Surabaya – Yogyakarta, Mei 2014.
Pagi itu, setelah pertemuan tak terduga di taman kota Surabaya, aku dan Lila memutuskan untuk berjalan. Udara dingin masih menggantung. Kami berbicara tentang hal-hal biasa. Pekerjaan, kemacetan, hingga kenangan masa kuliah. Semuanya terasa akrab, terlalu akrab.
"Rian," kata Lila tiba-tiba, suaranya kembali ke nada lirih yang selalu kurindukan. "Minggu depan aku akan pulang ke Jogja. Mau ikut?"
Seketika itu juga, pertahananku runtuh. Spontanitas Lila selalu menjadi racun manis bagiku. Aku mengangguk tanpa berpikir. "Iya, aku ikut."
Seminggu itu, kami saling kirim pesan. Meskipun tidak intens, getaran pada dinding yang telah kususun bersama Iva kembali terasa. Aku bahkan yang membeli tiket kereta, memastikan kami duduk bersebelahan, merencanakan perpisahan yang selama ini tak pernah kami dapatkan. Aku memutuskan, di perjalanan inilah aku akan menceritakan pertunanganku dengan Iva. Aku ingin satu kali saja menciptakan perpisahan yang jelas, yang tidak menyakitkan, atau setidaknya, perpisahan yang manis, untuk sekali saja dalam hidupku. Ada keegoisan yang menyedihkan dalam diriku.
Kami bertemu di Stasiun. Aku masih belum berani menunjukkan cincin di jari manis kiriku. Aku menyimpannya di dalam tas, seolah keberadaannya adalah bom waktu yang kusembunyikan.
Perjalanan itu adalah perjalanan malam. Sepanjang perjalanan di kereta, aku melihat paras cantik Lila yang terlihat begitu bahagia. Tawanya lepas, senyumnya ringan, sama seperti yang pernah kunikmati di awal perjumpaan kami.
Di tengah tawa itu, ada panggilan masuk dari Ardi.
"Angkat aja," kataku, mencoba bersikap normal.
"Nggak apa-apa?" Lila bertanya.
Aku mendengarkan. Suara Ardi di telepon memanggil Lila "Sayang," memintanya berhati-hati di perjalanan. Namun Lila menjawabnya dengan ketus.
"Kalian baik-baik aja?" tanyaku.
Lila mendengus. "Semua baik. Dia sudah nggak pernah selingkuh, dan aku sudah nggak peduli. Sekadar jalani hubungan yang nggak tahu tujuannya, hahha. Sudahlah, nggak usah dibahas. Kamu sama Iva gimana? Semuanya oke?"
"Oke, kok," jawabku, sebuah kebohongan yang jauh lebih berat daripada janji-janji palsu sebelumnya.
Lila tiba-tiba mengide untuk menelpon Ningsih. "Halo Ningsih, aku lagi pulang loh.. Tebak aku di kereta sama siapa?"
Lalu Lila meminta aku untuk menyapa Ningsih. Ningsih yang terdiam, seolah terkejut, terdengar mencari alasan mematikan telepon dengan alibi anaknya menangis.
Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Lila, aku belum berani menceritakan pertunanganku. Aku berpikir, nanti saja kalau kami sudah di rumah masing-masing, aku akan menyampaikan lewat pesan. Itu akan lebih mudah. Itu adalah keegoisan terbesarku.
Malam semakin larut. Lila tertidur. Kepalanya bersandar di pundakku, bahkan aku membiarkan tangannya menggenggam tanganku. Itu adalah ilusi keintiman terakhir, sebuah perpisahan yang terasa sempurna dan berbahaya.
Tiba-tiba ada pesan masuk di ponselku dari Ningsih. "Jangan macam-macam kamu sama Lila ya. Ingat kamu sudah tunangan!" Aku tersenyum membaca pesan itu. Ningsih begitu peduli pada kami, dia tidak ingin aku menyakiti Iva dan tidak ingin Lila tersesat lagi.
Silau pagi mulai masuk ke jendela kereta. Kami sampai di stasiun Yogya. Aku dan Lila menaiki satu taksi online, menurunkan Lila lebih dulu. Dia melambaikan tangannya padaku yang masih di dalam mobil sambil mengucap, "Nanti telepon ya." Aku tersenyum dan masih mengarahkan mataku ke rumah Lila hingga pandangan itu hilang.