SETELAH kujemput dari rumah pasangan Keiko dan Hiroshi yang telah mati dibunuh dan membunuh diri sendiri, benda itu kutimang-timang dengan perasaan yang mendalam. Secara imajiner ia berbicara kepadaku di bus. Apa kabarmu? Apa kau merindukanku?
Aku tersenyum. Mahakaryaku. Ia mengilap kala diterpa pendar lampu-lampu toko dan jalanan yang datang dan pergi. Betapa aku telah menciptakannya dengan sempurna, demi sebuah tujuan yang mulia.
Tentu tak pernah kulupakan saat sebuah suara berbicara kepadaku di tepi Danau Galilea. Lenyapkan para pendusta. Matikan para pengkhianat. Cinta kasih bukan untuk main-main. Lalu muncul sewujud lelaki berjubah coklat terang dengan aroma tubuh yang wangi kesturi. Rambutnya sebahu dan tampak mengilap, seakan-akan baru saja ia mengangkat kepalanya dari dalam air, namun tak ada tetesan apa pun di dahinya. Lelaki itu menyingkap topi yang kukenakan, lalu dengan dua jari, ia mencolok mata ketigaku di tengah dahi. Menyakitkan. Semenyakitkan kala aku menyaksikan bagaimana kedua orang tuaku melakukan dosa kedustaan khianat yang sama, yang selama ini tak pernah aku ketahui apa yang mereka lakukan masing-masing saat mereka ada di tempat berbeda. Yang selama ini kuketahui adalah mereka berpisah karena tak lagi melihat ada kecocokan. Sungguh, itu alasan paling brengsek yang pernah kudengar.
Lalu aku bersumpah untuk membayar itu semua. Itu sungguhlah dosa yang memalukan, dan kurasa aku harus mengganjar itu dengan perbuatan apa pun yang setimpal. Kuputuskan untuk terus hidup demi menjaga definisi cinta kasih manusia.
Kubuatlah mahakaryaku. Waktunya tak singkat, karena ukirannya harus sempurna dan akurat, serta setiap sudutnya harus kuselubungi dengan mantra-mantra yang kupelajari diam-diam agar ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Kunamai ia “Kotak Interogasi Menyenangkan” (meskipun aku lebih sering menyebutnya “mahakarya” saja, karena namanya yang terlalu panjang), karena rasanya memang menyenangkan saat kau baru saja selesai melakukan sebuah perbuatan baik, meski kau hanya jadi perantara.
Setelah mahakaryaku selesai, aku terpana dan jatuh cinta pada ciptaanku sendiri. Benda mirip kotak musik itu terbuat dari kayu yang serat-seratnya seumpama urat-urat nadi yang hidup. Seakan ia memang bisa berdialog denganku tanpa pernah ada orang yang bisa mendengar apa yang ia katakan. Mahakaryaku, mahakarya abadi.