Bekas kemerahan akibat tamparan itu jelas sudah tidak ada. Namun, sakit dari tamparannya tetap terasa meskipun telah tiga hari terlewatkan. Lili mengesah, sudah tiga hari itu juga ia duduk sendirian. Kursi yang biasa ditempati oleh Niken kosong karena si empunya tidak hadir tanpa pemberitahuan sejak kejadian waktu itu.Bahkan setelah dirinya disalahkan padahal jelas oknum yang menyalahkan itulah yang bersalah atas segala hal yang terjadi, Lili tetap tidak bisa untuk membenci Niken sepenuh hati.
Dia kesal, tentu saja.
Marah, apalagi.
Dan satu-satunya orang yang mendapat pembenaran untuk siapa yang harusnya menampar adalah dirinya, bukan cewek itu. Segalanya sudah jelas, bahwa korban di sini adalah dia. Bukan Niken. Tetapi balik lagi ke penjelasan awal, bahwa Lili tetap tidak bisa untuk membenci Niken seratus persen.
Memang nggak masuk akal, namun inilah yang terjadi. Bahkan, setelah apa yang Niken perbuat padanya, Lili tetap mengkhawatirkan teman semejanya itu...
Melihat Lili yang sejak tadi menghela napas seperti sedang dalam tekanan batin yang dalam itu mau tak mau membuat Sarah yang duduk dibelakang meja Lili mengurut alis sambil geleng-geleng. Cewek itu kemudian bangkit dan duduk di kursi kosong di sebelah Lili, satu tangannya ia bawa untuk menepuk pelan pundak Lili seraya bicara. "Lo mikirin Niken?"
Lili meneleng, lalu mengangguk. "Lo tau kan kalo Niken ambisius. Dia bahkan nggak ikut ulangan pak Midar."
"Li, Li, hati lo itu terbuat dari apa sih?" Sarah geleng-geleng. "Gue ya kalo jadi elo, udah gue mampusin deh. Lagian, jahatin orang nggak pake otak. Percuma pinter."
"Kita nggak perlu balas ngebenci orang yang benci sama kita kan, Rah?"
Sarah menipiskan bibir. "Iya, tapi nggak usah dikhawatirin lagi. Padahal bukan gue yang dia jahatin, tapi gue keselnya sampe ubun-ubun nih."
"Sarah."
"Lili," balas Sarah sambil memutar bola mata. "seenggaknya dengan semua orang tahu gini, akan membuat efek jera untuk Niken kan?"
Ucapan Sarah memang tidak salah, sejak rekaman suara itu diputar seluruh Sriwijayans langsung berkasak-kusuk. Beberapa bahkan meminta maaf pada Lili, ada juga yang membela Lili dan mengatai Niken dengan komentar khas ala netizen. Lili memang senang dengan itu nama baiknya langsung terangkat kembali, namun dia tidak mungkin terus senang saat melihat bagaimana Niken yang mungkin sedang kesusahan di tempatnya berada.
Masih sibuk dengan pemikirannya, Vio, Jelita, dan beberapa siswi di XI S1 masuk dengan membawa jajanan kantin, mereka langsung berlari menuju meja Lili.
"Mau?" Vio menawarkan basreng pada Lili dan Sarah. Keduanya menggeleng bersamaan.
"Eh tau nggak," Jelita memulai sambil memasukkan potongan keripik kentang ke dalam mulutnya. Semua yang di sana—kecuali Lili dan Sarah—terlihat antusias untuk mendengarkan kelanjutannya. Mereka semua sepakat kalau ghibah akan dimulai dari kalimat yang Jelita lontarkan barusan, dan karena itu jiwa-jiwa warganet dalam diri cewek-cewek itu mulai meronta ingin keluar. Sambil berdeham pelan, Jelita kembali bicara. "Gue denger-denger kalo yang biayain Niken sekolah di sini itu pamannya tau. Nyokap dia suka mabok gitu, terus bokapnya masuk RSJ. Gila ya, parah..."
"Sumpah lo?"
"Tau dari mana lo, Jel?"
"Ih, pantes kok anak pengusaha properti gayanya B aja, gue kira dia low profile eh taunya low budget ya cui..."
Jelita mengangguk-angguk sepaham.
"Jel, bukannya lo sama Niken lumayan akrab ya?" tanya Sarah dengan mengernyitkan dahi.
"Baru-baru ini aja gue lumayan akrab sama dia karena gue lagi naksir sama temen satu ekskulnya. Tapi kami nggak seakrab itu you know?"
Lili yang sejak tadi sibuk larut dalam pemikirannya langsung berdiri. Cewek itu mengambil HP-nya dari dalam laci meja, kemudian pamit. "Gue ke toilet bentar ya." Katanya.
"Lili kenapa?" tanya Jelita.
Sarah mengangkat bahu sekilas seraya berdiri. "Muak kali sama netijen SMA Sriwijaya yang mukanya banyak banget." Katanya, lalu pergi menyusul Lili keluar sambil berseru, "Li, tungguin!"
***
Fajir mengacak rambut snewen. Cowok itu sudah berkali-kali mengutarakan ketidaksetujuannya perihal ajakan Lili itu, tapi ia bisa apa ketika melihat cewek yang ia sukai itu bertingkah menggemaskan demi terkabulnya keinginannya itu.
"Kalo dia sampe ngusir kita, lo harus berhenti mengkhawatirin dia. Oke?" Syarat Fajir.
Lili mengangguk. "Niken nggak mungkin ngusir kita, Fajir..."
"Mungkin aja, Li." Fajir memutar bola mata. Sambil membuka safetybelt-nya dan mematikan mesin mobil, ia melanjutkan. "Lo jangan terlalu baik lah. Kira-kira juga yang dibaikin dan diperhatiin. Mending lo perhatiin gue aja, kepala gue pusing nih abis di jejelin Pasal sama Bu Yun."
"MTK aja jago, cuma disuruh menghafal pasal 26 sampai 30 aja ngeluh."
"Iya, emang cuma dari pasal 26 sampe 30. Tapi, anaknya banyak, Lili. Lo pokoknya harus fokus hanya perhatiin gue aja kalo masalah ini udah selesai. Oke?"
"Ih, kenapa gitu?" Lili mengangkat alis dengan wajah cemberut.