"Lo yang ditembak, kenapa gue yang baper coba?"
"Gue juga heran soal itu, Ta." Lili memutar bola mata. Membuka kopernya dan memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang. Sementara, Renata mengekor di belakangnya.
Renata menyandarkan tubuhnya pada dinding tepat di sebelah keranjang sambil bersedekap. "Jadi kemarin itu makanya Fajir senyum-senyum nggak jelas karena jadian sama elo?" tanya cewek itu lagi. Renata ingat bagaimana tampang Fajir cengar-cengir sepanjang perjalanan pulang dari Dufan. "Gue kira dia kesurupan jin Dufan!"
"Ta, lo ada-ada aja deh. Mano ado!" Lili menggeleng keheranan.
Cewek itu meletakkan meletakkan kopernya di sebelah tempat keranjang dan berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangan sebelum mengambil minum bersamaan dengan HP-nya yang berbunyi.
Sebuah pesan dari Fajir yang menanyakan keberadaannya saat ini. Lili mengetikkan jawaban dengan satu tangan sementara satunya lagi memegang gelas yang berisi air mineral, dan menegak isinya.
"Kau ni bener-bener sudah besak yo? Sudah biso pacaran, sayang-sayangan, bentar lagi kawin-kawinan. Cak mano aku malam minggu kalo kau dak jomblo lagi, Li?"
Lili tersedak, dengan cepat ia meletakkan gelasnya ke atas meja keramik dan menatap jengkel sepupunya yang kini malah menunjukkan cengiran lebar.
"Apo?" tanya Renata tanpa dosa.
"Aku malam minggu masih samo kau lah, siapo lagi temenku, Ta."
"Samo Fajir. Kau ini polos nian, pusing aku." ucap Renata sambil memijit kening seolah-olah ia benar-benar dibuat pusing oleh jawaban maha polos Lili.
Tentu saja Renata paham kalau sepupu terdekatnya ini belum pernah pacaran. Dan mengingat pengalaman masa lalu pahit yang pernah dirasakan Lili, Renata benar-benar sedikit takut kalau Fajir hanya main-main saja. Walaupun di dalam hati kecil Renata sungguh percaya kalau cowok itu adalah cowok baik-baik. Terlihat dan nampak seperti cowok baik-baik. Namun ia tidak bisa memercayai prasangkanya sendiri karena terakhir kali ia memberikan penilaian seperti itu, ia berakhir di selingkuhi. Dengan temannya sendiri pula, apa nggak dobel sakitnya?
"Ta, Fajir ngajakin gue berangkat bareng lagi hari senin besok. Aih, gimana nih?" Lili mengerutkan kening. Seolah pertanyaannya tadi adalah pertanyaan paling susah dijawab. Tapi ini Fajir, cowok itu bahkan sudah pernah mengantar-jemputnya beberapa kali, bahkan Fajir pun pernah main ke rumahnya atau ke toko. Lantas, kenapa sekarang ia jadi bingung sendiri saat diajak Fajir—atau lebih spesifiknya, kekasihnya—untuk berangkat bersama? Bukannya itu suatu yang wajar dilakukan pasangan remaja pada umumnya?
"Ya terus?" Renata memutar bola mata. "Iyo-in be. Masa ditolak, nggak lucu banget kalian berdua putus baru pacaran sehari doang. Terus masalahnya cuma karena nggak berangkat ke sekolah bareng pula. Ew." Lanjutnya dengan asal.
Keduanya kini sudah kembali berada di dalam markas kebesaran—kamar Lili—karena mama dan opa yang sedang berada di toko dan mereka masih terlalu lelah untuk merusuhi toko, makanya mereka memutuskan untuk 'jaga rumah' saja. Renata meraih rubik di atas nakas dan mulai menggeletak nyaman di atas ranjang, mulai berusaha memainkan permainan kesukaan sahabatnya itu. Permainan yang membosankan, menurut Renata, karena cewek itu tidak sekalipun bisa memecahkan kasusnya. Bahkan untuk ukuran rubik yang paling basic sekalipun.
"Gue nggak mau anak-anak Sriwijaya pada gosip ntar."
"Gosipin lo jadian sama Fajir?"
Lili duduk di kursi di depan meja riasnya dengan bertumpu dagu, sementara pandangannya menatap ke arah kaca yang menghadap ke ranjang, lalu mengangguk mengiakan.
"Kan itu bukan gosip. Lagian kenapa emangnya? Kalo gue sih seneng punya pacar ganteng kayak gitu, pasti bakal sombong gue di depan cewek-cewek lain."
Karena itulah masalahnya... keluh Lili dalam hati. Kalau saja Fajir tidak setampan itu dan tidak menjadi cowok yang populer di kalangan cewek-cewek maka Lili tidak akan mengambil pusing soal ini.
Nyatanya melihat bagaimana ekspresi Lili sekarang, Renata langsung paham apa yang kini sedang dipikirkan oleh sepupunya itu. Siklus yang sama. Rasa yang sama. Karena itu, ia mengesah pelan, memandangi Lili sungguh-sungguh lewat cermin rias. "Lo pasti lagi insecure lagi kan?" sebuah pertanyaan yang tak memerlukan jawaban karena Renata kembali meneruskan tanpa menunggu sepupunya itu menjawab. Kembali ditatapnya bola mata coklat yang sama dengan miliknya itu dalam-dalam. "Musuh terbesar kita itu diri kita sendiri. Diri kita yang ngebuat kita ngerasa insecure, dan yang harus lo lakuin adalah menerabas diri lo sendiri. Seperti yang pernah gue bilang kalo bisa aja orang lain itu nggak peduli dan nggak ambil pusing. Gue tau dunia ini banyak orang jahat, tapi nggak menutup kemungkinan kalo orang baik juga ada. Tetapi balik lagi, kalo lo tetap terbelenggu sama pemikiran-pemikiran yang dibentuk oleh diri lo, maka lo nggak akan bisa nemuin orang baik itu." Renata mengembuskan napas pelan, lalu berdecak. "Woah, Marry Riana KW Premium grade A++ ini mah gue kayaknya." Gumamnya pada diri sendiri.
Meleburkan keheningan dan keseriusan yang sempat tercipta. Lili tak bisa menahan diri untuk tertawa, kali ini cewek itu sudah membalik tubuhnya membelakangi meja rias. "Nggak salah nilai Bahasa indonesia lo paling tinggi di kelas ya, Ta."
"Nggak sia-sia gue subscribe channel youtube-nya Marry Riana, Mbak Najwa dan Ria SW ternyata," Ucapnya masih dalam nada kegaguman yang diperuntukkan untuk dirinya sendiri.
"He-eh," Lili mengangguk geli. "Thanks ya, Ta."
Renata mengangguk sambil tersenyum. "Pikirin yang kata gue tadi. Gue nggak mau temenan dan sodaraan sama lo lagi kalo lo masih insecure-insecuran gitu. Bodo amat-in aja pokoknya mah."
***