"Elo kan yang naro hadiah rubik ke laci meja gue?" Lili menoleh, memandang cowok tinggi yang berdiri dalam jarak sentuh itu. Terpaan halus angin malam terasa menggelitik kulit wajahnya.
Tadi sepulang dari renang, alih-alih mengantar Lili langsung pulang ke rumah, Fajir malah mengajak Lili untuk mencari makan dulu. Berhubung mereka pulang dari renang di waktu yang sangat sore dan hampir menuju waktu shalat magrib, keduanya berhenti di masjid terdekat untuk melaksanakan shalat terlebih dahulu setelah itu barulah menuju destinasi yang dituju.
Seperti hari-hari biasa, Benteng Kuto Besak memang selalu menjadi 'night market'-nya Palembang. Baik lokal maupun pendatang selalu menyempatkan diri untuk menghilangkan penat di sini. Selain bisa melihat keindahan sungai musi di malam hari karena letaknya yang sangat dekat dengan jembatan ampera, di sini juga menawarkan macam-macam makanan dan jajanan untuk para pengunjung. Selain itu, ada juga beberapa atraksi yang di pertontonkan. Namun, setelah menyantap Martabak Kare di restoran legend atas saran Lili, keduanya memilih untuk berdiri memandangi sungai musi dengan se-cup kopi instan hangat ditangan keduanya.
Satu tangan Fajir masuk ke dalam saku celana sementara satunya lagi memegang cup kopi sambil menegak isinya. Fajir membiarkan cairan hangat itu masuk melewati tenggorokannya, lalu menoleh dan melemparkan sebuah anggukan singkat sebagai jawaban. "Waktu itu lagi nyari buku referensi tugas bu Yun, terus nggak sengaja lihat ada mainan kesukaan lo."
"Kok lo tau gue suka rubik?" Lili menatap heran. Satu pertanyaan yang sejak mendapatkan hadiah rahasia itu akhirnya terungkap juga. Pasalnya hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa ia suka mengotak-atik rubik setiap kali pikirannya sedang kacau, atau saat ia sedang tidak ada kegiatan.
"Nggak sengaja lihat lo mainin rubik di depan perpustakaan pas SMP dulu. Pernah juga ngelihat lo main rubik di depan gerbang sekolah, lo kayaknya lagi nunggu jemputan waktu itu. Pas SMP juga." jawab Fajir. Cowok itu membawa tubuhnya menghadap Lili, dengan sedikit menunduk ia kembali bersuara. "Lo sampe sini paham kan kalau gue sejak dulu nggak pernah nggak suka sama lo?"
"Sori," sudut bibir Lili tertarik ke bawah, "gue udah asal ngehakimi lo soal itu..."
Fajir mengulum senyum. "Yang penting sekarang lo tau isi hati gue sebenarnya ke elo gimana."
Lili membalas dengan senyuman kecil. Pendar lampu yang temaram membuat cewek itu tak melihat dengan jelas wajah cowok di depannya. Namun yang Lili tahu bahwa Fajir sedang tersenyum sekarang, dan entah kenapa hal itu membuat hatinya menghangat.
Segala hal yang dulu ia takuti nyatanya tidak terjadi. Sama sekali tidak terjadi. Jika Fajir pernah mengatakan kalau keberadaan Lili adalah hal terindah yang Tuhan berikan di dalam kehidupan cowok itu, sekarang Lili memiliki satu pandangan sebagai jawaban. Cowok itu seperti malaikan pelindungnya, dan membuatnya merasa nyaman berada di dekat cowok itu. Senyuman masih terukir di wajah Lili saat cewek itu kembali membawa pandangannya menyusuri hamparan sungai musi yang membentang di depan mata, ia kembali mengingat percakapan anak-anak kelasnya di ruang ganti tadi sore.
Kepalanya kembali miring untuk menatap Fajir. "Ng, Jir? Gue mau nanya, bukan karena apa-apa lho ya."
"Nanya apa?" kedua alis Fajir terangkat memandang Lili.
