Apa alasanmu untuk tetap hidup?
Kamu pasti tidak bisa menjawabnya. Tak perlu merasa bersalah, memang aku lah yang konyol, bertanya pada sebuah buku harian usang yang baru kutemukan lagi tadi siang. Ikuti saja percakapan sepihak ini, oke? Hatiku—semisal aku punya—sedang ingin berbicara, suatu kesempatan yang langka.
Kenapa mendadak bertanya seperti itu, katamu? Kemarin aku baru menghadiri acara reuni rangkap buka bersama dengan anggota klub masa SMA. Di sana, aku menyaksikan seorang teman lama yang hatinya hancur berkeping-keping oleh sebuah kabar.
Orang yang ia sukai selama ini—meski tak pernah ia ungkapkan kepada siapapun—akan menikah. Aku tak perlu mendengar langsung darinya mengenai rasa yang masih ia pendam sejak SMA hingga sekarang. Mengamati ekspresinya sejak dulu sudah cukup menjadi jawaban.
Oh, sebenarnya dia bukan orang yang mudah dibaca, tetapi kau tahu hobiku untuk mengobservasi orang lain, kan? Kurasa kemampuanku itu sudah cukup berkembang hingga bisa mengetahui hal yang tersembunyi dibalik topeng orang-orang.
Didorong rasa penasaran, berhubung si teman lama ini adalah orang yang jarang membuka diri, aku bertanya, “Setelah melihat cintamu kandas, apakah kau kehilangan alasan untuk hidup?”
Dengan mata yang kian memerah selama aku mengantarnya pulang dengan mobil, ia menjawab, “Rasanya sakit, pedih, dan memilukan. Tapi aku masih bisa bernapas meski pengap sekalipun. Jadi, tidak, alasanku untuk tetap hidup tidak hilang. Kenapa bertanya seperti itu?”
Alih-alih mencoba membaca dirinya, rasanya malah aku yang berusaha dikupas. “Biasanya orang merasa putus asa dalam hidup ketika patah hati.”
Dia mendengkus geli. “Aku tetap punya identitas dan tujuan hidup di luar hal ini. Buat apa menumpukan urusan hidup-mati di tangan cinta? Justru rasanya menakutkan untuk mencintai orang lain sejauh itu, sampai kemauan hidupmu ikut hilang ketika ia pergi.”
Meski begitu, samar kulihat dia mengusap air mata yang turun selagi wajahnya beralih ke jendela, tak mau ditatap.