KUMONOUE berarti ‘di atas awan’. Kota itu, menurut cerita legenda para tetua, dulu memang merupakan sebuah kota yang berada di atas awan yang konon memuncaki sebuah gunung tertinggi sejagat raya, lebih tinggi dari puncak Himalaya. Kota itu bersalju abadi, dan warganya konon merupakan keturunan dewa-dewi yang singgah dari kayangan. Untuk sekadar pergi ke kota terdekat guna mencari pasokan yang tak mereka punya, para saudagar harus melakukan perjalanan menuruni dataran tinggi itu selama berbulan-bulan lamanya. Awalnya tak pernah ada keluhan. Hingga di suatu zaman, para saudagar yang baru pulang dari kota terdekat bercerita banyak bahwa Kaisar Jepang mulai menggulirkan restorasi yang dipandang merupakan geliat menuju kehidupan sosial yang modern. Namun karena jarak tempuh Kumonoue yang sangat jauh, membuat kota tersebut terlupakan, dan sempat beberapa kali delegasi Kaisar putar arah menuju pulang karena tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Medan menuju Kumonoue sangat berat karena didominasi bebatuan, salju, dan tiupan angin dingin yang sangat kencang. Mulailah muncul permintaan warga kota kepada para biksu agar bersedia berbicara langsung kepada Dewa untuk menurunkan ketinggian dan mempersempit jarak Kumonoue dengan kota lainnya. Dewa kabulkan. Ketinggian Kumonoue turun sebanyak beberapa mil, dan jarak tempuh ke kota lainnya didekatkan. Meski sudah dikabulkan begitu, tetap saja julukan sebagai ‘kota terpencil’ tak hilang dari Kumonoue. Jarak tempuh masih terbilang jauh, meski waktu jelajahnya memendek. Tapi manusia tak pernah puas. Mereka kembali meminta para biksu agar kembali bersedia meminta kepada Dewa agar Kumonoue tak lagi berada di dataran setinggi itu, serta agar lebih didekatkan lagi ke kota lainnya. Permintaan itu membuat Dewa marah, karena jika ketinggian Kumonoue diturunkan lagi, maka dewa-dewi tak bisa lagi singgah di sana. Manusia sungguh merupakan makhluk tak tahu diri, kata Dewa. Karena murka, Dewa meninju Kumonoue hingga kota itu hancur lebur dan datarannya yang sebelumnya tinggi berubah menjorok ke Bumi. Kumonoue tampak seperti penyok ke dalam, dengan sisi-sisi sekitarnya yang masih tinggi. Karenanya, letak Kumonoue kini dikelilingi tiga buah bukit tinggi tanpa nama.
Di antara kaki setiap bukit, mengalir sungai jernih berarus tenang, menembus hutan yang masih asri merambati bukit-bukit itu. Setiap pagi dan sehabis hujan merupakan saat-saat terbaik untuk menikmati alam Kumonoue. Akan tercium jejak-jejak wangi segar pinus, aroma tanah basah, gemercik air sungai yang menembus bebatuan, dan kicau burung-burung di dahan yang jauh. Dalam setahun, Kumonoue lebih sering dinaungi mendung, yang menciptakan nuansa kelabu yang intens. Akan tetapi, kehangatan warganya menimbulkan perasaan damai yang magis. Tak ada yang bisa memahami itu. Apakah kedamaian itu disebabkan karena kota itu dulu pernah menjadi persinggahan dewa-dewi dari kayangan? Tak pernah ada yang tahu jawabannya.
Sejak kemurkaan Dewa waktu itu, Kumonoue lebih menjadi tempat tinggal bagi para pendatang, bahkan sampai sekarang. Keluarga Tomo pun pendatang, jika merunut silsilah, meskipun memang leluhur Tomo adalah orang-orang pertama yang tinggal di Kumonoue pascakerusakan total di kota itu. Leluhur Tomo merupakan bagian dari mereka yang mulai kembali membangun Kumonoue, melihat potensi alam sekitarnya yang luar biasa. Satu-satunya kekurangan Kumonoue, lagi-lagi adalah jarak tempuh yang jauh dari kota terdekat. Untuk sampai ke kota terdekat, siapa pun harus melalui jalan perbukitan yang berkelok, menembus hutan pinus yang rimbun, dan menyusuri jalanan pinggir sungai nan jernih. Belum ada kereta yang mencapai kota itu, dan karena konturnya yang kebanyakan tinggi, nyaris mustahil untuk bepergian dengan sepeda. Sehingga mau tak mau bagi siapa pun, baik datang maupun pergi, harus menempuh jalan panjang itu dengan mobil.
Jalan panjang itu pula yang harus Arina lalui di hari-hari kerjanya. Ia harus sudah bangun pukul empat, dan pergi bekerja tiap pukul lima. Jika tidak, ia pasti akan terlambat masuk kerja karena untuk mencapai kantor, ia harus menempuh perjalanan selama tiga jam. Untung saja, Corolla DX abu-abu yang ia miliki sejak tahun-tahun terakhir kuliah masih tetap bisa diandalkan. Mobil itu masih sanggup dikendarai melalui jalan akses Kumonoue yang berkelok, naik dan turun bukit. Kadang ada tikungan tajam. Ada jalur yang menembus hutan. Semuanya Arina lalui sendirian. Suaminya, Tomo, memang bisa menyetir, namun ia kurang lihai. Gas, rem, dan setir sering tak sinkron. Setiap kali Tomo menyetir, Arina selalu diserang panik. Dibandingkan Tomo, Arina jauh lebih terbiasa melakukannya.
Pascakrisis 1991, perusahaan media tempat Arina bekerja, Amano Media Corporation, berusaha keras untuk tetap bertahan dan tidak kolaps. Berbagai kebijakan dijalankan, bahkan sampai merampas hak-hak mendasar tenaga kerja. Target harian yang harus dipenuhi terlampau banyak, lebih banyak dari waktu yang mereka punya. Hal ini tentu saja dialami Arina yang menjabat sebagai sekretaris direktur. Ia harus ada kapan pun direktur hadir di kantor. Direktur tentu belakangan sering sekali mengadakan rapat dengan para manajer, dan Arina yang harus mempersiapkan segala keperluan rapat direktur seprofesional mungkin. Jadwal rapat. Notulensi. Presentasi. Semuanya. Semuanya Arina lakukan, bahkan seringkali ia pulang larut, atau harus pergi ke rapat di hari Minggu. Di awal-awal kesibukan itu memuncak, saat itu musim semi tahun 1992, Tomo sempat mengeluh kepada istrinya yang bekerja seumpama mesin.