Matahari sudah lama tergelincir masuk kembali ke dalam peraduannya, dan kini digantikan oleh sinar rembulan dan bintang di atas sana saat Fajir keluar dari kamar mandi dengan handuk yang bertengger di pundaknya. Cowok itu mengusap rambutnya pelan menggunakan handuk, sebelum menaruh handuk itu di rak handuk yang berada di balkon.
Angin malam langsung menerpa wajah Fajir saat cowok itu berjalan keluar balkon, setelah menggantung handuknya, ia membiarkan dirinya terjebak di balkon sedikit lebih lama. Cowok itu bersedekap, memandang ke dalam rumah di depannya yang gordennya belum di tutup—dan kini sedang menampilkan pemandangan yang membuat rindu; nampak seperti keluarga kecil yang sedang duduk di depan meja sofa di depan TV dengan Ronald (anak kelas satu SD) nampak sedang mengerjakan PR dengan ayahnya yang telaten mengajarinya. Sedangnya Ibu dari anak itu beberapa kali terlihat mondar-mandir membawa gelas dan piring, lalu ikut berkumpul di sana.
Fajir tersenyum kecil ketika sekelebat kenangan dari masalalu-nya meringsek hadir. Matanya sayu dan perasaan kangen akan masalalu tiba-tiba muncul, hal yang sudah lama berhasil ia lupakan itu mendadak kembali lagi. Tidak ada yang lebih indah dari harapan anak-anak adalah melihat keluarga mereka baik-baik saja, namun pelajaran terbesar dalam hidup ini adalah kita tidak bisa menyesuaikan kehidupan dengan takdir yang sudah di gariskan Tuhan pada hambanya. Mendadak Fajir memejamkan mata, dan tiba-tiba wajah haru bunda Eva muncul dalam benak cowok itu. Ia selalu memandang marah dan kesal pada perempuan setengah baya itu, ia juga tak pernah benar-benar memerhatikan tatapan perempuan setengah baya itu kepadanya. Tetapi hari ini... dan juga tatapan itu... apakah selama ini Fajir terlalu egois untuk tidak mendengarkan penjelasan mereka?
Fajir menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa detik sebelum ia mengembuskan napas perlahan. Cowok itu kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam kamar bersamaan dengan pintu kamarnya yang diketuk tiga kali sebelum suara decitan pintu yang terbuka terdengar.
"Dipanggil bunda dan papa untuk makan malam." Nu menginformasikan. Seperti sudah menjadi kegiatan rutinnya untuk memanggil saudara sambungnya ini tiap makan malam tiba—kecuali jika Fajir tengah berada di ruang TV—dan entah kenapa hari ini perasaannya berbeda. Sejak kejadian 'pembalasan dendam' itu Nu merasa kalau Fajir tidak seperti Fajir yang dulu. Cowok itu merasakan perubahan dari sikap defensif Fajir meskipun hanya sedikit. Dan, melihat bagaimana bunda terus tersenyum dengan matanya yang sedikit sembap, plus sekotak roti di atas meja, sepertinya ada kejadian yang telah ia lewatkan. Kejadian baik, tentu saja.
Fajir mengangguk sambil mengusap alis pelan.
"Gimana tadi? berhasil ketemu Niken?" tanyanya. Masih berdiri di depan pintu.
"Ya. Ketemu."
"Kenapa dia nggak masuk?" tanya Nu. "Kelompok ilmiah gue masih butuh dia, biar gimanapun gue jadi ngerasa nggak enak, kami bentar lagi bakal ikut olimpiade. Dan karena kejadian itu semua orang jadi memandang Niken sebelah mata." Nu mengembuskan napasnya. "Dia baik-baik aja kan?"
"Niken sakit. Lo tau itu." ucap Fajir sambil mendengus. "Tapi kalo yang lo maksud adalah fisiknya, ya dia baik-baik aja."
Nu tidak menjawab dan hanya mengangguk. Cowok itu memasukkan kedua tangannya pada kantong celana katung yang ia kenakan, lantas bicara. "Ayo turun kalo gitu."
"Duluan, gue mau nelpon Lili bentar."
Nu kembali menganggukan kepala. Kemudian ia berbalik dan melangkah pergi.
Fajir berbohong soal ingin menghubungi Lili. Ia sebenarnya hanya memerlukan waktu untuk memantapkan dirinya. Memasang kaca yang berbeda dan mulai mempertimbangkan nasihan Lili padanya tadi, yang mana mungkin itu hal yang terbaik. Kadang kita tidak pernah tahu bahwa Tuhan mengetuk hati umat-Nya dengan berbagai cara. Dan mungkin inilah cara yang dilakukan yang maha kuasa padanya.
Cowok itu akhirnya berdiri, lalu melangkah keluar kamar. Tak membutuhkan waktu lama untuknya tiba di ruang dapur, langkahnya melambat saat menemukan tiga orang lainnya sedang melontar candaan. Fajir berdeham pelan, lalu mengambil tempat di sebelah Nu—diseberang papanya—sedangkan bunda Eva sedang menadahkan telor goreng yang baru matang ke atas piring.
"Yang dadar untuk Fajir, dia nggak suka telor mata sapi." Kata bunda seraya meletakkan piring berisi telor goreng itu di sebelah beberapa lauk-pauk lainnya yang sudah ada di atas meja. Berjejer rapi dan siap disantap.
Fajir berdeham, dalam hati ia bingung bagaimana bunda Eva mengetahui kalau dirinya tidak suka telor mata sapi. Cowok itu mengambil piringnya yang diisikan nasi oleh bunda Eva dan menggumamkan terima kasih.
"Gimana pacar kamu, Fajir? Kapan diajak ke rumah?" ujar papa santai, yang malah Fajir langsung tersedak air minumnya ketika mendengar suara pertama papanya. Cowok itu menepuk pelan dadanya, sementara sang papa nampak tidak terpengaruh dan tetap memberikan pertanyaan lanjutannya. "Papa memang sudah kenal sama Lili, tapi kan beda kalo statusnya udah jadi pacar kamu."