[Desember 2007]
Suara motor terdengar mendekat ke rumahku. Aku mengenal suara itu terlalu baik, bahkan dari jauh pun aku tahu, pasti Doni.
Padahal aku baru saja berbaring, mencoba menikmati tidur siang yang sudah kutunda setelah dua hari sibuk menunda menjemur cucian. Tubuhku sudah hampir mencapai titik relaksasi sempurna. Tapi kalau sudah Doni, tak ada istilah tenang. Ia selalu berhasil merusak momen sakral bermalas-malasan.
Benar saja. Beberapa detik kemudian, suara sandal jepitnya yang berdecit sudah terdengar di teras. Pintu diketuk sekali, lalu langsung dibuka tanpa izin.
“Rian… sore ini temani aku ke pantai, ya. Mau ketemu Ningsih,” serunya, langsung duduk seenaknya sambil mengunyah gorengan sisa yang ia temukan di lemari makanku. Sudah seperti rumah sendiri.
Aku mendengus kesal, bangkit dari kasur. “Malas ah. Ngapain pacaran pakai ditemenin. Mau kugigit biar kalian ngerasain diganggu nyamuk?”
Doni tertawa, mengabaikan ancamanku. “Tenang aja. Kali ini ada penangkal nyamuk. Nanti Ningsih juga ditemani Lila. Pacarnya Ardi.”
Aku berhenti sejenak. Pikiran yang tadinya dipenuhi kekesalan mendadak terhenti. “Lila? Bukannya dia anaknya…”
Doni cepat memotong, nadanya berubah serius. “Ssst, itu urusan masa lalu orang tua. Aku gak peduli. Kita gak ada urusan sama itu.”
“Baguslah,” jawabku, menarik napas panjang, dan ikut mengambil satu bakwan dari tangannya. “Eh, baru tahu aku dia pacarnya Ardi. Tapi bukannya Ardi di luar kota? LDR dong mereka?”
“Iya. Ardi baru berangkat beberapa minggu lalu. Makanya Lila butuh teman. Siapa tahu nanti plot twist malah jadi pacarmu.”
“Ngawur. Aku ini bahkan belum pernah pacaran, malah disuruh rebut pacar orang. Jangan aneh-aneh,” kataku, merasakan pipiku sedikit menghangat karena canggung.
“Hahahahaha!” Kami tertawa bersama, obrolan tak penting tapi hangat seperti biasa. Tawa Doni selalu berhasil membuat kerutan di kepalaku menghilang.