Kumonoue-mura
Maret 1994
USIANYA dua puluh waktu menikah lima tahun lalu. Sekarang dua puluh lima, dan belum dapat kerja. Ia sebetulnya ingin sekali bekerja, namun keadaan ekonomi Jepang tengah berusaha bangkit dari krisis akibat terlalu baik pada banyak negara, karena banyak memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara berkembang hingga menjadi bangsa kreditor terbesar di muka bumi. Hal ini menciptakan ruang besar bagi pengangguran baru.
Tomoyama, atau Tomo, mungkin masuk ke dalam kategori itu. Ilmu jurnalistik yang ia pelajari saat kuliah dulu nyatanya tak mampu membawa nasibnya menjadi lebih baik. Ratusan lamaran ia kirimkan kepada kantor-kantor media besar di Jepang, namun selalu kalah oleh mereka yang lebih unggul. Resume Tomo memang tak istimewa. Pengalaman magang di restoran tentu tak menarik mata para perekrut. Mereka lebih menerima pelamar yang pernah magang setidaknya menjadi seorang jurnalis lepas. Ia kadang menyesali keputusannya mengapa ia dulu justru lebih memilih untuk magang di restoran. Pertimbangannya dulu adalah demi memangkas uang makan, dan sama sekali tak terpikir untuk mempercantik resume demi kepentingan melamar kerja kelak.
Tak pernah diterima, Tomo pun memutuskan untuk mencari penghidupan lewat menulis. Menulis apa saja. Artikel. Esai. Cerpen. Opini. Segala hal. Pernah sekali tulisannya dikabari lolos. Sialnya, ia tak pernah melihat surat kabar itu terbit atau pun mendapatkan bayarannya. Kantor surat kabar itu ternyata gulung tikar, dan edisi yang seharusnya memuat tulisan Tomo sama sekali tak pernah dicetak. Tapi ia memilih untuk tak banting setir ke pekerjaan lainnya. Ia memilih untuk tak menyerah. Ia pikir, jika ia memilih berhenti menulis, maka hal itu cuma akan menambah daftar kegagalan dalam hidupnya. Lagipula, menulis bukan hal yang asing bagi Tomo. Ia sudah menulis sejak usia SMP. Beberapa tulisannya dulu sempat lolos di buletin sekolah, sehingga membuatnya percaya diri untuk terus menulis. Tulisan punya nasibnya masing-masing, batin Tomo, dan ia sampai saat ini mungkin sedang sial saja.
Bicara tentang nasib, sebetulnya Tomo tak bisa juga dibilang sial-sial amat. Sebagai anak tunggal, ia menjadi satu-satunya ahli waris setelah kedua orang tuanya mangkat saat usianya tujuh tahun. Keduanya ditemukan mati membiru di dalam sebuah batang pohon berlubang besar, di suatu pagi yang sedih. Tak ada yang tahu siapa yang membunuh keduanya karena tak ada sidik jari yang asing di jasad keduanya. Berita kematian keduanya sempat menimbulkan kehebohan di seluruh penjuru Kumonoue yang selama ini dikenal sebagai tempat yang aman dan damai, yang tiba-tiba terusik oleh sebuah kasus yang hingga kini tak pernah terungkap. Polisi kehilangan jejak. Dan kasus itu ditutup karena tak ada perkembangan berarti.
Di hari kematian kedua orang tuanya, Tomo hanya diberi tahu pamannya, Paman Yamada, bahwa keduanya tengah melebur bersama bintang-bintang. Ia masih lugu saat itu. Sehinggalah ia tiap malam menunggu bintang jatuh, di balik jendela kamarnya, sampai ia tertidur. Di kepalanya, bintang jatuh berarti tanda kepulangan keduanya ke Bumi. Mereka tengah berjalan-jalan di luar angkasa, pikir Tomo. Pikiran-pikiran itu membuainya hingga menciptakan beberapa kali mimpi yang sama persis. Ia bermimpi melihat langit dipenuhi ribuan bintang jatuh, lalu sebuah suara berbisik di balik telinga bahwa pamannya berbohong. Sempat beberapa kali ia terbangun setelahnya dan tak yakin dengan bisikan itu. Sejauh yang ia tahu, pamannya adalah orang yang begitu baik. Hampir tak pernah ada cela yang ia saksikan dengan mata kepala. Satu-satunya cela sang paman yang Tomo ingat adalah sifatnya yang pelupa. Itu saja. Lagipula siapa orang waras yang percaya pada mimpinya sendiri? Namun mimpi yang berulang itu lama-lama melekat di dalam tempurung kepala Tomo, hingga ia lama-kelamaan memercayainya.