~•~
Dari LILY:
“Pembalasan tak terduga bisa menjadikan manusia tak berkutik.”
~•~
Lily menengadah ke atas langit di luar yang mendung, sebentar lagi gerimis dan sudah ada tanda hujan deras. Padahal hari masih siang untuk menangisi bumi. Dan karena itu, murid-murid ikut mengeluh di jam istirahat kedua yang sebentar lagi jam pulang sekolah, sudah berfikir macam-macam bagaimana nantinya rintik hujan belum surut—membasahi baju seragam.
Bagaimanapun juga siswa SMA sudah berfikir dewasa dan tak mungkin hujan-hujanan bagaikan bocah.
Tapi itu hanya menyangkut masalah hujan, beda cerita dengan kelakuan.
"Woey—!!!"
Lily melirik siapa yang berteriak di belakang, rupanya ada laki-laki yang meneriakinya. "Hendra?" sapa Lily memastikan.
Tak ada sapaan ramah, Hendra justru menggebrak meja kantin yang ditempati Lily, sendirian. Tak bisa istirahat bersama karena Kaze dan Linda memiliki kesibukan sendiri. Dan gebrakan cukup keras itu menyunyikan kantin yang ribut, mata mereka tertuju pada Lily dan Hendra. Menatap kebingungan.
Lily mengenali lelaki itu. Tahu rutinitas Hendra ketika menemuinya. Orang yang sering mengganggunya, selalu menyorotinya sebagai cewek culun satu sekolah. Kehadiran Hendra dengan mimik penuh emosi itu sudah jelas membuatnya menerka ada yang tidak beres, ditambah lagi ketika mendapati sebelah pipi Hendra bengkak seperti sudah menerima pukulan kencang.
Lily terkesiap. Baru menyadari Hendra membawa puluhan pasukan menyusul di belakang. Diantaranya ada Nura dan ciwi-ciwi pembawa kayu, atau ada pula yang membawa bola. Walau kebanyakannya cewek daripada cowok, Lily wajib waspada. Ia sempat melirik siswa yang menikmati sarapan kantin. Memang tak banyak orang yang mem-bully-nya, tapi tidak sedikit orang acuh tak acuh kepadanya. Buktinya sekarang ia meminta pertolongan lewat kontak mata, mereka justru berpaling tak peduli. Begitulah anak SMA di sini, bila tidak ikut-ikutan berarti acuh tak acuh, tidak ada satu pun yang tergerak membantunya.
"Mau apa, ya?" Lily kali ini berdiri menghadap mereka semua. Apa mungkin akibat mereka berwajah penuh amarah adalah buku tugas mereka yang tak tertolongkan sebab kelakuan Ryan kemarin. Dan sekarang Lily merasa aura pendendaman mereka hanya padanya, tidak pada Ryan. "Gue minta maaf, kemarin buku-buku tugas kalian ...."
"Gak usah banyak bacot!" Salah satu cewek menukas dengan lengkingan tajam. Matanya kontras melotot. "Udah berani lapor-lapor ya lo!!!"
"Lapor? Gue gak lapor guru—"
"Lo lapor ke Ryan!" Ucapan Lily dipotong kembali. "Gara-gara lo kita kena tampar! Lo emang harus dapet balasannyaaa!" teriak salah satu cewek seraya menghampiri dan menampar Lily cukup kencang.
Lily meringis sedikit, meresapi nyeri yang khas, lepas itu wajahnya kembali menyantai. "Ryan nampar kalian?" tanyanya sembari mengamati pipi mereka satu-satu. Benar. Sebelah pipi mereka yang cewek berwarna merah muda meski samar, bahkan ada sedikit tapak telapak tangan yang membentuk. Sementara yang cowok hampir sama dengan pipi sebelah Hendra, bengkak seperti habis digeluti preman. Tapi Lily menduga anak buah Ryan ’lah yang melakukan. Ryan tak mungkin melayangkan tangannya hanya untuk memberi pelajaran mereka semua, apalagi kepada cewek.
Mereka memberi umpatan kasar kepada Lily. Kemudian, tangan dan kaki mereka mulai digunakan untuk menganiaya Lily. Bola yang mereka genggam dilempar keras tepat ke wajah Lily. Kayu-kayu sudah semestinya melemahkan tubuh Lily kala dilayangkan oleh tangan berotot.
Lily berteriak kesakitan, tapi mereka tak terganggu, mereka justru tertawa dan bergiliran membalas dendam kepadanya. Lily dapat merasakan bagaimana kepalanya pusing kala ditendang, dipukul, dan dilempar bola. Sesakit apapun itu, Lily belum pernah merasakan jari-jarinya diinjak secara sengaja, dan sekarang ia merasakannya.
"Mantaaap!!" Nura tertawa-tawa kejam sambil menendang perut Lily sampai tersungkur ke bangku besi.
Baru pengawalan mereka balas dendam, Lily sudah terbatuk. Menggenggam perutnya yang tiba-tiba keram. Entah kenapa ada yang perlu Lily keluarkan, tapi pengap di pernapasan. Beberapa saat Lily terbatuk-batuk, akhirnya ia berhasil muntah. Mengeluarkan linangan darah yang membuat para pem-bully berteriak histeris.
Suasana kantin berubah kacau. Yang tadi hanya menonton ngeri, pada lari hendak ke kelas. Semuanya serempak berteriak histeris kala Lily muntah-muntah darah dengan wajah pucatnya.
Pasti menyakitkan.
Dipukul menggunakan kayu oleh laki-laki.
Ditendang dengan sepatu.
Dilempar bola dengan lemparan tak biasa.
Di saat Lily terbatuk-batuk pun masih ada yang menendang punggungnya. Membuahkan pernapasan Lily bertambah pengap, tapi gadis itu menguasai diri untuk bersujud ke hadapan mereka.
"Gue min-minta maaf. Gue pasti ganti buku kalian ...."
Hening. Tak lama mereka tertawa bersama, tapi ada pula yang melarikan diri ketakutan dengan tampang Lily yang babak belur. Sementara yang masih berdiri di kantin sudah siap melayangkan benda-benda yang akan diterima oleh Lily.
Kantin yang berisi siswa lenyap oleh pem-bully-an yang tak kenal tempat. Mbak-mbak kantin hanya bisa menangis tidak berhasil melaporkan kepada petugas keamanan karena murid laki-laki siap siaga menahan. Acara mem-bully Lily seakan dibuat matang-matang. Tak ada yang tau, hanya para pem-bully, sang korban, mbak kantin, dan Tuhan.