Lima Tahun Kesunyian Para Pendusta

Bintang Purwanda
Chapter #3

Arina Komatsu: Si Anak Durhaka

MENIKAHI Tomo sebenarnya merupakan sebuah bentuk perlawanan Arina Komatsu. Sejak lama ia menganut paham bahwa status sebagai anak bukanlah pembatas kebebasan, yang selama ini tampaknya banyak sekali keluarga-keluarga di dunia ini menganut pemahaman bahwa anak harus selalu mematuhi orang tuanya, tak peduli apakah yang harus dipatuhi itu baik atau buruk. Arina tumbuh seperti anak-anak lainnya di dunia yang tumbuh besar dalam tekanan. Ayahnya seorang insinyur perminyakan sukses yang kerap melanglang buana. Ibunya seorang rektor yang disegani dunia akademis Jepang. Dan Arina besar di bawah bayangan nama besar keduanya yang tentu membuatnya menumpuk segala pikiran untuk bebas dan membalas.

Sebetulnya untuk apa sih hidup seorang anak di dunia?

Arina digelayuti segala tanya. Apakah seorang anak dilahirkan hanya untuk menuruti kemauan kedua orang tuanya, dan ia tidak berhak untuk memilih jalannya sendiri? Jika begitu, apa artinya kecerdasan? Buat apa sekolah? Apakah itu hanya demi mengajar sandangan lulusan universitas ini dan itu? Arina memang cukup jauh melangkah di jalan bayang-bayang, namun itu tentu membuatnya muak, dan pada akhirnya ia akan meluah.

Sebetulnya untuk apa sih hidup seorang anak di dunia? Jika hidupnya habis untuk memenuhi hasrat kedua orang tuanya, ke mana lagi ia harus mencari kebahagiaan? 

Arina bertanya, di sebuah kelas pagi. Pertanyaan yang memancing ricuh yang timbul tenggelam. Seolah semuanya sepakat dan ingin mengutarakannya sejak lama, namun urung karena berbagai macam alasan. Lupa. Enggan. Dan hari itu Arina bertanya, mewakili keresahan yang terlupa. Dosen yang tengah berdiri di depan kelas itu tertegun. Dosen itu seperti mendapatkan tonjokan keras di ulu hati yang membuatnya kaku seketika. Puluhan pasang mata menatapnya secara intimidatif, namun dosen itu tentu punya harga diri. Dosen itu lalu menghampiri Arina di kursinya.

Lalu menamparnya. Keras sekali.

Pagi cerah itu seolah membeku. Jarum jam berhenti berdetak. Kicau burung di pohon-pohon cedar berubah sesenyap malam yang pekat.

Apakah tamparan itu jadi jawaban? Tidak, bagi orang-orang biasa. Namun itu cukup menjadi jawaban buat Arina. Arina pun mengerti bahwa waktunya untuk membalas sudah tiba.

Lihat selengkapnya