"Lo emang pernah nolak Niken ya?" tanyanya dengan nada sambil lalu. Sebenarnya ini pertanyaan sensitif yang melibatkan perasaan, tetapi tentu saja meskipun Lili begitu penasaran ia tidak akan menunjukkan perasaan itu sekarang. Bisa-bisa Fajir mencapnya sebagai cewek kepo dan pencemburu lagi. Nggak boleh, Lili menggeleng samar.
"Siapa yang bilang? Enggak." Jawabnya singkat. "Ya kalo dia nembak gue juga pasti gue tolak karena gue nggak suka sama dia." Lanjut cowok itu lagi.
"Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa lo nggak suka sama dia? Dia kan cantik."
Fajir mengerutkan dahi, menatap cewek di sampingnya yang meskipun samar terlihat namun ekspresi cewek itu masih dapat dibaca oleh Fajir. Sudut bibir Fajir terangkat samar, "Karena gue sukanya sama Lili, bukan Niken. Lagipula, gue suka sama cewek bukan dari fisik, tapi gimana dia bersikap pada orang lain." Kata Fajir, cowok itu menandaskan isi cup kopinya sebelum melanjutkan. "Gue pengin lo jangan terlalu akrab dengan temen semeja lo itu. Tu cewek nggak sebaik apa yang dia tampilin di hadapan orang-orang, Li."
Genggaman pada cup kopi itu mengerat sementara pikiran Lili langsung putar balik kepada satu titik yang sejak tadi mengganjalnya. Tanyanya hati-hati, "Maksud lo?"
Fajir mengesah. Cowok itu membuang cup kopi yang sedari tadi ia pegang dengan satu lemparan masuk ke dalam tempat sampah, lalu menatap Lili kembali dengan kepala memiring menelusuri. "Niken yang ada di balik insiden dompetnya jelita, dan yang masukin serbuk ke minuman yang ngebuat lo alergi waktu itu."
Cup kopi yang dipegangnya seketika terlepas, jantung Lili berpacu seraya langkah kakinya yang mundur. Cewek itu menggeleng, otaknya masih menolak pada apa yang baru saja ia terima.
"Lo... tau darimana?" tanya Lili dengan kelu. Tetapi, satu hal yang seolah menjambuk pikiran Lili dan memaksa cewek itu menerima realita baru langsung mendesak. Ia ingat kepada siapa permintaan terima kasih yang waktu itu diucapkannya saat mengetahui kalau skorsing nya ditangguhkan. Cowok ini. cowok di depannya. Fajir.
Dia adalah satu-satunya orang yang mati-matian mencari tahu dan membersihkan nama baiknya. Lalu, sebuah perasaan getas menelusup merayapinya seketika. Kepalanya menunduk, memandangi tali sepatunya nanar, dan Fajir langsung merasa bersalah karena membiarkan cewek itu mengetahui satu hal yang tadinya akan ia rahasiakan itu. Namun menurut Fajir ceweknya itu harus tahu kalau tidak semua yang bersikap baik memang orang baik, dan melalui ini Fajir berusaha membuka pemikiran Lili akan hal itu.
Fajir maju dua langkah, menutup jarak di antara mereka saat ia merasakan ujung sepatu mereka saling bersentuhan. Diraihnya kedua tangan Lili yang dingin itu untuk digenggam. "Gue nggak akan ngebiarin Niken atau siapapun ngelakuin hal buruk lainnya ke lo. Gue janji, Li."
Kepala Lili masih menunduk, mati-matian ia berusaha untuk tidak menangis walaupun jelas dadanya kini terasa sesak. Seseorang yang sudah ia anggap sebagai teman itu ternyata tega melakukan hal buruk kepadanya dengan atas dasar motif yang tak diketahui.
Kenapa Niken tega ngelakuin itu ke gue...? satu pertanyaan yang hanya menggema dalam dinding-dinding hati Lili. Pertanyaan yang membutuhkan jawaban, yang hanya bisa dijawab oleh si pemilik nama yang ia sebutkan. Karena itu, Lili membiarkan pertanyaannya tenggelam hingga waktunya ia akan menariknya ke dasar untuk mendapatkan jawaban.