~•~
Dari LILY:
“Kesadaran manusia akan terombang-ambing karena kehadiran sebuah tanda tanya tak terjawab.”
~•~
Lily merasakan penat seusai pembelajaran. Hari ini tak ada yang mengganggunya, hanya saja temannya—Kaze—yang menginterogasinya lebih-lebih. Mulai dari dirinya masuk kelas, mendapat tanda tanya oleh Kaze mengapa dirinya masuk BK, dan satu hal yang takkan Lily ingat sekarang adalah lelaki berkacamata itu memarahinya habis-habisan. Ditambah lagi Lily tak sengaja menceplos kalau dirinya berpura-pura sakit karena Ryan yang memerintahnya memijit kaki. Tak terduga, Kaze bungkam dan menciptakan satu pertanyaan khas orang peneliti, "Jadi syarat agar gua bebas minggu kemarin, lo harus jadi pembantu dia?"
Lily tak bisa tidak menjawab, "Iya."
"Ya ampun, Lily," Kaze mengusap wajahnya kasar, seolah masalah itu adalah sebuah bencana. "Kenapa gak bilang? Lo disuruh apa sama dia?"
Lily tak membuang fokus pada buku teman-temannya yang ia kerjakan satu-satu. Kecemasan Kaze dibawa santai olehnya. "Ya pekerjaannya kayak tadi yang gua kasih tahu. Tukang pijit."
Lunglai. Kaze menunduk merasa bersalah. Pandangannya melirih pada meja. Seharusnya sebagai laki-laki, dirinya patut bertanggung jawab sebab kecerobohannya menumpahkan semangkuk bakso ke seragam Ryan. Tidak pengecut seperti ini. Seingatnya tak ada perempuan yang menjadi pahlawan, kalaupun ada tak mungkin melindungi laki-laki. Tapi di kehidupan nyata, Lily ’lah yang menolongnya bahkan rela menjadi pembantu untuk Ryan, karena dirinya. "Sori, Ly. Gara-gara gue, lo harus—"
"Udahlah, Ze." Tatapan Lily berpindah ke Kaze di sampingnya. Menyentuh pundaknya untuk menenangkan. "Lo gak perlu merasa bersalah gitu. Gue lakuin itu demi lo, nggak terpaksa."
Tak tertahankan, Kaze menarik tubuh gadis itu ke pelukannya. Kaze merasa rasa bersalah ini cukup besar, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain mengucapkan sepatah, "Terima kasih" untuk Lily. Tak ada yang lain.
Perlahan, Lily melepas pelukan spontan itu. Bahkan wajahnya tertanda kekakuan, otot-ototnya bereaksi sesuai pikirannya bila pelukan itu bisa membuatnya kikuk, dan otomatis dirinya salah tingkah. "Eh? Udah jam berapa sekarang, ya?" Lily meraih ponselnya, terus berharap apa yang ia lakukan tak terdeteksi kekakuan.
"Ly ...," Kaze masih menatap Lily yang sibuk melihat waktu, "kalau lo butuh pertolongan, gue pasti siap bantu. Entah kenapa, gue balas kebaikan lo itu harus dengan cara balas budi yang serius."
"I—iya ...." Lily tersenyum kikuk. Butuh usaha untuk menormalkan detak jantungnya saat ini. Kedua kalinya, ia menatap ponsel. Asik-asik masuk ke dunia chat dan menemukan pesan Ryan paling atas, lelaki itu tak bosan-bosan menyuruhnya ke basecamp, kali ini lokasinya dekat dengan sekolahnya, bahkan ia tahu tempat yang akan ditujunya. "Ze, gue pulang dulu, ya?" Lily mengemasi buku tugas teman-temannya ke tasnya yang mungkin akan menjadi tugas malam harinya.
