Niken menarik napas sekali. Duduk di tempat persembunyiannya sejak tadi sangat menyulitkan karena beberapa kali ia melihat teman-teman sekelasnya bersliweran di sekitar tempatnya bersembunyi itu. Namun, tak ada pilihan lain. Karena tadi pagi setelah mengurus segala berkas kepindahannya di ruang tata usaha dia tidak langsung pulang dan lebih memilih berkeliling SMA Sriwijaya, lalu berakhir di perpustakaan karena Niken ingin 'menyapa' gedung-gedung tempatnya menuntut ilmu itu untuk terakhir kalinya. Alasan kepindahannya dari SMA Sriwijaya karena insiden waktu itu memang bukan satu-satunya alasan. Lebih dari itu, Niken merasa perlu mencari suasana baru, orang baru, dan kebahagiaan baru. Karena itu, ia berniat akan pindah ke rumah adik dari papanya yang tinggal di Solo. Bibinya juga mengatakan kalau beliau akan mengajak serta kakaknya (papa Niken) ke Solo agar beliau bisa merawat sang kakak dengan baik. Sementara mama Niken akan tetap di sini. Entah bersama siapa, Niken juga tidak tahu. Hubungannya dengan sang mama tidak akan membaik seperti hubungan ibu-anak yang lain, dan Niken cukup mengerti untuk tidak meminta lebih. Saat ini ia hanya ingin mengikhlaskan dan melepaskan belenggu yang mengikatnya. Ia tidak akan memaki takdir, namun mulai mencoba menjalaninya.
Cewek itu bergegas berdiri, menepuk rok bagian belakangnya yang terkena debu karena duduk sembarangan—perpustakaan sudah tutup karena jam sekolah telah usai satu jam tiga puluh menit yang lalu—kemudian sedikit mundur ke balik pohon saat suara Ares terdengar menggelegar menuju pelataran parkir. Tak lama sosok itu muncul dengan pakaian olahraga, bersama Fajir dan Dipo, juga beberapa anak cowok di kelasnya yang lain. Mereka nampak mengobrol renyah sambil mengeluarkan motor dari tempatnya diparkirkan.
Itu teman-temannya, yang mungkin telah kecewa dengan kelakuannya. Disaat mereka menawarkan persahabatan tulus, ia malah bertingkah sebaliknya. Satu tangan Niken yang memegang paper bag kecil tak terasa mengepal dengan pandangan sendu menatap ke kerumunan teman sekelasnya. Atau, mantan teman sekelasnya.
Niken masih menatap lurus ke depan hingga tak sadar posisinya kini sedikit tak disembunyikan batang pohon di depannya, dan pada saat itu—dengan sedikit terkesiap—cewek itu langsung kembali bersembunyi ketika sepasang mata mengarah ke arahnya berdiri.
Sepasang mata milik Lili. Dan dia tidak boleh ketahuan!
Ini bukan momen yang baik untuk bertemu mereka, dan sepertinya tidak akan ada momen yang baik untuk bertemu mereka. Niken merasa bermental tempe karena ia bahkan tak berani mengucapkan salam perpisahannya secara langsung, alih-alih ia malah menulis surat untuk teman-teman sekelasnya itu
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya suara deru motor terdengar keras hingga semakin menjauh dan menghilang. Niken mengintip sekali lagi untuk memastikan segalanya telah aman, lalu ia berderap melangkah masuk ke koridor dan berjalan ke kelas XI S1. Kelas penuh dengan kenangan itu.
Sementara, keesokkan harinya penghuni XI S1 dihebohkan dengan penemuan surat cinta yang pertama kali ditemukan oleh Gilda, berlanjut ke Jelita yang datang bersamaan, hingga ketika kelas mulai terisi penuh, mereka berbondong-bondong mengecek laci mejanya masing-masing.
Dan sesuai dugaan, pada detik berikutnya kehebohan kembali terjadi.
"Berasa orang ganteng gue dapet surat cinta!" ujar Ares heboh sambil duduk di mejanya. "Eh, gue emang ganteng ding. Sampe lupa." Jawabnya sendiri.
"Mana ada orang ganteng yang ngaku dirinya ganteng." Degus Dipo. "Tuh, contoh orang ganteng sesungguhnya." Tunjuknya pada Fajir yang baru datang bersama Lili.
"Ada kok. Gue nih barusan kasih contoh ke elo." Balas Ares tak peduli. Cowok itu kemudian membuka lipatan kertas berwarna krem di tangannya itu, sebelum membaca ia menyempatkan menyapa sedikit berteriak. "Pagi, Lili... dah mam beyum?"
"Gila ya udah nggak sepandangan lagi." gerutu Fajir sambil meletakkan tasnya di laci meja, namun keningnya mengernyit saat menyadari ada kertas serupa yang dipegang Ares dan Dipo di dalam laci mejanya. Ia lantas mengambilnya. "Apaan nih?"
"Wah, gue kira yang taken nggak dapet surat." Gumam Ares. "Dari Niken itu." katanya, menjawab pertanyaan Fajir.
"Semuanya dapet, bengak!" dengus Dipo.
Fajir mengangkat alis heran. Mengikuti Dipo dan Ares yang mulai membaca surat ditangan mereka, ia melakukan hal yang sama kemudian.
Gue mau bilang makasih karena lo udah nunjukin ke gue kalo cowok tulus itu emang ada. Makasih ya Jir karena elo dan Nu udah ngejebak gue waktu itu, karena kalau enggak, nggak tau deh sampai kapan gue bakal tersesat. Maaf karena sering bikin lo kesel, tapi serius, gue sebenernya nggak suka sama lo. Sedikitpun. Kemarin-kemarin itu nggak serius.
Gue pamit ya.
-Niken-
Satu sudut bibir Fajir tertarik ke atas bersamaan dengan satu alisnya yang naik ke atas. Cowok itu otomatis menatap ke arah meja Lili dan menemukan ceweknya sedang duduk terpaku menatap kotak kado berukuran kecil di atas mejanya. Fajir langsung berderap melangkah ke meja Lili.
"Dari Niken?"
Lili mengangguk, lalu mendongak. "Rubik." Katanya, menyebutkan isi dari kotak kado itu.
"Gue juga sama kayak yang lain, dapet surat."
"Surat gue mana dong?" Lili cemberut.
"Coba diangkat, siapa tau dibawah rubiknya." Kata Fajir.
Lili mengikuti, kemudian ia mengambil rubik itu dan menemukan secarik kertas di dalamnya. Kertas berwarna merah muda yang dipenuhi tulisan tangan Niken, dan mulai membacanya...