Setiap kepribadian anak dibentuk oleh masing-masing orangtua. Kepribadian yang berakar dan akhirnya kini menjadi sebuah identitas diri yang melekat dalam diri anak tersebut. Cinta, kasih dan sayang dari orangtua yang harusnya dirasakan oleh setiap anak-anak yang nahasnya tidak pernah Niken rasakan. Ia pernah merasakan kehangatan keluarga, sebelum segelanya direnggut dan digantikan oleh pecahan piring, gelas dan barang pecah belah lainnya. Seperti kilat, segalanya terjadi secepat kilat. Keharmonisan keluarganya berubah menjadi umpatan kebencian saat uang tak lagi hadir sebagai alat pemersatu.HP Niken berdering, menandakan sebuah pesan singkat di sana.
Niken tetap berkonsentrasi pada pencariannya di google, hanya melirik sinis pada preview pesan yang muncul di layar. Tanpa berminat membukanya, ia kembali mencari hal yang pengerjaannya sempat tertunda waktu itu. Ditekuninya satu persatu artikel pada situs yang ia baca itu dengan telaten. Ini adalah cara terakhir untuk menghancurkan seseorang yang pantas dihancurkan, dan ia akan membulatkan tekadnya kali ini.
Bagi Niken, tidak adil rasanya melihat seseorang yang pantasnya menderita malah berbalik bahagia seperti itu, sedangkan penderitaannya tak pernah berujung. Niken mendesah pelan, ia segera membuka tab baru yang menuju pada link yang baru saja ia klik. Di layarnya bertuliskan nama sebuah sekolah di Palembang beserta data-data isi kelas berikut fotonya dari tahun ke tahun. Berbekal pengetahuannya tentang biodata singkat saat perkenalan dulu, Niken mulai menelusuri satu persatu kelas sebelas pada tahun yang sama dengan tahunnya. Cewek itu hampir saja menyerah, namun saat menemukan satu nama familiar, Niken langsung mengklik nama itu. Sebuah senyuman jumawa terbit ketika biodata serta foto si pemilik nama ditampilkan.
Hari esok pastilah menyenangkan... batin Niken.
Setelah meng-capture apa yang ia cari, Niken keluar dari aplikasi itu, dan menekan aplikasi pengolah pesan. Wajahnya masih sama ketika melihat isi pesan baru dari nomor yang selalu mengiriminya pesan hampir setiap minggu itu. Niken kemudian membuka pesannya dengan wajah datar.
Papamu nanyain km trus.
Km bisa dateng?
***
"Jadi, udah bisa pacaran nih?" goda Mama sambil menyenggol anak gadisnya menggunakan lengan. Wanita yang sedang memakai daster rumahan itu sedikit melirik ke arah ruang tamu, dan menatap anaknya lagi. "Hebat kamu, tau aja sama yang ganteng."
"Ih, apaan. Orang Lili sama Fajir cuma sahabatan aja kok." kilah Lili. Namun ekspresinya yang malu-malu dengan wajah memanas tentu saja membuat siapapun yang mendengar dan melihat malah semakin tak percaya.
Lili membawa piring dan gelas kosongnya ke wastafel, dan membasuh tangannya. "Mam..." ucapnya sambil menengadah tangan.
"Kirain kalo udah punya pacar jadi nggak perlu jajan." Ledek mama, sambil mengeluarkan amplop coklat yang berisi uang bulanan putrinya, kemudian menyodorkan itu kepada Lili.
"Ye, emang apa hubungannya coba?" Lili menerima aplop itu dan memasukkannya ke dalam tas. "Makasih, Mama!"
"Katanya lihat muka pacar aja bisa bikin kenyang."
Lili tertawa.
Karena kalimatnya bahkan tidak dikoreksi oleh sang anak, mama jadi semakin semangat menggoda. Kali ini, sambil menyolek dagu Lili, wanita setengah baya itu kembali bersuara. "Kok nggak di koreksi? Jadi bener nih udah pacaran?"
"Mama..."
"Apa?" mama mengangkat alis. "Mama nggak masalah lho kamu pacaran, wajar diusia kamu ini udah suka sama lawan jenis. Asal tau batasan dan bisa memotivasi untuk semangat belajar aja, bukannya malah galau-galau dan buat nilai sekolah turun," Katanya sambil mengusap puncak kepala Lili. "Dah gih berangkat, kasian pangerannya udah nungguin cinderella dari tadi."
"Mama ih," Lili menggembungkan pipi. Cewek itu pamit cium tangan kepada sang mama. "Yaudah, Lili sekolah dulu ya!"
Mama mengangguk dan tersenyum. Ada rasa haru ketika melihat anaknya yang kini sudah beranjak dewasa; bisa memilih melupakan kenangan pahitnya dan mencoba menuai kebahagiaan. Bagi mama, tak masalah siapapun lelaki yang dipilih Lili sebagai tambatan hati asalkan laki-laki itu bisa menjaga Lili dan selalu membuatnya tersenyum seperti sekarang. Toh, jalan mereka masih panjang untuk melalui level yang lebih serius, karena soal yang satu itu akan ada waktunya sendiri.
Dua puluh menit perjalanan—pakai macet—akhirnya mereka sampai di pelataran parkir SMA Sriwijaya. Fajir mengambil helm yang disodorkan Lili padanya, menaruhnya pada tempatnya, kemudian ia melakukan hal yang sama dengan helm miliknya. Cowok itu mengambil kunci motor dan memasukkannya ke dalam saku jaket.
"Yuk?" ajaknya sambil menyugar rambut.
Lili mengangguk. Kemudian, keduanya berjalan bersisian menuju koridor penghubung.
"Tunggu, bentar." Tiba-tiba Fajir meraih lengan Lili saat mereka hampir sampai di koridor.
Lili menoleh. "Kenapa? Ada yang lupa?" tanyanya saat melihat Fajir nampak mencari-cari sesuatu.
"Oh iya..." gumamnya mengingat sesuatu.
"Udah ketemu? Apaan emang?"
"Gue lupa kalo hati gue kan udah gue kasih ke elo." Ucapnya dengan wajah polos.
"Ih Fajir, norak ah!" maki Lili sambil memegang wajahnya yang mulai terasa panas. Cowok itu benar-benar random banget, dan jelas gombalan norak gitu menurut Lili nggak cocok dengan kepribadian Fajir. Ugh.
Karena itu tanpa menunggu Fajir yang sibuk tertawa ngakak, ia langsung berbalik arah dan jalan cepat—setengah berlari menuju koridor.