Lily Kacamata

Astyaulhaq
Chapter #3

3-Kekosongan

~•~

Dari LILY:

"Menunjang cita-cita belum tentu diawali dengan keberhasilan. Kedekatan juga belum tentu berawalan dengan perasaan. Semuanya berkembang sedikit demi sedikit, menyalurkan peran demi peran."

~•~


Pulang sekolah. Seperti kemarin, Ryan memerintah Lily tanpa berperasaan lewat pesan untuk ke suatu tempat. Tempat kemarin yang sempat Lily bersihkan ruangannya sekaligus wilayah keributan antara preman dan anak SMA dikobarkan. Menurut Lily tak ada masalahnya, tetapi sekarang cuaca sedang tidak mendukung. Awan mulai menangis walau merintik-rintik kalem, memberikan kesegaran bagi tumbuhan, menghempaskan debu aspal jalanan, dan membasahi tubuh Lily secara perlahan-lahan.

Akhirnya, gadis berkacamata itu sampai dengan seragam setengah basah, di tempat yang memperkerjakan dirinya kemarin, tempat yang dinamai basecamp anak SMA, lebih khusus pemiliknya adalah D.K Ryansyah, si iblis.

"Permisi ...." Lily mengetuk pintu yang sekarang sudah direnovasi menjadi kayu jati kukuh, dalam satu hari. Ia menduga si iblis itu menyuruh seseorang untuk merubah segala hal yang buruk menjadi bagus di tempat ini, seperti menyuruhnya kemarin untuk membersihkan ruangan.

"Masuuk!" Terdengar seseorang berteriak dari dalam, Rubay.

Mendengar suruhan dari sobatnya Ryan, Lily mendorong handel pintu agar membuka. Terdapat dua laki-laki dengan santainya bermain gadget di ruang tamu. "Apa kabar, Bos? Buat apa gua disuruh ke sini?" tanyanya ingat dengan posisinya.

Wajah penuh lebam yang mengering terlihat ketika Ryan mendongak. Lily yakin, luka itu disebabkan pertengkaran kemarin sore. Mungkin saja Lily menduga tim mereka menang dari sepuluh preman karena berjumlah banyak atau bisa dibilang main keroyokan. Tapi tetap saja, Lily mengakui preman'lah yang sangat kuat sampai-sampai para SMA yang datang berpuluh-puluh dapat membuat ketua gang-nya menaruh luka parah seperti itu. Bukan cuma Ryan, Rubay juga mendapat luka yang sama parahnya.

Ryan menaruh kedua kakinya di permukaan meja, tepat di depannya. "Pijit kaki gue."

Ia disuruh ke sini untuk itu? Lily memaksakan senyuman manisnya, hampir saja kesabarannya tertiup. Ia mulai menghampiri dan memijit kaki Ryan yang terdapat beberapa bengkak serius. "Gak seharusnya kalian berantem kayak kemarin," ceplosnya hampir tak terdengar.

Pendengaran setajam kucing akan cepat menimpali. "Gak usah ikut campur!" seru Ryan tajam.

Lily menguasai diri dari kekagetannya. Perlahan menarik ujung mulutnya, tersenyum untuk membuang waswas. "Maksud gue gapapa, sih ... cuma ... ya? Nama kagum lo dan prestasi lo akan musnah kalau ketahuan. Ditambah lagi sama fans-fans lo yang memuji sebab cuma kenal lo dari sisi sekolah, bukan sisi anak gangster."

"Lo berani bilang gitu?" Rubay tahu-tahu menyahut tajam. Sementara Ryan hanya bergeming, malas berdebat.

Lily nyengir, "Agak takut, sih. Cewek mana yang gak takut dekat dengan anak jalanan—"

"Gue bukan anak jalanan. Dan gue bukan orang jahat yang lo nyinyir tadi!" sambar Ryan sudah menjadi rutinitas seperti petir. "Besok-besok bawa benang sama jarum, gih! Kaput itu mulut!"

Bukannya takut, Lily malah mengerjap kebingungan. Perasaan, yang ia katakan tidak ada yang menyinggungnya. Mungkin lelaki itu saja yang sensitif. Tapi tak urung, Lily mengangguk dan menjawab usulan tak masuk akal dari mulut si iblis. "Iya. Besok gue bawa benang sama jarum, nanti lo bisa lihat mulut gue udah dikaput," sebagaimana menimpali kebodohan kepada orang bodoh.

"Bercanda. Jangan dibawa serius. Dasar polos!" Rubay tahu-tahu menyahut. Sudah seperti lalat lewat saja.

Lily tak ambil hati dengan makian Rubay, akhir-akhir ini ia selalu dikata polos oleh teman-temannya, padahal tidak. Masa iya—Lily—cewek tertua di keluarga, punya otak cerdas bisa disebut polos? Mungkin Lily harus mengingatkan kalau anak cupu bukan berarti polos kepada orang yang keliru, seperti Rubay. Namun, tak apa, ia lebih suka dengan sebutan itu. Biar disebut masih suci dari lahir, batinnya, terkekeh dalam hati.

Ponsel Ryan berdering. Ia berteriak begitu membaca siapa yang menelepon. "Raisaaa!"

Lily maupun Rubay saling menatap Ryan yang buru-buru mengangkat telepon sambil berdiri bagaikan anak kebelet pipis.

"Sa!? Gimana keadaan lo? Syukur, deh ... lo jangan ke mana-mana, oke? Gue ke rumah, sebentar ... iya! ... lo mau apa? Oke! Entar gue beli. Hah ...? Bosen ...? Nggak! Nggak! Pokoknya lo harus di rumah. Sip! Jangan ke mana-mana, inget? Oke ...."

"Raisa kenapa, bro?" Rubay bertanya.

Ryan membawa ransel hitamnya, berniat pulang ke rumah. "Buat apa gue cerita? Memang lo mau bantu apa?" sahutnya dingin.

Lily tersenyum lega. Ia juga membawa ransel, hendak pulang karena bos-nya saja mau pulang. Benaknya melayang-layang ke sebuah kulkas di mana kopi dingin buatannya berada, pasti enak sambil mengerjakan buku tugas teman-temannya yang membebani ranselnya. Ingin rasanya cepat-cepat pul-

"Ly, lo ikut gue."

Usulan Ryan membuat lamunan Lily tersambung mendadak, ia mematung tapi mulutnya menceplos, "Gue mau pulang. Masih banyak tugas."

Ryan mengerling jahat. "Jadi pelayan sudah seharusnya mematuhi perintah. Dan jadi 'bos' sudah seharusnya memuaskan diri tanpa memikirkan pelayan. Betul, kan?"

Lily hanya mengangguk setuju. Mulai keluar basecamp tanpa melirik si iblis itu. Ia menyadari hawa lelaki itu sedang tersenyum licik di belakangnya. Dan ia menyadari, lelaki itu sedang mempermainkan kesabarannya. Lihat saja, siapa yang akan terjebak, tahu-tahu Lily membatin ketus.

***

Naik mobil. Berdua. Tidak romantis. Sangat mencekam. Walau duduk di kursi belakang mobil, Lily merasakan ketidak-nyamanan, sudah berapa kali ia ganti posisi duduk, menggeser-geser pantat tak jelas, atau melihat suasana luar yang ramai oleh transformasi. Semuanya terasa aneh, seakan ada dorongan yang menyuruhnya untuk memecah keheningan di dalam mobil.

"Yan, kita mau ke mana?"

"Rumah."

Lihat selengkapnya