Lily Kacamata

Astyaulhaq
Chapter #11

11-Jalan-Jalan?

~•~

Dari RYAN:

“Tidak ada kata-kata, hanya kebahagiaan yang perlu dituliskan.”

~•~

Kebahagiaan tiada tara bagi Lily ialah makan bersama orangtuanya. Meski papanya tidak hadir dengan cerita tawa di restoran, Lily tetap mengabadikan momen tersebut dengan selfie bersama. Bengkak pada ujung mulutnya yang tersenyum menghadap layar ponsel bertemankan wajah mamanya yang ikut tersenyum manis walau pada kenyataan dua-duanya menaruh perasaan miris.

"Kamu betah di Jakarta?" Mama membuka suara setelah makanan dalam mulutnya habis.

"Walaupun Lily suka diganggu atau dianiaya seperti kemarin, Lily betah, kok." Anaknya justru tersenyum tanpa beban.

"Jangan bohong, ah. Mama nggak suka."

"Beneran. Masih banyak peluang buat daftar untuk nyakitin aku yang mentalnya sebesar baja." Lily mengatakan itu dengan yakin, untuk meyakinkan mamanya dan dirinya sendiri. "Lily udah besar, Ma. Mama jangan khawatir. Lagian sebesar-besarnya masalah, pasti bisa terselesaikan. Seperti kemarin, para pem-bully pasti gak akan berani ganggu aku lagi."

Tahu-tahu mata Mama memanas. Berkaca-kaca. Situasi yang teralami Lily sangat jarang dialami oleh remaja perempuan lainnya, tapi mengapa anaknya tetap kuat di depannya. Anak perempuannya seakan menjelma menjadi sosok lelaki yang kuat atas situasi. Tanpa tahu serangan-serangan yang ditempuh sangat menyakitkan, sebagai bukti dirinya kembali mengalirkan air mata. Betapa bodohnya ia di mata anaknya sekarang.

"Mama kenapa nangis? Cantiknya jadi hilang, tuh ...." Lily tertawa.

"Apa Mama kasih tahu papa saja soal ini. Agar kamu bisa keluar sekolah."

Lily tersenyum lalu menggeleng. "Nggak usah, Ma. Tanggung. Tinggal satu semester lagi," katanya seraya meraih tisu dan mengusap pipi mamanya yang berlinang air mata. "Nangis boleh. Tapi kalau setiap saat nangis seperti Mama ini namanya cengeng."

"Kamu anaknya kuat banget, ya? Mama gak nyangka," wanita itu tersenyum tipis, "sampai-sampai kamu elak omongan Mama sama ketenangan. Padahal hidup kamu sedang tidak baik-baik."

Lily terdiam, perkataan mamanya seperti menyindirnya anak pembangkang secara halus.

"Mama gak bisa janji soal itu. Mama gak bisa diam anak Mama dianiaya. Orang tua lain pasti akan emosi anaknya ditempatkan tidak layak. Termasuk Mama. Kamu tau kan Mama balas dendamnya bagaimana?"

"Sabar, supaya dapat pahala dan orang yang aniaya Lily dapat dosa di akhirat. Itu, kan?" Lily tersenyum manis. Matanya menengadah ke atas langit tak peduli sinar matahari menerpanya langsung di samping. Yang jelas, hatinya sangat berterima kasih pada Yang Maha Kuasa. Mendadak ia merasa bersalah telah merusak pencernaannya dengan minuman kopi berkafein.

Pagi bergerak menuju siang. Tapi dua perempuan itu tidak menunjukkan keletihan dalam melakukan jalan-jalan dengan senyum tak pernah lenyap. Mereka berdua tetap setia menjelajahi kota Jakarta.

Sesekali menuju mall untuk membeli tas sekolah Lily. Memasuki perpustakaan Jakarta dengan buku-buku berjajar, mereka menghabiskan waktu lama untuk membaca dan membagi ilmu. Mungkin terdengar remeh, tapi itulah mereka, manusia ber-IQ di atas rata-rata.

