[Desember 2008]
Sore itu, aku kembali ke pantai sendirian. Aku sengaja datang di bulan yang sama, di tempat yang sama, untuk mengenang pertemuan pertamaku dengan gadis yang berhasil menjadi cinta pertamaku, Lila. Sembilan bulan sudah berlalu sejak perpisahan di taman itu. Sembilan bulan aku tidak pernah lagi mendengar suaranya, apalagi membaca pesannya.
Namun, aku masih belum lupa. Senyumnya, tawanya, bahkan tatapan matanya yang tak sanggup kulihat dalam waktu lama. Ah, kenangan itu... belum hilang. Aku ingat taruhan konyol kami, siapa yang paling kuat lama menatap mata satu sama lain, dan aku pasti yang selalu kalah.
"Aku harus melupakannya. Dia milik orang lain. Aku tidak akan mengganggu hidupnya."
Dengan datangnya aku ke pantai ini, aku memantapkan hati untuk memulai cerita baru. Toh, aku sudah kuliah. Tentunya akan banyak gadis yang seharusnya bisa membuatku jatuh cinta lagi.
Ketika langit mulai gelap, aku berjalan menuju motorku dan tersenyum sendirian. Mungkin sudah saatnya aku mengingkari janji konyolku. Aku boleh saja membonceng gadis lain, karena aku tidak berhasil menjadikan Lila gadis pertama yang kuboncengkan. Hahahaa... aku hanya tertawa, mencoba melepaskan perasaan yang hampir setahun ini masih terpenjara di hatiku. Aaaaaaargh... aku tidak bisa menahan untuk berteriak, membiarkan frustrasi itu terserap deburan ombak.
Kuliah adalah pelarian baruku, sebuah komitmen yang kuniatkan untuk mengalihkan pikiran. Aku menyibukkan diri dengan buku-buku tebal dan diskusi. Banyak gadis yang mendekat, dan aku mulai mencoba berkencan, memaksa diri berinteraksi, mencoba membuktikan pada hati yang keras kepala ini bahwa aku bisa melanjutkan hidup.
Namun, setiap kencan selalu berakhir dengan kekecewaan yang sunyi. Aku membonceng gadis lain, tapi tawa mereka terasa terlalu nyaring, terlalu banyak menuntut. Aku selalu membandingkannya dengan keheningan nyaman yang kubagi bersama Lila, yang hanya diisi oleh suara angin atau obrolan remeh yang terasa begitu penting. Kencan-kencan itu berakhir cepat.
"Terlalu... sibuk. Mereka ingin terlalu banyak," ucapku singkat pada Doni.
Doni hanya tertawa, "Atau jangan-jangan, kamu masih belum move on dari si Lila, ya?"
Aku pura-pura tidak mendengar. Tapi Doni sudah tahu, dan tak lama kemudian, rumor mulai menyusul. Ningsih, yang berteman dekat dengan Lila, adalah sumber informasi yang tidak terhindarkan.
Suatu sore, Ningsih menelepon Doni. “...Iya, kemarin aku lihat Lila kayak habis nangis gitu,” suara Ningsih terdengar samar. “Ardi telepon lagi. Kayaknya mereka lagi ribut besar. Katanya, Ardi curiga Lila punya teman dekat di sini.”
Jantungku langsung mencelos. Itu dia. Jejak yang tidak bisa kuhindari. Sejak perpisahan kami, aku tahu Lila dan Ardi kembali bersama, namun aku tahu ia pasti berada di tengah kekacauan yang sama.