Yuk."

"Woaah, emang gue setua itu ya?" Renata menatap tak percaya, lalu beralih pandang kepada Lili meminta konfirmasi. "Masa gue di panggil 'Yuk', nggak sekalian aja tante."

Lili membungkam mulutnya mati-matian agar tak menyemburkan tawanya. Ia sangat tahu Renata pasti kesal setengah mati dipanggil seperti itu, oleh seseorang yang satu angkatan dengan mereka pula. Tadi saja, dia mengomel panjang perkara Gilda yang memanggilnya dengan sebutan 'Yuk' di telepon. Dan sekarang, Fajir malah melakukan hal yang sama seperti Gilda memanggil Renata.

Wajah Renata sudah kusut setengah mati dan ia menyesal menawarkan minuman kepada cowok ganteng di depannya ini. Membawa kedua tangannya melipat di depan dada, Renata mengempaskan punggungnya pada kepala sofa dengan kasar. "Nama gue Renata dan kita seumuran—atau gue lebih muda dari elo, omong-omong." Katanya ketus.

Menanggapi itu, Fajir hanya mengangguk paham. "Oke, akan gue inget," kepala cowok itu lantas kembali menoleh ke Lili dengan tangannya yang membuka tas ransel. "lo bener-bener ceroboh ya? Gimana coba kalo bukan gue yang nemuin?" ucapnya, menyodorkan HP cewek itu.

"Tuh kan, bukan cuma gue yang mikir kalo lo itu ceroboh, sisteeuur..." seru Renata.

Lili cemberut. "Iya, iya. Namanya juga gue di UKS, mana inget kalo HP-nya ketinggalan di laci meja."

"Lain kali kalo lo ngerasa sakit atau apa, ngomong sama gue. Biar gue yang handle."

"Ha?"

Sementara Lili bingung dengan ucapan Fajir barusan, Renata malah menaikkan kedua alisnya dengan pandangan setengah menahan senyum. Cewek itu menegakkan tubuhnya masih dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "That's my way to say i like you..."

"Apaan sih?" Lili mengernyitkan dahi.

"Apa?" kata Renata masih dengan menahan senyum. Cewek itu mengurai tangannya yang terlipat di depan dada seraya mengedikkan bahu. "gue cuma bergumam aja kok." katanya, menatap Fajir dengan pandangan 'gue-khatam-sama-yang-beginian'-nya. Lalu cewek itu berdiri. "Yaudah, gue ke dapur dulu deh ngambilin minum."

"Dasar aneh," Gumam Lili seraya menggelengkan kepalanya menatap sang sepupu.

Tanpa menyadari ada wajah yang kini berubah merah padam di depannya akibat tertangkap basah oleh orang lain perihal makna yang tersirat dari kalimat yang ia tunjukan kepada cewek yang ia sukai barusan.

***

Tembok pembatas tak kasat mata itu benar-benar ada. Entah bagaimana tetapi Lili dapat merasakan kehadiran tembok kokoh itu di antara kedua cowok yang duduk bersebelahan. Traumatis yang dialami Lili semasa SMP dulu adalah pemicu bagaimana dirinya bisa bersikap defensif dengan orang selain di lingkarannya. Dan, sayangnya Lili tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa silam hingga membuat dua orang yang harusnya saling mengasihi itu berbalik membentengi diri.

Dan sama seperti sikap Renata yang apatis, Lili memilih jalannya sendiri. Dia tidak akan bertanya apa-apa sampai salah satu dari kedua orang itu membahas kepadanya. Lili menarik napas sekali, membiarkan rasa penasaran mengembus keluar dari kepalanya. Karena untuk Lili, mencampuri urusan orang lain merupakan sebuah pelanggaran dalam norma-norma kehidupannya.

Cewek itu tersenyum kecil menyadari kekepoannya yang sudah diambang batas, lalu ketika ia mendongakan kepala, sebuah mata tajam dengan manik mata hitam kelamlah yang pertama mengunci pandangan Lili. Ia praktis memalingkan wajah canggung, dan lagi-lagi Renata menangkap pemandangan itu dengan senyuman lebar.

Lihat selengkapnya