~•~
Dari RYAN:
"Sebuah kehidupan tidak akan ada pelarian ketika berani menginjakkan kaki menuju sarang iblis."
~•~
Lily, gadis berkacamata itu menampakkan diri di kawasan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dilihat dari wajahnya tampak kelelahan tapi seperti ditutupi. Kakinya melangkah mantap seakan koridor sekolah itu tak berbahaya baginya. Padahal dua tahun kemarin belajar dalam keadaan tak nyaman.
Rutinitas sehari-hari yang ditimpa Lily ialah tersungkur kaki manusia yang menghadang langkahnya secara mendadak, terpental jatuh karena didorong dari belakang, rambut yang dikucir rapinya terkadang ditarik selayaknya tali tambang, atau kepalanya akan benjol ketika melewati lapangan bola voli, dan masih banyak lagi. Salah satu yang disebut tadi, pasti teralami sekarang.
Lily berdiri di ambang pintu kelas 12-E, ruang barunya belajar karena dirinya naik kelas. Ruangan paling ujung koridor sekaligus ruangan paling sulit dijadikan ajang pelarian (bolos sekolah). Enaknya, ruangan itu dekat dengan ruang UKS, tempat yang pasti dijadikan para cowok nakal untuk tidur di jam kosong. Dan ... baginya, mau kelas mana pun sama saja. Sama-sama menjadi korban bullying.
"WOY LILY!"
Ada orang memanggil namanya dengan nada kasar. Dari isu banyak orang, pemilik suaranya menyeramkan dan mampu menaklukkan semua siswa dengan mudahnya. Lily berbalik, menghadap sosok lelaki itu. "Lo Ryan, ya?" tanyanya sambil memicingkan mata.
Ryan tersenyum penuh benci.
Lily dapat mengartikan senyuman benci itu; perasaan iri, memendam amukan dan menyihir seseorang untuk berprasangka buruk tentang maksud kedatangannya kemari. Apalagi lelaki itu belum pernah menginjakkan kaki kepadanya.
"Lo nantang gua!?" Ryan berteriak keras, siapapun akan gemetar ketakutan ketika disahut penuh amarahnya, tapi Lily justru terdiam.
"Nggak mungkinlah gue nantang cowok kuat, sedangkan gue lemah," jawaban Lily sambil mengangkat alis.
Lengan Ryan mengepal sampai terdengar bunyi tulang gemeretak. Sial, dirinya dipermainkan, pikirnya. Jari telunjuknya menekan kening Lily penuh kekuatan yang terpaksa dipendam, dia tak mungkin memukul gadis itu untuk diberi pelajaran seperti cowok melakukan kesalahan kecil. Ryan bicara penuh penekanan, "Di semester sekarang ... gua perintahkan ... lo mundur selangkah dan beri lowongan gua maju. Lo gak cocok!"
Lily mangut-mangut, paham maksud kedatangan Ryan di hari pertama masuk sekolah itu. Ternyata Ryan haus kepintaran. Dari dulu pantas saja mata tajam lelaki itu selalu menyorotinya kala berdiri di rank umum pertama, sementara Ryan di rank dua.
Tak terduga, Ryan melabraknya di kelas dua belas semester satu ini, mungkin lelah tak bisa menandingi kepintaran Lily.
"Memang ada yang bisa bakar hapalan pintar gue, atau menjadikan gue bego hanya untuk rank umum?" Lily tersenyum simpul. Tak ada niatan untuk angkuh, justru ingin meluruskan jalan pikir Ryan. Ia tak mungkin mengangguk setuju atas usulan Ryan yang bengkok. "Sori, Yan. Gak bisa."
Ryan berdengus tak tertahankan. "Oke! Gue bayar, gimana?" tawarnya tampak gemas.
"Ng—"
"Gue gak terima penolakan!" Ryan menyambar kala Lily menggeleng. "GUA BISA KELUARIN LO DARI SEKOLAH!" Kali ini dia mengancam. Nafasnya mirip banteng melihat warna merah. Mata iblisnya menajam dan menusuk gadis berkacamata yang mematung. Memang tak ada cara lain, selain digertak, diancam, demi keinginannya.
Ryan melipat tangannya di dada. "Gua bisa aja keluarin lo dari sekolah dengan tuduhan serius. Jangan main-main dengan gua," tuturnya kembali tenang. "Hanya satu, lo turun dalam hal belajar. Gua gak suruh apa-apa lagi. Dan gua muak ketemu lo lagi, najis!"
Mulut Lily memberat, hanya uap yang keluar dari sana. Banyak rintangan untuk menyahut, tapi tidak untuk sekarang.
