Hari berikutnya, jika tidak ada yang dikerjakannya di rumah, ia lebih sering minta izin kepada Nilam untuk keluar, menuju sekolahnya Salmah.
Tidak lupa dengan janjinya terhadap Sudirman untuk mengobrol seperti waktu itu.
"Pak, saya boleh nggak masuk ke sekolah lebih jauh, saya pengin lihat seisi kelas kalau lagi belajar bagaimana." Azizah memasang tatapan binar.
Sudirman mengaduh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bukan tidak mengizinkan, tapi peraturannya tidak ada yang boleh masuk selain siswa-siswi, guru dan staff dan beberapa peran penting dalam sekolah. Kecuali saat menjelang waktu pulang, orang tua siswa-siswi diperbolehkan masuk, walau hanya di pintu utama lorong sekolah.
"Boleh, tapi tunggu lima menit sebelum pulang, ya. Soalnya Bapak dikasih peraturannya begitu, Dek Zi."
Azizah menggangguk tersenyum. "Makasih, Pak."
"Tapi kalau ketemu guru atau ada yang nanya kamu siapa dan ngapain, jawab aja mau nungguin Kak Salmah pulang."
Azizah mengiyakan Sudirman. Lima menit sebelum pulang, Azizah memasuki pintu utama lorong sekolah. Ia bingung kelas Salmah ada di mana. Ia celingak-celinguk ke sekitar. Tampak lapangan yang begitu luas dan dihiasi tumbuh-tumbuhan berhamparan di hadapannya membuat ia berdecak kagum.
Azizah mencoba berjalan ke arah kanan sambil menatap nama kelas yang tertera di sudut pintu. Namun, ia berhenti ketika penasaran dengan isi kelas, bagaimana suasananya? Karena jendela setinggi tubuhnya, ia pun perlu berjinjit untuk mengintip ke dalam kelas. Tampak meja-meja dan kursi-kursi yang tersusun rapi ditempati siswa-siswi dan seorang guru yang berada di meja depan kelas.
Azizah menyaksikan ada siswa-siswi yang sesekali mengobrol pelan dengan lawan bicaranya, baik yang sebangku maupun di seberang meja.
"Sepertinya seru punya teman-teman seperti mereka," lirih Azizah.
"Hei, ngapain kamu?!"
Azizah terkejut saat suara tegas yang sepertinya ditujukan kepadanya. Ia pun berbalik badan dan memijakan kaki beralaskan sendal sepenuhnya ke lantai. Tampak seorang guru kini memandangnya dengan tatapan galak.
"Maaf, Bu, saya lagi nunggu Kak Salmah pulang sekolah."
"Kalau gitu bisa tunggu di luar, ngapain ngintip-ngintip seperti tadi?"
"Saya cuma penasaran sama isi kelas, Bu." Azizah mengigit bibir bawahnya.
"Ya udah, kamu tunggu di luar saja," ujar Bu guru tersebut yang kemudian masuk ke kelas sebelah.
Azizah mengelus dadanya yang berdebar karena terkejut.
Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke pos untuk menunggu bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Tidak butuh waktu lama, siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas seperti biasa. Azizah mencari-cari keberadaan Salmah di keramaian dari pos, matanya berusaha mencari sosok Salmah satu per satu siswi yang dilihatnya.
"Kak Salmah mana ya?" gumam Azizah.
"Mungkin masih di kelas, Dek Zi," celetuk Sudirman.
"Iya, Pak."
Beberapa saat kemudian setelah kerumunan mulai sepi, Salmah menampakkan diri membuat Azizah tersenyum menyambutnya.
Salmah bertingkah aneh, wajahnya seperti menyimpan sesuatu yang membuat ia merasa tidak nyaman dan panik. Azizah yang menyadari hal tersebut pun jadi khawatir.
"Kak Salmah kenapa?" tanya Azizah sambil memegang lengan kakaknya.
Sudirman yang melihatnya pun kini memusatkan perhatiannya pada Salmah.
"Kenapa, Nak Salmah?" tanya Sudirman.
"Gapapa, Pak, pamit ya," ujar Salmah buru-buru sambil menarik Azizah yang kebingungan.
Azizah dan Salmah berhenti di pinggir jalan, mereka tidak langsung pulang. Azizah panik begitu Salmah mulai menangis.
"Kakak kenapa? Ada apa?" tanya Azizah menggebu-gebu.