Lily Kacamata

Astyaulhaq
Chapter #4

4-Luas tak Bebas

~•~

Untuk LILY:

“Buanglah kenangan lama bila itu membuat keterpurukan terjadi.”

~•~

Di pantai yang luas, terdapat seluet gadis berkacamata. Dia menari-nari di hamparan pasir, terkadang melompat dan menandakan-nandak kegirangan. Tak memedulikan pakaian pendek ber-rok selutut itu terangin-anginkan oleh tingkah idiotnya dan embusan angin. Dia merasa bebas dan puas.

"Jenika!"

Gadis berkacamata—Lily Jenika Putri—itu membalikkan badannya, mengubur niatan berjoget gila seperti tadi. Dalam hati dia berdecak sebal, siapa cowok itu?

Cowok tadi maju, bahkan terlihat terburu-buru untuk menghampiri. Setelah mendekat, tanpa malu dia mencium kening gadis mungil itu, penuh perasaan.

Lily terperanjat mundur seusai lelaki itu melepas kecupan singkat tadi, dia memasang wajah tanpa dosa. "Siapa lo? Dasar brengs*k!!!" Wajah Lily menandakan ketidaksetujuan atas perlakuan lelaki itu.

"Aku David, Jenika bawel!" David memberitahu seraya menyunggingkan senyumnya. Sangat manis.

"Bohong!" Lily menyanggah.

"Buat apa aku bohong, Jenika."

Hening.

Lily mengerjap beberapa kali untuk menyurutkan genangan air mata yang hampir tumpah, beberapa kali ia tahan untuk bersikap biasa saja tapi sangat susah. Betapa dirinya tahu rasa rindu yang sudah lamanya membekas, dari SD. Dan sekarang dipertemukan lagi di umur enam belas tahun ini. "Ka-kamu David? Tolong jujur ...," suaranya bergetar.

David hanya mengangguk. "Tapi aku akan pergi sekarang, sebentar lagi kamu akan merindukanku lagi. Boleh?"

Lily tak kuasa menangis sambil terisak sekarang. Tak ada yang menahannya untuk memeluk lelaki tinggi itu, ia tak mau membayang-bayangkan dia lagi. Terlanjur mencintai, tak bisa memiliki, susah untuk memahami hati ini, padahal tinggal melupakannya tapi rasanya sangat susah. Lily memeluknya cukup erat sebagai ganti lelaki itu menghilang bertahun-tahun, ia tak rela merasa kehilangan lagi.

"Satu saat, kamu pasti menemukanku lagi. Jangan cengeng, biasanya juga kamu kuat."

"Nggak. Kamu harus di sini."

"Jenika ...," David memelas.

"Kalau nggak! Ya nggak! Aku kepengin kamu menemaniku sekarang. Jangan pergi lagi. Aku mohon David."

"Maaf ...."

"Aku benci kata itu!" Lily tambah erat memeluknya, tak memberi celah David untuk melarikan diri. "Pokoknya kamu harus di sini!"

"Gak bisa ... belum waktunya. Sudah, ya?"

"Tidak David ...."

"Aku mohon ...."

"DAVID!!!"

Lily membuka matanya yang membasah. Terkaget sendiri ketika melihat yang dipeluknya hanyalah bantal guling. Dan tempat yang saat ini dihinggapinya adalah kamarnya, bukan pantai. Ternyata ia bermimpi.

Lily menyeka air matanya, perlahan memakai kacamata dan meluaslah pandangannya. Di sisi-sisi dinding terdapat tiga robot kembar sebesar telapak tangan, ber-merk Zukee. Itu hasil rangkaiannya.

Namun, mata itu rasanya mulai mengosong. Memikirkan sosok cowok kecil bernama David yang menghiasinya ketika SD, dari kelas satu sampai lulus. Perlahan, buih-buih peristiwa berjatuhan, menelan kenyataan menjadi kenangan. Dan ia merasa yakin untuk membuka memori di ingatannya.

Lihat selengkapnya