Lily kembali menjelajah buku-buku dan tanpa sengaja Lily menangkap buku bersampul putih dengan objek robot. Ia membuka halaman demi halaman yang ditulis bahasa Inggris itu. Matanya terhanyut ke dunia buku tersebut, tak lama kemudian ia berucap lirih. "Nggak akan mungkin."

Mama melirik anaknya sekilas yang membaca buku bersampul robot itu, tentu saja ia tahu maksud perkataan anaknya. Sebersit rasa bimbang karena anaknya sudah bukan lagi bocah kecil yang bisa ditenangkan dengan kebohongan-kebohongan berupa harapan palsu. Jujur saja, dirinya tidak begitu menggubris cita-cita Lily dengan serius, hanya main-main. Tetapi Lily justru menseriusi cita-cita tersebut, membuatnya menjadi teringat penyebab kematian paman Yasim—orang yang menginspirasi Lily dalam seni merangkai.

"Mungkin saja, Ly," Mama membawa dua buku perpustakaan untuk dipinjam, hendak berlalu, "tapi untuk sekarang kamu pokus dulu belajar, ya. Jangan mengecewakan papa mama. Masalah pekerjaan lebih baik dipikirkan nanti saja."

Mendengar mamanya mengutarakan belajar dan jangan mengecewakan membuat Lily terusik, terlintas di benaknya tentang kesalahpahaman keluarganya antara hubungannya dengan Ryan yang dianggap berpacaran. Namun, terlambat, keluarganya sudah memercayai kesalahpahaman tersebut dan hukuman tak boleh pulang ke Bandung sudah menjadi konsekuensi dirinya sendiri.

"Ma, percaya tidak Lily pacaran?"

"Tidak." Mamanya menjawab seraya berhenti berjalan, wanita itu berbalik dan sesekali menyeka rambutnya yang tergerai. "Makanya Mama sangat sangat kecewa kamu berani dekat-dekat cowok di sekolah sampai mau diajak bolos."

Lily terpaku, mencerna balik segala ungkapan bagaikan pisau itu. "Ma ...."

"Sudahlah, Ly. Ayo kita pergi, sudah lama loh kita di perpustakaan," mamanya gesit mengganti topik baru, "Mama gak punya banyak waktu, kita isi waktu baik-baik, ya?"

Lily masih terpaku, matanya tak lepas menangkap punggung mamanya yang menjauh menuju meja peminjaman buku.

"Malang amat jadi manusia. Belajar sama kerja bisa lo lakuin dari sekarang, kenapa harus serius satu tugas?" ketus seseorang dari belakang, tepatnya orang tersebut sedang berdiri di samping Lily yang bersandar di rak buku.

Lily menengadah ke samping. "Ryan? Lo gak sekolah?"

Ryan tersenyum sinis. "Gak mau ketahuan lo bolos, ya? Suratnya sakit, ini malah main. Dusta!" ketusnya lagi sambil menjajah buku-buku pelajaran yang dirasa penting.

Lily berdiri dari duduk serta sandarannya. Menatap lelaki itu canggung. "Lo ... kenapa tahu? Kita kan beda kelas."

"Mau satu kelas, beda kelas, beda sekolah, semuanya pasti gua tahu."

"Lo intai gue?" Pertanyaan pelan Lily tak terjawab sebab Ryan sudah pergi menuju meja yang sedang didekati mamanya untuk meminjam buku.

Sementara itu, tak disangka-sangka, Ryan tanpa pamrih melempar senyuman manis kepada mamanya Lily. "Hai, Tante, ibunya Lily, ya?"

"Iya," Mama lalu menoleh ke arah Lily yang berjalan mendekatinya setelah itu menatap Ryan kembali, "tahu dari mana, ya?"

"Wajahnya mirip. Saya Ryan, temannya Lily." Ryan mengatakan itu seraya membungkuk sedikit sebagai penghormatan.

Lily mengernyit. Dari gelagatnya, Lily pantas curiga.

Mama terlonjak. "Ryan? Oooh dia yang namanya Ryan?" tanyanya kepada Lily.

Lihat selengkapnya