Setelah konfrontasi memilukan di taman pada Desember 2011, aku memang kembali pada Iva. Aku mengaku telah menghilang, tetapi tak pernah kuberi tahu alasan sebenarnya. Iva, dengan kelembutan yang menyakitkan, memilih untuk memaafkan tanpa banyak bertanya. Namun, aku tahu hati Iva tidak sepenuhnya kusentuh, dan hatiku sendiri masih terbagi.
Satu tahun berlalu. Kami berada di kafe yang sama, di meja yang sama, pada jam yang sama setiap Sabtu. Iva bercerita tentang rencana magangnya yang terstruktur dengan wajah damai. Aku mengangguk, minum kopi yang rasanya selalu sama. Tiba-tiba, ada keheningan panjang di antara kami yang seharusnya diisi dengan gairah. Dalam keheningan itu, aku menyadari bahwa Iva tidak pernah membuatku harus berbohong atau bersembunyi. Hubungan ini aman, stabil, tetapi hambar. Jauh di lubuk hati, aku merindukan pukulan emosional yang kubenci dari Lila. Kekacauan yang setidaknya membuatku merasa hidup.
Desember 2012. Aku sedang berselancar di Facebook. Tiba-tiba muncul notifikasi, Lila baru saja mengunggah album foto wisudanya. Ratusan like dan ucapan selamat membanjiri, tetapi mataku fokus mencari satu orang. Aku memindai setiap foto. Tidak ada Ardi. Di momen penting kelulusan itu, pria yang ia pilih berulang kali tidak muncul.
Apakah mereka berpisah? Pertanyaan itu membakar.
Tanpa sengaja, atau mungkin didorong oleh naluri liar yang kubiarkan hidup lagi, aku memencet tombol Like pada salah satu fotonya.
Desember datang lagi. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan ini selalu menjadi tanda bencana dan kebangkitan dalam hidupku. Apakah ini pertanda bahwa aku akan terhubung dengan Lila lagi? Aku gelisah dengan rasa yang tak masuk akal. Aku kembali terobsesi.
Hingga satu minggu setelah insiden like itu, aku menyadari aku tidak bisa lagi menipu Iva. Aku melakukan hal di luar nalar, hal yang kupikir sudah kutinggalkan. Aku memprioritaskan ilusi Lila di atas kenyataan Iva.
Aku menemui Iva. Aku menceritakan hal sepele itu. Foto wisuda dan like yang tak disengaja, lalu mengakui hal yang sebenarnya.
"Iva, aku minta maaf. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Lila."
Wajah Iva tidak menunjukkan keterkejutan, hanya kesedihan yang sudah ia prediksi. Dia tahu perjuanganku, tetapi dia pantas mendapatkan pria yang memilihnya tanpa keraguan. Aku mengakhiri hubungan dengan Iva, lagi-lagi, demi mencoba memulai hal yang belum tentu benar-benar terjadi.
Setelah putus dengan Iva, aku duduk di depan laptop. Jariku melayang di atas nama Lila di Messenger. Aku tahu aku seharusnya tidak. Tiga kali aku menutup laptop dan tiga kali aku membukanya lagi. Aku menekan kirim. Responsnya datang dua menit kemudian, dengan emoji tersenyum. Sangat mudah, terlalu mudah. Nafas lega yang kutarik terasa seperti kebohongan baru. Lila dengan santainya menerimaku, bahkan memberiku nomornya yang baru.
Aku tersenyum puas. Aku berhasil. Aku mengorbankan stabilitasku dengan Iva demi kesempatan terakhir dengan Lila. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, aku mendengar suara Iva yang kutinggalkan: "Jangan dipaksa kalau nggak bisa cerita, aku ngerti Yan."
Lagi dan lagi, Lila masih di atas segalanya dalam hidupku.
Kami akhirnya berjumpa lagi. Aku ingin mengulang kembali saat-saat indah yang selalu kurindukan. Gadis yang kucintai sejak ia masih terlihat polos kini semakin terlihat dewasa. Kami sering bertemu, semakin menyenangkan. Di tengah pertemuan kami, kadang ada panggilan dari Ardi, tetapi Lila abaikan. Hal itu cukup memberitahuku kalau mereka masih bersama.
Sempat satu kali aku bertanya geram, ”Kenapa nggak diangkat?”
”Aku lagi ingin sama kamu,” jawabnya sambil memberikan tatapan tajam padaku.
Aku mulai melihat sikap masa bodoh yang nyata dari mata Lila. Ini pertama kalinya dia jujur. Namun, ada yang mengganjal di hatiku. Ia begitu egois, namun tidak pernah berani keluar dari pintu hubungan toksiknya bersama Ardi. Aku memandang wajahnya yang dingin saat ia mengabaikan panggilan itu, dan aku tidak tahu apa yang ia pertahankan. Apakah ia takut? Atau ia hanya ingin diakui setia, padahal ia bersamaku? Dasar aneh. Tapi entah mengapa, aku yang paling aneh di antara kami. Aku menikmati situasi ini.
Sekitar tiga bulan, aku mulai merasa panik. Biasanya ini waktu terlama hubunganku lancar dengan Lila. Akan ada apa lagi yang menunggu di depan? Aku berusaha menepis ketakutan itu.