Lily Kacamata

Astyaulhaq
Chapter #8

8-Menderita

~•~

Dari RYAN:

“Derita hanya dikenali oleh manusia tak pandai bersyukur.”

~•~




Gak mungkin, tapi mungkin juga ...."

"Eh? Gimana, sih? Kok malah bingung?"

Pagi itu sudah memunculkan cahaya matahari untuk menerpa wajah Lily di meja belajar yang kebingungan. Padahal gadis itu hanya memilih, dua pilihan. Antara maju atau mundur dalam meraih cita-cita yang diidamkan. Antara menyetujui nasihat Ryan minggu lalu atau menolaknya karena mimpi besar papanya yang ingin menjadikan Lily selaku anak sulung mewariskan bisnis.

Jam berdetak cukup keras di kuping Lily, seperti menginstruksikan gadis berkacamata itu untuk mandi dan cepat-cepat melakukan aktivitas lain di hari minggu itu. Merasa konyol bila yang dilakukan Lily hanya diam di rumah bagaikan manusia pertapa.

Lily tiba-tiba menggebrak meja, tersenyum puas atas keputusannya. Dia meraih kamera dan satu robot Zukee, mencari latar yang bisa membuat objek begitu nyata. Pagi itu, Lily teryakinkan untuk mencoba menjual tiga Zukee dengan harga murah, barangkali langkah nekad itulah yang bisa mengubah takdir.

***

"Mau pulang bareng?"

Lily berpikir sejenak untuk menjawab tawaran Kaze di sampingnya. Tapi pikirannya justru tertuju pada syarat balas budi yang belum tergerakkan. Senyumnya terlihat kejam. "Lo lupa, ya?"

"Apaan?" Kaze tetap pokus pada ponsel, sedang mengetikkan pesan.

Lily berdecak sebal. "Masa lo lupa? Katanya mau balas budi, tapi orang yang nawarin malah lupa. Sopan ’kah begitu?"

"Ooh," lelaki itu menyimpan ponselnya di saku celana. Kaze merasa terjebak. Justru tawaran balas budi yang ia cetuskan bulan lalu berusaha ia lupakan. "Tentang balas budi gue, karena syarat Ryan yang jadikan lo tukang pijit?" tanyanya sesantai mungkin.

Lily mengerling jahat. "Memang balas budi apa lagi selain itu?" Ia balik bertanya seraya melirik Kaze yang merogoh saku celana dengan kaku, "Dan lo ingat ’kan tentang satu tawaran yang bakal gue terima sebagai balas budi lo ke gue?"

Kaze membuang napas, lepas itu tersenyum kepada gadis itu. Tangannya menggandeng pundak Lily untuk lanjut berjalan. "Oke, oke, tapi jangan beli yang mahal-mahal ...."

Lily tersenyum lebar, walau pipinya sedikit sakit melakukan itu ulah bola voli yang menghantam pipinya di istirahat pertama tadi, untunglah tidak menyebabkan bengkak ungu, tapi tetap saja bila tersenyum sedikit nyeri. "Sejak kapan gue beli yang mahal-mahal? Nggak kali ...."

Kaze mengangguk percaya saja. Namun, kepercayaan itu mendadak musnah ketika sampai di warung dekat sekolah. Matanya terus menghitung gelas-gelas kosong di meja, sampai-sampai mbak warung kehabisan gelas bersih untuk mengisi cairan kopi kepada Lily yang terus memesan. Bila dihitung sudah belasan kali Lily memesan kopi. Kalau begini, bukan Kaze yang rugi, justru perut Lily yang mengembung penuh air kopi.

Kaze mendadak khawatir. "Ly. Gua gak bakal marah lo beli skincare atau semacam peralatan mahal yang cewek-cewek pakai untuk mempercantik diri. Gua gak rugi duit di saku habis buat belanja yang bermanfaat. Nggak seperti ini," ia menjabarkan gelas-gelas kosong di hadapan Lily, "bukan cuma merusak pencernaan lo, mata gua juga sakit lihatnya. Bisa-bisa gua habis kendali buat lapor ke ortu lo. Mau?"

Napsu minum Lily musnah seketika. Gelas berisi setengah kopi dengan tangan kanan yang bekerja menulis di buku teman-temannya diberhentikan. "Gak asik, ah! Masa main lapor-lapor, yang ada gua kena marah ...."

"Elo sendiri yang minum kopi berlebihan. Memang gua ini patung yang cuma bisa lihat kelakuan lo? Buku-buku yang lo kerjain juga bisa-bisa gua hempas ke selokan. Mau itu terjadi?" Wajah Kaze berubah serius. "Lo kenal gua anaknya kalem. Tapi kalau kesabaran gua habis beda lagi ceritanya."

Lily cemberut mendengarnya. "Ya udah, gue minta maaf," katanya, tapi dalam hati ia memaki lelaki itu bawel. Tak pernah menduga Kaze bisa menjadikannya seperti anjing patuh. "Tapi lo janji gak akan kasih tau ke siapapun tentang buku tugas orang yang gue kerjain sekarang. Oke?"

"Dan lo juga harus janji untuk berhenti minum kopi berlebihan. Siap?" tantang Kaze sambil mengulurkan tangan, berniat berjabat tangan dengan Lily. "Siap?" ulangnya lagi sebab gadis itu belum bereaksi.

"Siap!" Lily mengangguk dan membalas uluran Kaze, tapi dalam hatinya menggeleng. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. "Sekarang, lebih baik lo pulang. Bukannya jam segini lo ada kepentingan?" Lily mengatakan itu untuk mengusir Kaze secara halus. Tapi memang benar, setiap pulang sekolah Kaze selalu mengucap ‘ada kepentingan’ yang Lily tak tahu kepentingan apa.

Kaze menjitak pelipisnya sendiri cukup keras. "Kok gua bisa lupa? Untung lo ingatin," lelaki itu bangkit berdiri tanpa membuang tatap ke Lily yang lanjut menulis buku, tugas-tugas yang ingin Kaze bantu namun ditolak oleh Lily, "kalau lo butuh bantuan, gua pasti bantu. Tapi sekarang, maaf, gua gak bisa antar lo pulang."

Lily menengadah untuk menatap Kaze bermimik penuh rasa bersalah itu. "Sejak kapan gue minta antar pulang? Gue cuma minta lo bayarin kopi-kopi yang udah gue pesan sekarang."

"Ya ... itu pasti gua bayar ’lah—"

"Oke. Dan gue berterima kasih banyak kalau lo gak pasang wajah merasa bersalah gitu. Jelek!" sambar Lily sambil tersenyum simpul.

"Sejak kapan gue ganteng?" Tawa Kaze terdengar mengejek diri sendiri. Tak punya banyak waktu, ia mulai melangkah keluar warung setelah membuang uang-uang di sakunya untuk mentraktir Lily. "Gue duluan, Ly. Hati-hati nanti pulangnya ...."

Lihat selengkapnya