Lima Tahun dalam Lingkaran Desember

ibupertiwi
Chapter #11

Kedamaian dan Harga yang Dibayar - TAMAT #11

Pernikahan kami berlangsung sederhana dan hangat di Desember 2014, beberapa bulan setelah konfrontasi hujan yang terjadi di kafe Yogyakarta. Bagi Iva, itu adalah awal dari kebahagiaan yang pantas ia dapatkan. Bagiku, itu adalah penutup yang dipaksakan atas sebuah bab yang terlalu lama ku buka.

Aku masih ingat, saat mengucapkan janji suci, aku menatap mata Iva. Mata yang penuh keyakinan dan maaf. Aku melihat ada bayangan diriku yang lama. Diriku yang pengecut, bersembunyi di sudut aula gereja itu, menertawakan pilihan komitmen yang terlambat. Namun, saat Iva tersenyum, semua keraguan itu lenyap. Kami memulai babak baru dengan pindah ke Surabaya. Kota ini, yang belum menyimpan kenangan pahit tentang Lila, terasa seperti benteng baru bagi keluarga kecil kami, sebuah benteng dari Lingkaran Desember yang kini kuanggap terkunci rapat.

Lima tahun berlalu. Setiap hari yang kulewati bersama Iva adalah bukti nyata bahwa kedamaian dapat dipilih. Iva tidak pernah menanyakan detail tentang malam hujan di kafe. Namun, ia memberiku satu aturan emas yang tak terucapkan: Jangan pernah kembali ke sana, Rian. Dan aku memenuhinya. Surabaya benar-benar menjadi kanvas bagi ketenangan yang Iva janjikan. Kami memiliki rutinitas. Kami menanam harapan. Kami memiliki Daffa.

Daffa lahir satu tahun setelah pernikahan kami. Kelahirannya adalah penebusan sejati. Saat tangan mungilnya menggenggam jariku, aku mengerti, komitmen bukan lagi kata-kata, melainkan darah dan daging. Aku berjanji, anak ini tidak akan pernah melihat ayahnya menjadi pria yang terombang-ambing.

Suatu sore di penghujung tahun 2019, aku, Iva, dan Daffa yang saat itu berusia sekitar empat tahun, makan malam di sebuah restoran keluarga. Kami tertawa, menikmati kebisingan bahagia. Daffa berlari-lari kecil. Iva teringat sesuatu.

"Yan, dompetku ketinggalan di mobil. Aku ke parkiran sebentar ya."

Aku mengangguk. Aku melihat Iva pergi. Kedamaian seolah mengikutinya, merambat perlahan menuju parkiran.

Tak lama kemudian, sebuah suara tertahan menarik perhatianku. Daffa jatuh.

Tanganku bergerak, tetapi sebelum aku mencapai anakku, seorang wanita berambut sebahu sudah lebih dulu berlutut, menenangkan Daffa.

Aku cepat-cepat menghampiri. "Nggak apa-apa, Nak?" tanyaku cemas, sambil mengangkat Daffa.

Daffa mendongak. "Nggak apa-apa, Pah. Udah ditolong sama Tante Cantik."

Aku mengalihkan pandangan dari Daffa ke wanita di depanku.

Lihat selengkapnya