Lima Tahun dalam Lingkaran Desember

ibupertiwi
Chapter #9

Ketenangan yang Dipilih #9

Perpisahan terakhir dengan Lila di bangku taman itu, saat dia memaksaku untuk kembali pada Iva, adalah perpisahan yang paling menghantam jiwa, sekaligus yang paling membebaskan perbudakan emosiku. Lila akhirnya memberiku jawaban yang sesungguhnya, bahwa dia tidak pernah memilihku, tetapi setidaknya, dia berhenti ingin menghancurkanku.

Aku kembali ke rumah dan menemukan Iva masih menungguku di teras, seperti mercusuar di tengah badai. Aku memeluknya erat, dan kali ini, kata-kataku bukan lagi bisikan penyesalan, "Aku minta maaf." Kali ini, aku berkata dengan keyakinan yang mengakar, "Aku ingin bersamamu, Iva. Hanya kamu."

Dan demi Tuhan, aku bersungguh-sungguh.

Perlu waktu berbulan-bulan untuk menyembuhkan luka dan keraguan yang kutorehkan pada Iva. Tetapi Iva bersabar. Dia tidak pernah mengungkit Lila. Ia hanya memberiku ruang untuk kembali seutuhnya. Perlahan, aku sadar, yang ia butuhkan hanyalah kehadiran fisik, dan kehadiran jiwaku yang utuh. Sesuatu yang baru bisa kuberikan sekarang.

Iva menempaku menjadi pria yang lebih baik. Dia mengajariku bahwa cinta sejati bukanlah tentang drama yang meledak-ledak atau emosi yang menggantung, melainkan tentang ketenangan, rasa hormat yang mendalam, dan komitmen yang stabil. Aku menemukan bahwa tawa Iva yang tenang jauh lebih menenteramkan daripada kecemburuan Lila yang berapi-api yang selalu kubanggakan dahulu.

Enam bulan berlalu. Aku menyelesaikan kuliah dan menancapkan diri pada dunia kerja. Iva adalah jangkar dan kompas hidupku. Aku tidak lagi mengintip Facebook Lila. Aku tidak lagi membiarkan 'Desember' menjadi bulan yang mencekik dan menghancurkanku.

Desember tahun ini akhirnya terasa hangat dan berpengharapan.

Kami sedang berada di pusat perbelanjaan, mencari kado Natal. Iva menggandeng tanganku, bercerita tentang rencana liburan.

Tiba-tiba, langkahku terhenti. Aku menatap Iva lekat-lekat. Wajahnya yang damai, matanya yang penuh penerimaan, adalah jawaban atas semua pertanyaan yang dulu kuajukan dengan air mata di taman. Inilah ketenangan yang sudah kucari seumur hidup. Inilah orang yang harus kupertahankan.

"Iva," aku berkata, suaraku sedikit bergetar, bukan karena takut, melainkan karena sakralnya momen itu.

Lihat selengkapnya