~•~
Untuk RYAN:
"Tujuan. Ciri yang menjadikan manusia mematuhi suatu syarat. Walau sangat merugikan dan membahayakan."
~•~
Istirahat belum usai. Dan waktu ini adalah kesempatan cemerlang Lily gunakan menjadi bahan penenang. Ia bertekad ke luar wilayah sekolah sebentar hanya untuk membeli segelas minuman yang membuatnya rileks kembali. Kopi dingin.
Sambil meneguk kopi, ia mencoba memikirkan suatu hal yang menyebabnya gundah. Dan yang pertama kali terbesit adalah orangnya, atau iblisnya; Ryan. Bersamaan dengan itu tubuhnya pegal-pegal seperti sudah dilempar batu bertubi-tubi. Lily tak tahu pasti, tapi nama itu justru semakin terngiang-ngiang di benaknya dan membuahkan pusing kepala. Pemikiran mendadak yang menjadi racun penyakit, pikirnya dan meneguk kopi hingga ludes tanpa sisa. Setelah itu pesan kopi kembali kepada Bi Icih (Mbak 'warung serba-ada').
Lily yakin, satu saat dan entah kapan, dirinya akan merasakan waktunya berdetak lebih lama seperti waktu pertemuannya dengan sang Iblis tadi. Dan kelambatan itu akan membuatnya tersiksa, belum lagi jejaknya yang pasti ikut di kepala dan berputar-putar tanpa henti.
Lily menggeleng-geleng gusar ketika batinnya mengatakan; Ryan itu seram, gak seperti manusia yang ditemui sebelumnya. Wajah lelaki itu terlintas tanpa menolak, tapi menurutnya raut lelaki itu biasa saja, apalagi ketika dia teriak-teriak tak jelas seperti adiknya di Bandung, tampak lucu sekali tapi sedikit menegangkan. Seperti menonton film horor, dan ia menyebutnya 'tantangan seru'.
Namun, ada yang aneh. Menurutnya, Ryan bukan tantangan, tapi ancaman. Padahal dia tidak seburuk tukang pem-bully yang melemparinya batu. Dia seperti boneka yang bersuara dengan tampang sok seram, itu saja. Tapi, gelagat itu justru membuat Lily takut. Apalagi bisikannya, Lily tiba-tiba bergidik ngeri. Ia tersadarkan bahwa bisikan iblis itulah yang menyeramkan, mengalahkan gertakannya, teriak tak jelasnya, dan tubuh kekarnya.
Mendadak sebuah alunan syarat dari Ryan terngiang kembali. Seperti kekuatan super, angin tiba-tiba berembus kencang ke tubuh Lily ketika secuplik kalimat dari Ryan kembali berbisik dalam pikirannya; "Gue membutuhkan pelayan ...."
Aura merinding kembali datang, mendirikan bulu kuduk Lily secara otomatis.
***
"LILY! Lo gak apa-apa, kan?"
Belum juga Lily memasuki kelasnya, sudah terdengar lengkingan suara milik Linda dari dalam. Ini! Inilah yang dibenci olehnya, harus menjawab pertanyaan orang dengan berbohong demi kebaikan. Tapi tetap saja, menambah dosa.
Sambil masuk kelas, Lily tersenyum dan menjawab, "Gapapa." Secara spontan ekor matanya tertuju pada satu manusia yang meringis-ringis di bangku paling depan. "Nda, lo udah obatin luka Kaze?" tanyanya dan mendadak khawatir ketika pemikirannya menjawab 'tidak'. Ia mengetahui mana yang sudah terobat dan mana yang belum. Hampir seluruhnya Kaze menyandang dugaan belum.
Linda berdengus. "Udah, tapi agak emosional."
Mungkin dugaan Lily sedikit benar. Ia merasa bersalah telah menyatukan sosok Linda dengan Kaze, sebagaimana dirinya tahu mereka tidak akan akur karena permasalahannya yang tertimpa. Terlintas gambaran bagaimana cara Linda mengobati Kaze, pasti penuh penekanan dan menyakitkan. Seolah Kaze harus diberi pelajaran karena telah membuatnya tertahan sebentar oleh Ryan, sementara cowok itu boleh pergi dengan terpincang-pincang (itupun karena diusir).
Kaze berdiri dari duduknya. "Lo ... diapain sama Ryan? Syarat yang dia kasih apa? Jangan bilang dia suruh lo buat mengundurkan diri dari sekolah, terus dipaksa jualan dan uangnya buat dia?" cerocosnya tak tertahan.
Belum juga Lily meluruskan, Linda sudah menyemprot lebih dulu. "Oooh, atau lo disuruh jelek-jelekin nilai dan pura-pura bego satu sekolah? Atau ... atau ... dia pukul lo ...? Aaahk! Gak mungkin!" Linda mendekati cewek kacamata itu, memeriksa dari wajahnya, pergelangan tangannya, barangkali sosok iblis itu berbuat macam-macam.
Lily tertawa kecil, sedikit menjauh dari koreksi Linda karena memang Ryan tidak melakukan tindakan apa pun. Hanya sebuah syarat agar Kaze bisa keluar dari amukan sosok iblis berseragam basah dengan bau amis bakso. "Ryan gak mukul, kok. Tenang aja kali."
"Bener?" Linda langsung ambruk di lantai. Lelah memikirkan sahabatnya yang masih diduga-duga bagaimana kondisinya sedari tadi. Bila yang menahan sahabatnya bukan Ryan, Linda pasti berniat menyusul daripada mengurusi Kaze tak bertanggung jawab itu.
"Apa syaratnya gue bebas?" Kaze mengembalikan topik penting yang hampir tenggelam. "Gak mungkin kan gue gak sengaja tumpahin air bakso ke seragamnya lalu dia kasih syarat yang gila?"
Lily tersenyum miris seraya duduk di bangku miliknya. "Tapi mungkin aja. Gak ada larangan, berarti balas dendam boleh dilanggar lebih ...."
"Kenapa lo samperin gue tadi?" Kaze bertanya serius dan dingin. "Gak akan kayak gini ceritanya kalau lo bela-belain ke kantin sebelah karena gue."
"Dan gimana nasib lo kalau gue gak datang?" Lily menyorot pasrah ke Kaze. "Ze, cewek itu jurus buat menyelesaikan masalah cowok yang hobi baku hantam. Cewek itu lemah, cowok itu kuat. Dan kalau disandingkan, pasti ada yang melemah dan memohon."
Dada Kaze terhempit dengan segala rasa bersalah. Tak ada pilihan selain menunduk sesal. "Sori, Ly. Seharusnya bukan lo yang nolong gue. Seharusnya gue lawan Ryan tadi. Bukan pengecut kayak gini."
Linda menjitak kening Kaze tepat di area bengkak, membuahkan Kaze meringis kecil. Kejadian itu mampu memecah atmosfer yang senyap. Ruangan penuh rasa bersalah Kaze dimasuki lengkingan khas Linda kali ini. "Halaaah! Bilang kek gitu cuma mau dapat kasihani Lily, kan?" Linda memberi kode-kode mata pada Lily, "Jangan dimaafin, Ly. Cowok kek gini tuh harus dilempar ke dunia bencong."
Lily tersenyum geli. "Iya, memang gak perlu dimaafin. Siapa suruh numpahin bakso," timpalnya ikut-ikutan.
"Gue gak sengaja!"