Jogja dan sekitarnya seperti kota mati. Asap tebal masih dengan gagah bertengger di puncak Merapi. Bentuknya bagai bulu domba yang tebal, itulah sebabnya para warga menyebutnya dengan wedhus gembhel. Hujan abu vulkanik masih menyelimuti, debunya mendarat di tempat yang bisa dihampiri atau terbang ke mana arah angin akan membawanya.
Lahar dingin masih mengalir deras bak air bah yang tumpah. Bau belerang menguar di indera penciuman. Sebagian aktivitas lumpuh, ruas jalan banyak yang terganggu sehingga tak banyak kendaraan yang berlalu lalang seperti biasanya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan sebagian penduduk untuk berdiam diri di lokasi pengungsian. Bertahan di tempat penampungan yang sesak, berisik dan jauh dari kata nyaman. Suara tangis anak-anak bagai lagu pengantar pilu yang sudah biasa berdengung di indera pendengaran.
Terlihat wajah-wajah cemas dengan berbagai pikiran dalam kepalanya. Berharap tidak ada anggota keluarga yang menjadi korban amukan gunung itu. Dengan hati was-was, rela meninggalkan semua harta benda yang selama ini dikumpulkan demi keselamatan nyawa, demi umur yang sedang diusahakan lebih panjang karena terdampak bencana alam ini.
Hari silih berganti, menanti alam segera berbaik hati untuk menghentikan amarahnya. Juga dengan sabar menunggu uluran bantuan dari pemerintah. Tidak ada yang bisa mereka bawa kecuali baju yang menempel di badan.
Di ujung barat tenda pengungsian, tampak sepasang suami istri sedang bercakap-cakap. Sang suami yang bernama Pak Danu, bersikeras mengajak semua anggota keluarganya untuk pulang kembali ke rumah setelah bertahan seminggu lebih di tempat pengungsian ini.
“Kita pulang saja ke rumah. Keadaan tampaknya sudah aman. Awan panas tidak sampai di rumah kita, percayalah!”
“Tapi, Pak, kita juga tidak punya banyak persediaan bahan makanan di rumah,” jawab sang istri dengan ragu.
“Kita makan apapun yang masih bisa dimakan di kebun belakang. Ada singkong dan ubi, beras juga masih ada satu karung. Lauknya nanti kita sembelih saja itik dan ayam yang ada di kandang,” ujar Pak Danu dengan mantap.
Bukan tanpa alasan Pak Danu ingin kembali ke rumahnya. Ia teringat dengan tiga sapi yang ditinggalkannya. Sapi-sapi itulah yang akan ia jual kelak untuk anak-anaknya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
“Baiklah, Pak. Saya coba bangunkan anak-anak agar kita bisa cepat pulang ke rumah.”
Bu Lastri dengan lembut membangunkan ketiga anaknya. Si sulung anak laki-laki bernama Arman, usianya delapan belas. Baru lulus SMK tahun ini dan langsung bekerja di bengkel motor. Si tengah, gadis manis bernama Hani berumur tujuh belas. Ia masih duduk di kelas dua belas dan bercita-cita menjadi apoteker yang handal dalam meracik obat. Kuliah di jurusan farmasi sudah dicanangkannya saat pertama kali ia masuk SMA. Terakhir, ada si bungsu yang berparas cantik bernama Ayu. Usianya enam belas, masih kelas sebelas.
Anak Pak Danu dan Bu Lastri memang berjarak dekat, hanya setahun. Kata orang tua zaman dahulu, lebih baik begitu. Repot sekalian mengasuh anak saat mereka sama-sama kecil agar mereka bersama-sama saat tumbuh dewasa.
“Nduk, bangun. Kita pulang ke rumah, turuti bapakmu.” Ada pergolakan batin dalam hati Bu Lastri, sebenarnya ia merasa berat untuk pulang ke rumah. Entah apa namanya, yang jelas seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Di sisi lain ia masih khawatir jika erupsi akan terjadi lagi. Namun, ia juga merasa tidak enak untuk berseberangan pendapat dengan kepala keluarga yang sangat ia hormati.
