Lima Tahun dalam Lingkaran Desember

ibupertiwi
Chapter #6

Bayangan Ardi dan Taktik Picisan #6

Setelah menyimpan nomor barunya, aku dan Lila kembali terhubung. Kadang-kadang kami berkirim pesan dan melakukan panggilan. Namun, tidak seindah euforia di acara syukuran itu. Obrolan kami di ponsel tak lagi sama. Dulu, satu pertanyaanku bisa dibalasnya dengan tiga gelembung pesan berisi cerita antusias. Sekarang, balasannya seringkali tertahan berjam-jam, dan baru muncul singkat: "Iya, Yan." atau "Maaf, lagi nugas."

Aku mencoba, "Lila, nonton yuk? Ada film baru."

Pesan itu baru mendapat balasan keesokan harinya. "Kayaknya gak bisa, Yan. Ada tugas kelompok."

Minggu depannya, "Maaf, aku harus bantu Ibu." Selalu ada sesuatu. Padahal saat aku nekat menjemputnya di kampus, tawa kami masih sama renyahnya di atas motor. Tapi begitu mesin Paijo mati di depan gerbang rumahnya, tawanya ikut meredup. Saat dia menatapku untuk berpamitan, matanya bergerak gelisah, menghindari tatapanku. Seolah ada sesuatu di belakangku yang jauh lebih menakutkan. Ah, pasti itu. Ini ketakutan yang ia bawa dari hubungan LDR-nya. Ini pasti karena Ardi.

Aku menyadari kesabaranku sudah habis. Aku harus memutar otak. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungannya bersama Ardi. Ningsih sudah tidak bisa lagi jadi sumber informasiku, karena kesibukannya menjadi ibu baru. Satu-satunya kesempatan aku pernah berbincang lama dengan Lila hanya saat menjenguk bayi Doni dan Ningsih. Setelah itu, ia kadangkala menghilang, tak pernah menghubungiku lebih dulu.

Akhirnya, aku menemukan jalan yang penuh risiko. Aku teringat Ika, teman sekelas Lila, yang pernah ia pinjam ponselnya untuk membalas pesanku. Itu terakhir kali aku membaca pesannya lewat nomor lain. Untung saja nomor Ika belum kuhapus.

Aku pun mulai sering berkirim pesan dengan Ika, bahkan beberapa kali bertemu, hanya untuk membahas Lila dan Ardi sialan itu. Terang saja Lila jarang sekali merespon sms atau teleponku: Ardi adalah alasannya.

"Ardi sering marah-marah, Yan. Dia curiga terus," jelas Ika suatu hari.

Ika mengatakan Lila sering mematikan notifikasi pesan atau Lila pernah panik saat ponselnya berdering

Tetapi, ada satu hal yang membuat dadaku sesak. Ika pernah ditunjukkan terusan pesan dari Ardi di ponsel Lila: "Kamu memang sama aja ya sama ibumu, buah memang gak jatuh jauh dari pohonnya."

Tanganku terkepal erat di atas meja kafe. Rahangku mengeras, gigi gerahamku bergemeletuk. Aku harus menarik napas dalam-dalam agar tidak membanting ponsel Ika ke lantai. Gadisku,... gadisku diperlakukan seperti itu."

"Memang ibunya Lila kenapa sih, Yan?" tanya Ika suatu hari padaku.

Aku tahu aku tak berhak menceritakan ini. Ini adalah masa lalu Lila yang ia tutupi rapat. Tapi, saat emosi, aku menjawab. "Itu masa lalu, Ka. Ibunya pernah ada hubungan dengan ayah teman kami, tapi itu sudah lama selesai, bahkan hubungan kami anak-anaknya baik-baik saja." Aku menyadari betapa mudahnya Ardi menggunakan trauma Lila untuk menyakitinya.

Semakin hari aku dan Ika semakin intens bertemu. Ika selalu mencondongkan tubuhnya ke depan saat aku bercerita, matanya tidak pernah lepas dari mataku, seolah ia merasakan setiap beban ceritaku. Hingga suatu hari, Ika menyatakan perasaannya padaku.

“Rian, kamu mau enggak jadi pacarku? Aku janji bisa buat kamu move on dari Lila,” ucapnya, suaranya tulus dan penuh harap.

"Aku sedikit terkejut. Ika menatapku dengan mata penuh harap. Aku terdiam sesaat. Alih-alih memikirkan perasaannya, sebuah skenario liar melintas di kepalaku. Ika. Aku. Lila.

Sebuah senyum tipis, bukan senyum untuk Ika mulai terbentuk. "Siapa tahu..."

Lihat selengkapnya