Semenjak kepergian Nadhim, rasanya tidak ada kehidupan di rumah. Hampa, sunyi, tidak ada canda tawa seperti dulu. Bahkan tak jarang Patih masih menangis ketika mengingat ayahnya. Namun, Adam selaku anak pertama berusaha menguatkan adik-adiknya.
Jamila sedang menoonton tayangan di telivisi sambil menjaga adiknya di ruang tamu. Sementara Adam baru saja pulang dari sekolah dan kini sedang berganti pakaian di kamar. Patih, anak itu sedang menuang air minum di dapur karena merasa kering tenggorokannya.
Namun, suara teriakan histeris Nilam membuat mereka terkejut. Patih yang jaraknya paling dekat dengan bundanya, langsung meletakkan gelas berisi air yang belum sempat ia teguk. Dilihatnya Nilan terduduk di depan kamar mandi sambil memukul-mukul perutnya.
“Bunda!” Patih langsung memegang lengan Nilam.
“Ya ampun, Bunda kenapa?!” seru Adam begitu keluar dari kamar dan melihat kejadian di depannya.
Sementara Jamila tergopoh-gopoh sambil membawa adiknya menghampiri Bunda.
“Bunda, kenapa?” tanya Jamila mulai menangis panik melihat Nilam yang bertingkah tidak seperti biasanya.
“Bun! Udah jangan pukul diri sendiri!” Adam berusaha memegang tangan Bunda yang terus memukul perutnya sendiri. Air mata berderai derai di wajah Nilam walau matanya kini tertutup seolah menahan air mata yang terus mendobrak kelopak matanya.
“Arghhh!!!!” teriak Nilam hingga akhirnya mereda karena lemas.
“Bun ….” Adam berusaha memeluk Nilam yang kini terjatuh di dekapan si sulung.
“Nggak mungkin,” lirih Nilam menyisakan sesegukan dan air mata.
“Apa yang nggak mungkin, Bun?” tanya Jamila.
Nilam bahkan tak sanggup menjawabnya, ini kenyataan yang benar-benar pahit. Ia meggeleng sambil terus mengucap tidak mungkin.
Hingga sebuah benda pipih itu ia berikan pada Adam yang kemudian meraihnya. Dilihatnya tesspack yang menunjukkan dua garis merah. Adam yang paling besar diantara yang lain, Adam lebih mengerti benda apa itu. Karena ia sudah melihatnya beberapa kali saat Bunda menganung adik-adiknya. Memori itu terekam dalam otak Adam.
Mata Adam melotot, tangannya bergetar. Ia menatap Bunda yang terlihat terpukul dan pasrah.
Tidak mungkin Nilam hamil semenjak empat bulan kepergian suaminya. Lantas anak siapa yang dikandung Nilam?