Sejak malam minggu yang mendebarkan itu, kata sayang menjadi penutup ritual dalam pesan singkat kami. Aku selalu berhati-hati, memastikan ketulusanku tak terbantahkan. Lalu bagaimana respons Lila? Selalu sama, hanya “Terima kasih,” atau sesekali, “Iya, aku tahu. Makasih ya.” Aku tahu dia berjuang, seperti menahan napas di dalam air. Dan di antara deretan terima kasih yang dingin itu, aku yakin ada kode rahasia. Sebuah tanda bahwa ia menerima perasaanku, namun terikat oleh dinding yang kokoh.
Aku lelah bersembunyi di balik layar ponsel. Tekadku bulat, pada pertemuan kami berikutnya, hanya berdua, aku akan mengatakannya secara langsung, menatap mata lembutnya, tanpa perantara.
Sore itu, di tepi taman yang teduh, aku menatapnya lama, mencari keberanian.
“Aku suka kamu, Lila,” kataku dengan suara yang kubuat setenang mungkin. “Dari pertama kali kita bertemu di pantai, aku tahu ada yang berbeda. Aku tahu aku akan terus mengingatmu.”
Lila terdiam, wajahnya mendadak pias. Aku melihat getaran halus di jemarinya yang seolah mencari pegangan. Aku yakin hatinya berdetak sama cepatnya denganku. Namun, bayangan nama yang lain, Ardi, berdiri tak terlihat, menaungi kami.
Ia menunduk, memaksa senyum yang terasa hambar. “Rian, aku sudah punya seseorang.”
Jantungku mencelos, tapi aku sudah menyiapkan perisai untuk ini.
“Aku tahu,” jawabku lirih. “Dia teman lamaku. Tapi Lila, perasaan… perasaan tak pernah bisa diatur, bukan?” Aku menarik napas dalam, mengambil risiko terbesar. “Aku akan bertanggung jawab. Aku yang akan menyampaikan semua tentang kita padanya, jika suatu hari nanti dia sudah pulang atau sudah menghubungimu.”
Malam itu Lila menangis lama. Tangisannya pelan, tanpa suara, namun sarat akan kemarahan pada ketidakberdayaan dirinya. Malam yang kuharap menjadi pelabuhan, ternyata hanya diisi air mata dari gadis yang kucintai. Aku tidak tahan. Setiap tetes air matanya membuatku merasa menjadi pelaku kejahatan yang paling egois.