MAHAKARYAKU, mahakarya abadi. Ukir kotak kayu itu berkelindan bersama rapalan mantra kuno yang senantiasa kubisikkan kala memahat dan memolesnya sampai mengilap. Benda itu secara magis telah menunaikan tugasnya yang mulia: memecah belah pernikahan yang dilandasi dusta dan kebohongan. Sehancur-hancurnya.
Kunamai ia “Kotak Interogasi Menyenangkan”. Melihat benda itu bekerja dengan baik sungguh menyenangkan bagiku, karena tidak ada yang lebih menyenangkan dari melihat matinya kejahatan.
Hari ini mahakaryaku kembali memainkan peran yang agung. Ia lagi-lagi berhasil mempersembahkan jiwa orang jahat ke neraka, meski harus ada pengorbanan yang tak semestinya terjadi.
Aku telah tiba di apartemen milik pasangan Keiko dan Hiroshi yang digenangi darah segar, masuk dari pintu yang tak terkunci. Jasad Keiko terbaring di dekat meja makan, dengan tikaman pisau dapur tepat di jantung yang telah berhenti menyemburkan isinya yang merah likat. Matanya membelalak, dan aku menutup mata indah itu dengan kasih.
Sedangkan Hiroshi mati bersimpuh di depan altar, disaksikan patung Buddha dan bingkai foto anak mereka yang sudah terlebih dahulu mati. Hiroshi melakukan seppuku, ritual para samurai yang membayar kegagalan memalukan dengan memotong perut sendiri, yang konon lebih terhormat. Kukira Hiroshi melakukannya karena ia menjadi seorang suami yang gagal sekaligus khianat. Belati tantou yang Hiroshi gunakan untuk membelah perutnya sendiri tergeletak di kanan tubuh matinya. Bersimbah darah. Dari jasadnya yang terduduk, menguar bebauan yang timbul dari isi perutnya yang menyeruak. Bebauan yang tak asing.
Mahakaryaku bersemayam di atas meja, di depan televisi yang masih menyala, menayangkan film drama panas lokal tak berharga. Benda itu seakan menatapku dalam dan mengucapkan kata-kata indah penuh bangga. Aku tersenyum puas. Kuambil secarik kertas yang muncul dari dalam benda itu. Kertas berbubuh sebuah kalimat tanya yang tentu menjadi sebab kematian Keiko dan Hiroshi, mencuat dari sebuah celah bagian depan mahakaryaku, semacam mulut tipis dengan lidah terjulur.
Saat istrimu tak di rumah, bagaimana caramu berselingkuh dengan adik iparmu sendiri?
Pertanyaan yang jelas memantik mereka untuk saling bunuh. Mata ketigaku, di tengah kening, memutar ulang reka adegan kejadian di apartemen itu secara imajinatif.
Mereka memainkan mahakaryaku.
Permainannya sederhana: kau hanya perlu bergantian membacakan pertanyaan yang muncul dari kertas yang tercetak dari benda ciptaanku itu, dan yang ditanya harus menjawab. Bagian yang seringkali menciptakan onar ialah pertanyaan-pertanyaannya yang bisa berisi segala rahasia dan aib yang berusaha disembunyikan oleh orang yang ditanya. Dan bagi siapa pun yang tak ingin memainkan sang mahakarya, maka kesialan akan terus berada di belakangnya. Ada yang terus mencoba menghindar, namun aku memaksa mereka. Mencelakai. Melenyapkan yang mereka cinta. Dengan paksaanlah terkadang semua orang bisa patuh.