Satu per satu anak Bu Lastri sudah bangun. Mereka heran apa gerangan yang membuat ayah mereka mengajak pulang. Memang keadaan di tempat pengungsian ini tidak ideal, terutama untuk membersihkan diri. Air bersih adalah sesuatu yang langka, mandi mendadak menjadi terdengar sesuatu yang mewah. Tidak heran kulit sudah terasa gatal akibat tidak menemukan air sebagaimana biasanya.
“Kita pulang, keadaan sepertinya sudah aman. Bapak khawatir dengan sapi-sapi kita. Beberapa bulan lagi bisa dijual untuk Mbak Hani kuliah. Cuma itu yang Bapak punya.”
Pak Danu kembali menjelaskan alasan kepulangan yang dikehendakinya kepada anak-anaknya. Ia sangat berharap jika anak-anaknya mengerti dan ikut serta pulang ke rumah lagi.
“Nggih, Pak. Di sini juga tidak nyaman. Bau, kotor dan berisik,” cerocos Arman yang segera bangkit berdiri sambil menggaruk-garuk tangannya yang sudah terdapat beberapa bisul.
“Ya jelas lah, kalau Mas mau nyaman itu tinggalnya di hotel, bukan di pengungsian.” Ayu masih sempat berkelakar menanggapi kakak laki-laki yang kini sudah memasang wajah masam akibat guyonan darinya.
Sementara Hani, hanya bisa tersenyum kecut. Ia merasa menjadi beban untuk bapaknya. Ia tahu kalau Bapak juga sangat ingin dia kuliah. Namun, saat di tengah hiruk pikuk akibat erupsi gunung Merapi Bapak masih memikirkan biaya kuliah untuknya, ia merasa tidak enak hati.
“Pak, kuliah Hani bisa ditunda. Bapak jangan terlalu khawatir. Nanti sesudah lulus SMA, Hani bisa kerja dulu seperti Mas Arman.”
“Jangan, kamu belajar saja yang rajin. Masalah biaya biar menjadi urusan Bapak. Bapak ingin punya anak sarjana.”
Ada asa yang terukir di dalam kungkungan peristiwa alam yang membuat lumpuh kota ini. Secercah harapan yang akan menjadi bahan bakar yang menyalakan terangnya sebuah impian. Dalam hatinya, Hani berjanji untuk tidak mengkhianati perjuangan Bapak. Ia akan menjadi sarjana seperti yang Bapak impikan.
***
Sebelum pergi, Ayu dan Hani pergi ke toilet darurat untuk membuang hajat. Walau bagaimanapun, panggilan alam tetap tidak bisa ditunda. Bau pesing bahkan sudah menyeruak walau dari kejauhan. Namun, mau bagaimana lagi? Inilah satu-satunya tempat yang bisa mereka buang air kecil dan besar, meski harus berbagi dengan ratusan orang.
Hani dan Ayu lalu ke dapur umum untuk minum. Mereka tahu kalau jalan yang akan mereka tempuh bukanlah jarak dekat. Jadi setidaknya mereka melakukan persiapan sebelum perjalanan nanti.
“Dek, kamu ndak minum?”
“Ndak, Mbak. Ayu takut nanti mau pipis lagi.”
“Ya sudahlah, Bapak, Ibu dan Mas Arman pasti sudah menunggu.”
Benar saja, Pak Danu sudah siap dengan senter yang entah ia dapatkan dari mana. Bu Lastri menarik napas panjang, mengabaikan gejolak batinnya yang masih berkecamuk. Ia harus percaya dengan keputusan suaminya. Tidak mungkin suaminya mengambil keputusan tanpa perhitungan yang matang, gumamnya untuk menenangkan pikirannya sendiri.
Akhirnya mereka berlima mengendap-endap pergi dari pengungsian. Kalau berpamitan kepada pengurus, ada kemungkinan tidak diizinkan. Pak Danu malas membuat kegaduhan, jadi mereka berjalan jauh dari pengungsian dan menunggu kendaraan yang lewat untuk sampai ke rumah.
Setelah berjalan sekitar setengah jam, mereka berhenti di sebuah pos untuk beristirahat. Hanya bermodalkan senter, keluarga Pak Danu sangat berharap jika ada kendaraan yang melihat sinar yang sekarang sengaja dikedip-kedipkan oleh Arman.