"Gue harap lo gak ingkar."
Lily menelusuri jejak tanda tanya. Setelah dipikir-pikir, ia tak pernah berjanji, belum mengiyakan, dan tidak pernah setuju. Namun, bukan jatahnya untuk menyanggah.
"Kalau lo ingkar di semester satu, gua pasti buat perhitungan sama lo." Wajah Ryan mendekat ke telinga Lily. "Sekolah, belajar, ketenangan, gua pastikan ketiga itu lenyap," bisiknya bagaikan embusan angin malam.
Anehnya, tubuh Lily merinding mendengar ancaman yang membisik di telinganya. Lily menelan ludahnya yang langsung mengering di tenggorokan. Bibirnya memucat pasi. Perkataan Ryan seakan menusuk tubuhnya, menyesakkan dadanya, dan memusingkan kepalanya yang tengah memikirkan bagaimana bila ia patuhi atau mengingkarinya bagaikan angin lalu.
Bila ia patuhi permintaan Ryan, orangtuanya akan kecewa, terlebih lagi papanya. Dan bila diingkari, ia tak tahu bagaimana nasibnya. Takutnya, Ryan bertekad mengeluarkannya dari sekolah dengan beberapa alasan palsu, sebagaimana lelaki itu bersekongkol dengan—Rubay—yang pintar membuat berita bohong dalam semi internet, Rubay pula pintar meng-hack seseorang.
Setelah dipikir matang-matang dan hening sebentar, Lily akhirnya mematuhi. "Semoga gua gak ingkar, gua akan kabulin permintaan lo," lirihnya pelan, berharap tak ada penyesalan setelah mematuhi perintah Ryan.
Senyum Ryan terbit begitu manisnya. Menurut orang lain, jenis senyuman ini adalah jenis kepuasan. "Gua akan pegang janji ini selama lo masih duduk di SMA. Gua gak mungkin lupa ingatan, jadi siap-siap kalau lo mengingkari perjanjian."
Lily bernafas lega begitu Ryan pergi tanpa membuang keangkuhan. Entah dari mana niatnya betul-betul mengabulkan apa kata Ryan tadi. Dalam hati Lily merapalkan beberapa aturan untuk tidak mencari masalah kepada cowok yang dijuluki iblis itu. Dan merasa tertantang untuk melarikan diri kala bertemu dengan Ryan, mungkin itu bisa menyamarkan wajahnya atau tak menimbulkan bencana lagi.
Tiba-tiba punggung Lily disentuh oleh seseorang, ia cepat menoleh kemudian tersenyum begitu tahu siapa orangnya. "Kaze? Lo sekelas sama gue?" duganya karena lelaki itu keluar dari gagang pintu kelas 12-E.
"Iya. Dan sayangnya, Linda kebagian ruang 12-A," tutur Kaze sambil menatap kepergian Ryan di koridor. "Lo gak apa-apa? Apa tadi ada Rubay di samping Ryan? Apa ada yang mukul lo?" tanyanya memastikan dengan raut khawatir, Rubay—sobatnya Ryan—si tukang baku hantam yang buta jenis kelamin, dia selalu melakukan tindakan kekerasan kepada orang, mau korbannya cowok atau cewek, itu pun bila diperintah Ryan.
"Nggak ada Rubay. Tadi itu cuma diperintah Ryan aja."
"Jangan turutin kemauannya! Lebih baik kita lapor ke guru kesiswaan, biar mampus itu anak," Kaze menyorot tajam ke arah Ryan yang memunggunginya, "dia udah kelewatan batas!"
"Gak semudah itu, Ze."
"Dan gak semudah itu lo lupain," sergah Kaze tegas, "gue takut lo kenapa-kenapa," kali ini suaranya berubah sendu, "mungkin terdengar pengecut, tapi mau gimana lagi? Dia patut dikasih pelajaran, biar gak ganggu lo lagi."
"Ini baru sekali, dan kalau gue patuhi, Ryan gak akan suruh gue lagi. Jadi ... lebih baik lapor guru atau nurut?" tanya Lily tak lepas tersenyum simpul. "Terkadang anjing bakal jadi buas kalau gak dikasih makan. Percaya deh Ryan gak akan berulah lagi."
Andaikan Kaze tahu selama ini dirinya sering diganggu teman-temannya hanya beralasan dirinya culun dan terlihat lemah, mungkin Kaze uring-uringan melapor ke guru tentangnya. Tapi untungnya, mau Kaze atau Linda—temannya—tak ada yang tahu dirinya di-bully selama SMA ini. Makanya sekarang, Kaze kaget atas perlakuan Ryan kepadanya.