Kaze menatap tas Lily penuh buku pelajaran, ia sungguh ingat bagaimana perlakuan orang-orang yang menyuruh Lily untuk mengerjakan tugas mereka, bahkan ada yang nekad menampar Lily agar bukunya tak sobek ketika dikembalikan, rasanya yang tidak mungkin dilakukan Lily menjadi penegasan ulang dari mereka. Dan dirinya, melihat itu dengan mata kepala sendiri, hanya bisa menghela nafas sebab Lily melarangnya untuk memberitahu pasal kejadian selama ini ke guru BP. Yang Lily takutkan, mereka akan semakin liar seperti balas dendam secara bertubi-tubi, mungkin saja dirinya, guru, atau Linda takkan melihatnya karena mereka memiliki jurus andalan: mem-bully Lily secara sembunyi-sembunyi.
"Gua antar lo," usul Kaze seraya menyambar tas Lily yang ternyata berat.
"Gak! Gak! Gue mau pulang sendiri."
"Gue takut lo kenapa-kenapa. Nurut sama gue, sekaraaaang aja. Oke?" Kaze memohon kali ini.
"Nggak. Gue masih punya kaki."
"Gimana mau balas budi kalau gue nawarin aja suka ditolak?"
Lily menghela napasnya sembari berfikir. Selang sebentar, ujung mulutnya terangkat membentuk senyuman begitu manisnya. "Ada satu tawaran yang bakal gue terima."
"Apa?"
Senyuman manis Lily terlihat jahat sekarang. Membuat siapa saja merasakan aura tak enak, Kaze sampai tersenyum masam dan menyesal telah menawarkan balas budi.
***
Suasana sudah sepi, tersisa beberapa orang yang masih hinggap. Lily menelusuri koridor sendirian, sementara Kaze sudah kabur duluan dengan alasan dia harus buru-buru untuk pulang ke kos, katanya ada pekerjaan yang belum terselesaikan, entah pekerjaan apa.
Seusai keluar dari kawasan SMA-nya, Lily menelusuri lorong yang akan mempertemukan basecamp Ryan, tempat berupa bangunan tua yang selalu dijadikan tempat bolos anak nakal.
Tetapi langkahnya terhenti ketika seseorang menghalanginya, satu perempuan dengan wajah cantik yang alami. "Nura? Apa kabar? Kok, belum pulang?"
Nura tersenyum santai. "Tugas gue udah dikerjain?"
Lily terdiam, tak biasanya gadis itu menemuinya hanya untuk menanyakan tugas. Perasaannya sedikit tak enak tapi ia usahakan untuk mengangguk. "Udah. Tinggal satu soal lagi, agak panjang jadi memakan waktu lama dan gue harus rileks."
Nura mendekat, mengusap rambut Lily yang sepantar dengan telinganya. "Gue boleh nanya satu hal?"
Lily merasa yakin bila gadis itu ingin ‘bermacam-macam’ dengannya. Mimiknya berubah, persis mimik sewaktu dia tersenyum kepadanya, menggeleng iba kepadanya, di saat dirinya berjumpa dengan Raisa (adik Ryan) dengan tatapan kosong, di mana dirinya berdiri di samping Ryan waktu itu. Entah keberuntungan atau pengucilan, Ryan secara gamblang menjawab pertanyaan adiknya tentang hubungannya dengan Ryan: "Lily pelayan gua," katanya waktu itu tak sedikit pun membuang tatapan tajam kepada Nura. Sementara gadis berwajah psikopat yang berdiri di gagang pintu waktu itu bernapas lega begitu tahu tentang hubungan dirinya dengan Ryan.
Lily tak mengerti sampai sekarang. Apa yang terjadi. Mengapa jiwanya merasa menciut ketika Nura berhadapan dengannya, sendiri. Ia jadi menyesal telah menolak Kaze untuk pulang bersama.
"Nanya satu hal? Tentang?" Lily spontan mundur, "Lebih baik kita duduk-duduk daripada berdiri ... iya ’kan?"
Nura tersenyum misterius. "Lo bukannya disuruh cepat-cepat ke basecamp Ryan?"