Ultimatum Lila melalui pesan singkat di akhir tahun 2010 itu adalah keputusan yang menghantamku. Aku tahu, permainan egoisku telah berakhir. Malam itu juga, aku mengakhiri hubunganku dengan Ika. Perpisahan itu terasa dingin dan pantas. Ika tak banyak bicara, dia hanya mengangguk lelah, seolah sudah tahu. Menatapku tanpa air mata. Membuat rasa bersalahku semakin nyata.
Tak lama setelah itu, kudengar Ika berhenti kuliah tanpa alasan yang jelas. Jujur saja, aku terlalu sibuk dengan kehancuranku sendiri hingga aku tidak peduli dengan nasib Ika.
Aku menjalani semester baru dengan hati yang kosong. Aku berusaha jujur pada diriku dan tidak lagi menggunakan orang lain. Namun, takdir tidak mengizinkanku berdiam lama dalam kesendirian. Sekitar April 2011, sebuah pertemuan tak terduga terjadi di perpustakaan kampus. Aku berpapasan dengan Iva, gadis yang pernah kutabrak, pemandu ospek-ku.
Kami sering bertemu di bangku kantin kampus sore hari, setelah semua bising perkuliahan mereda. Aku banyak bercerita tentang kekacauan yang selama ini kurasakan. Tentu saja tanpa menyebut nama Lila, mengenai betapa lelahnya aku berada dalam drama. Iva mendengarkan semua itu, tidak panik, tidak pula menghakimi.
Suatu sore, saat aku sedang larut dalam cerita dengan suara rendah dan frustrasi, Iva tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengulurkan tangan kanannya di atas tanganku yang mengepal di bangku. Sentuhannya dingin, lembut, dan tegas. "Aku di sini," katanya pelan, suaranya seperti air dingin di tengah kegelisahan. Untuk pertama kalinya setelah setahun, aku tidak merasa harus berjuang. Aku menatap matanya yang teduh. Ia adalah janji ketenangan yang kuburu. Aku harus melindungi ketenangan ini, batinku. Aku resmi berpacaran dengan Iva satu bulan setelah pertemuan di perpustakaan itu.
Namun, takdir selalu tahu cara membongkar tembok yang kubangun.
Saat itu hampir pukul sepuluh malam. Aku sedang asyik video call di Skype dengan Iva. Laptopku berada di meja belajar. Di layar, wajah Iva tersenyum, menceritakan detail-detail konyol tentang tugas akhirnya. Wajahnya yang damai, matanya yang teduh, semuanya terasa seperti janji ketenangan yang selama ini kuburu. Bersama Iva, aku merasa telah lepas dari segala kerumitan.
Tiba-tiba, layar ponselku yang tergeletak di samping laptop menyala. Sebuah nama yang seharusnya sudah kuanggap asing muncul. Lila.
Jantungku langsung mencelos, dingin dan sakit. Gerakan di layar Skype, senyum Iva, seolah melambat dan membeku. Aku tahu, hanya melihat namanya saja sudah cukup membuatku gagal.
Aku mengabaikannya. Berusaha fokus pada cerita Iva.
Namun, ponsel itu berdering lagi. Lalu lagi. Tidak seperti panggilan biasa, ini adalah rentetan panggilan yang memaksa. Ada yang salah.
Aku meraih ponsel, dan saat kulihat pesan masuk: "Rian. Aku butuh kamu.."
Rasa bersalah, kekesalan, dan kepedulian yang kukira sudah mati tiba-tiba menyergap. Komitmen terasa ringan. Keputusan dibuat dalam hitungan detik.
Di layar Skype, Iva menatapku dengan kening berkerut. "Rian? Siapa yang menelepon terus? Kamu baik-baik saja?"
Aku tidak memberikan penjelasan. Aku tidak punya waktu untuk berbohong dengan elegan. Aku hanya menatap wajah Iva, wajah yang selama tujuh bulan menjadi pelabuhan terbaikku, dan aku menghancurkannya.
Tanganku bergerak cepat ke mouse. Dengan suara 'klik' yang terasa mematikan di keheningan kamar, aku memutus sambungan video call Skype.
Iva menghilang. Tiba-tiba. Tanpa kata perpisahan, tanpa penjelasan, hanya layar hitam.
Aku punya Iva, seorang wanita yang telah menjanjikan masa depan yang stabil. Tapi saat itu, aku tidak peduli. Komitmen terasa ringan. Hanya gairah dan rasa butuh dari Lila yang terasa nyata, seperti beban yang harus kugendong.