Dufan!
Setelah masuk melalui petugas pemeriksa secara teratur, ke empat anak muda itu berjalan melewati pintu gerbang utama bergabung dengan pengunjung lainnya. Seolah memberi dukungannya, cuaca Jakarta siang ini di musim kemarau yang sudah berjalan beberapa minggu tak seberapa terik. Matahari yang biasanya bersinar terik di siang hari—membuat beberapa orang memutuskan untuk berdiam diri di dalam rumah atau gedung mereka daripada menantang matahari diluar yang pasti sinarnya bisa membuat dehidrasi dan kulit jadi hitam legam—kali ini nampak tenang dengan sinarnya yang terang, namun nuansa sejuk tetap terasa.
Lili dan Renata yang sama-sama antusias dan memegang kendali atas apa yang akan mereka naiki pertama, kedua, ketiga, dan nanti seterusnya. Sementara kedua cowok yang tetap cool dan memasang tembok pembatas—tak mengobrol sama sekali—itu pasrah digiring cewek-cewek itu menjajali wahana-wahana ekstrem, atau bahkan wahana cemen. Dari mulai kora-kora ke turangga rangga, halilintar ke baling-baling, tornado ke rango-rango, alap-alap ke poci-poci, hingga basah-basahan di ice age yang ngantre-nya nggak logis sampe akhirnya tur tanpa henti mereka berhenti di titik ujung pengistirahatan, sebuah tempat yang antrenya juga panjang namun masih masuk akal. Dari cara bangunan itu di bangun, Fajir sudah mengernyitkan dahi. Tanpa sengaja ia menatap wajah Nu yang sama sepertinya nampak kebingungan, namun lain hal-nya dengan kedua cewek yang berdiri di depan mereka yang nampak senang dan tak ada raut lelah sedikitpun. Benar-benar menikmati apapun yang mereka naiki—bahkan untuk ukuran cewek-cewek normal yang biasanya menjerit dan kepusingan setelah menaiki wahana se-ekstrem tornado, Fajir harus bertepuk tangan ketika tak melihat sedikitpun keluhan dari mereka berdua.
Karena antrean yang terus maju dan ketika ia bisa melihat ada perahu kecil yang keluar dari dalam bangunan, Fajir langsung mengeluarkan pertanyaan. "Ini wahana apaan deh?" cowok itu meraih lengan Lili hingga membuat cewek itu menoleh.
"Istana boneka."
"Terus ngapain kita di sini?" tanyanya dengan lugas.
"Iya, ngapain kita di sini?" kata Nu.
"Ya main. Ngeliat-ngeliat. Seinget gue di dalem sini nggak ada tempat untuk ngopi." Jawab Lili seraya mengangkat alis. Cewek itu merasa aneh dengan pertanyaan yang dilontarkan kedua cowok itu.
Fajir menatap ke arah Nu yang juga sama terkejutnya dan sama sedang menatapnya. Keduanya saling pandang, lalu dengan spontan mengeluarkan penolakan tegas bersamaan, "Nggak!" dan tepat saat itu, antrean mereka sampai pada batas paling depan dengan perahu yang sudah siap mengangkut beberapa orang di dalamnya.
"Udah deh kalian jangan kayak anak kecil." Ucap Renata sambil menaiki perahu sedang itu dan Lili menyusul di bangku belakang.
Lili menatap Fajir dan memberi isyarat agar cowok itu segera mengambil tempat di sampingnya—seperti biasa.
Fajir mengesah, memijat kepalanya pelan namun tak urung menaiki wahana itu juga. "Gue nggak pernah mimpi naik beginian." Keluhnya saat sudah duduk di sebelah Lili.
Lili tersenyum kecil. "Ini wahana favorit gue dan Tata tiap ke dufan," Ucapnya bersamaan dengan perahu yang mulai berjalan dibawa arus. "mungkin karena dulu pas masih kecil belum leluasa naik semua wahana yang ada di sini, jadi opa-oma selalu ngajak kita ke sini sekalian ngenalin budaya melalui boneka-boneka itu." tunjuk Lili pada deretan boneka yang mengenakan pakaian adat nusantara yang khas. Dulu, tiap kali liburan panjang sekolah kedua kakek dan nenek, serta keluarga Renata pasti akan berkunjung ke Jakarta untuk menginap di rumah Lili. Menurut oma, sebagai generasi penerus bangsa, anak-anak seumuran kedua cucunya itu perlu diceritakan dan ditanamkan nilai-nilai budaya Indonesia yang beragam agar nantinya mereka tidak akan membuang atau melupakan kultur dari negara. Kata oma, dimanapun nanti keduanya berada, jiwa mereka harus tetap Indonesia. Bahkan dulu Renata pernah bercerita kalau dia menginginkan menjadi guru Sejarah atau Sosiologi, tetapi setelah berangsur besar cita-cita itu hanya sebatas masa lalu. "Kayaknya gue mau ganti cita-cita deh, rasanya berat jadi guru. Gue takut kena karma." Katanya waktu itu, karena ia habis melihat guru sejarahnya yang menangis menahan kesal pada murid cowok di kelas yang kelewatan.
"Gue kira lo nggak pernah ketemu sama Renata." Ucap Fajir jujur. Ia mengira kalau kedua saudara itu baru bertemu setelah mereka remaja, seperti saudara-saudara jauh pada umumnya. Atau setidaknya, pertemuan mereka sebatas pertemuan di hari raya idul fitri saja.
"Nggaklah. Ya walaupun kita nggak pernah kontakan lagi dan baru bener-bener ketemu saat udah gede, tapi karena Tata orangnya ramah—"
"Cerewet." Fajir merevisi ucapan Lili.
Cewek itu terkekeh kecil. "Dia supel, bukannya cerewet. Semua orang suka deket sama Tata karena dia gampang ngebaur, nggak kayak gue yang pendiem."
"Gue suka cewek pendiem."
Sementara Lili yang langsung bungkam, suara tersedak di bangku depan jelas terdengar. Renata menjauhkan botol air mineralnya dan memberikannya kepada Nu selagi dia berusaha memukul dadanya refleks. Setelah berkutat lama dengan tersedaknya, Renata langsung menoleh, menaikkan kacamata hitam ke atas kepala dan menatap Fajir dengan ekspresi jengkel.
"Cringe banget lo, anjir!"
Fajir hanya membalas ucapan itu dengan tatapan kedua alis terangkat. Sejujurnya dia juga tidak sempat menyadari ucapannya karena kalimat itu seperti keluar langsung dari mulutnya tanpa sempat otaknya mencerna.