Lily Kacamata

Astyaulhaq
Chapter #10

10-Hari pra-Letih

~•~

Dari LILY:

“Kesementaraan hidup di dunia sebagai peringat dan penenang jiwa harap lepas derita menjadi bahagia.”

~•~

Walaupun kaki Lily masih kuat berjalan, tapi Kaze maupun Linda ngotot untuk membantunya hingga sampai di parkiran, tempat mobil serta Ryan berada. Iblis tak kasatmata itu dengan santainya bermain gadget di dalam mobil.

"Woey, Ryan. Lo bener mau antar Lily balik. Gua gak yakin." Tanpa tertahankan mulut Linda berucap ketus. Sudah seharusnya gadis itu mengaput bibirnya sebab asal ceplas-ceplos.

"Tenang aja. Ryan baik, kok." Hampir saja Lily tersedak mengatakan itu. Tapi ada benarnya juga, perlakuan Ryan kepadanya hanya memerintah tanpa melakukan kekerasan bagaikan orang yang mem-bully-nya tadi. Tapi rasanya, pujian untuk Ryan terlalu bagus dari perlakuannya yang menyandang titel jahat.

"Lo hati-hati, ya. Di kost masih ada makanan selain kop—"

"Masih ada, Ze ...," sambar Lily penuh penekanan. Matanya memberi arti bila Linda tak boleh mengetahui tentang dirinya yang minum kopi. Untunglah Kaze cepat peka, sementara Linda masih sibuk mencibir tak jelas kepada iblis tak berkemanusiaan itu.

Ryan seakan tak mendengar kicauan tiga bersahabat itu yang sedang mencaci-makinya lewat sindiran. Mata serta pikirannya sedang berlabuh pada permainan yang menantangnya untuk serius dimenangkan.

Pada akhirnya, Lily duduk di kursi belakang mobil milik Ryan. Menunggu lelaki itu menyelesaikan permainan ternyata bukan pilihan terbaik karena badannya yang lelah harus buru-buru istirahat dengan nyaman di kos. "Ryan ... hai? Jadi gak antar gue?"

Ryan terkaget atas kehadiran Lily secara tiba-tiba. Ia menoleh ke belakang. "Lo udah di situ aja? Gak sopan!"

Lily mengerjap kebingungan. "Jadi gue harus ngetuk-ngetuk pintu dulu?"

"Ya iya lah!" Seenak jidatnya, Ryan mencetuskan jawaban.

Lily mengangguk, meringis-ringis ia keluar kembali. Bila begini caranya ia memilih menolak saja kala Ryan berkeinginan mengantarnya. Kembali benaknya membuang suku kata ‘sedikit baik’ untuk Ryan, dan jangan harap Lily akan memuji lelaki itu manusia baik-baik lagi. Di luar, dirinya mengatur napasnya, entah kenapa Lily harus melakukan itu, lepas itu mengetuk pintu depan mobil yang seberangnya diduduki Ryan seorang.

"Halo? Apa Tuan berkenan mengantarkan saya ke lokasi yang saya inginkan?" Lily sengaja berkata formal sambil membungkuk sebagai citra penghormatan. Dan posisi itu membuat punggung belakangnya remuk, tak kuasa mengaduh dan kembali berdiri tegap. "Apa boleh, Tuan?"

Ryan merasa terhibur. Buktinya lelaki itu tersenyum geli dan mengangguk. "Ada syaratnya."

"Lho? Kok pakai syarat?" Lily mengernyit tak terima. "Kalau gini gue naik bus aja, deh. Makasih tawarannya."

"Masuk!" Ryan melotot tajam. Sekali lagi, gadis itu mengikuti perintahnya dengan wajah menaruh kesabaran. Sudah lama sekali lelaki itu merasakan bahagia karena penderitaan seseorang, dan peristiwa ini yang paling memuaskannya. Bagaimana dirinya mendengar ringisan pelu Lily, melihat betapa kesusahannya Lily bergerak, seakan-akan menghipnotis-nya untuk tertawa lepas sekarang.

"Terima kasih." Lily tersenyum paksa tanpa membuang pokus pada Ryan yang terbahak-bahak. Apa yang lucu, pikirnya terheran-heran.

***

"Lha? Kok berhenti? Kosan gue kan masih jauh?" Lily sekali lagi mencurigai Ryan yang memarkirkan mobil di sisi jalan. Yang ditakutkannya adalah menurunkannya di sini, tapi memang tidak apa-apa, hanya saja tubuhnya yang lemah tak memungkinkan untuk turun dari duduk nyaman di mobil.

"Turun ...." Sesantai itu Ryan membuka suara kepada Lily yang jelas-jelas tak kuat untuk berdiri. "Kenapa? Gak terima?" Alisnya terangkat memberi aura kelicikan terselubung ketika wajah Lily menaruh penolakan.

"O-oke," Lily mengangguk tak yakin kemudian mulai membuka pintu, "thanks tumpangannya."

Meluaslah penglihatannya sampai tertuju pada toko kedai kopi yang menyempil di antara toko lainnya. Matanya spontan berbinar. "Btw, makasih udah antar gue ke—"

Perkataan Lily memupus karena Ryan ikut keluar dan menghampirinya. Lelaki itu memang penuh tanda tanya besar, juga penuh kejutan yang selalu menakutkan. Memang maklum Lily patut waspada sekarang.

"Memang gue parkir di sini buat apa? Otak lo sebego itu atau emang bener-bener bego dari lahir?" Ryan menyahut datar seraya menggandeng lengan Lily, membawanya cepat-cepat selayaknya menyeret barang menuju toko serba tersedia.

Sesekali Lily meringis karena seretan Ryan yang cukup menyakiti tubuhnya yang bengkak. "Aw! Aw! Jangan cepet-cepet, badan gue nyeri semua ini!" teriaknya tak tertahankan. "Berhenti atau lepas tangan gue!!!"

"Lo lebih bagus ditarik daripada sempoyongan kek nenek-nenek," ketus Ryan kukuh menyeret gadis itu tanpa perasaan. Tak peduli dilihat orang berlalu lalang di jalan dengan tatapan heran yang susah diartikan.

Tak lama mereka berdua memasuki toko yang dituju. Barulah Lily bisa berdiri dan meringis kecil kala seretan itu berhenti, lengan yang barusan ditarik Ryan belum surut dihempas dan itu membuat Lily pasrah kembali.

"Buat apa ke sini, sih?" Lily berdecih pelan dan sekali lagi mengamati toko yang belum pernah ia kunjungi. Tak tahu kenapa ruangannya seperti menakutinya padahal isinya sungguh menakjubkan, mungkin karena hadirnya iblis yang mulai menariknya tapi kali ini pelan-pelan. Seakan-akan Ryan ingin mengenalkan isi toko itu kepadanya. "Gue tanya, kita buat apa ke sini?"

Lihat selengkapnya