“AKU tak percaya betapa bencinya kau dengan hal itu,” komentar Arina di suatu Minggu pagi yang damai, menjelang krisis 1991. Ia menertawai Tomo yang tenggelam di sofanya. “Padahal itu ‘kan enak.”
“Enak apanya?” jawab Tomo bersungut. “Sungguh, benda ini menyebalkan sekali.”
Mereka berdua tengah memainkan sebuah benda aneh mirip kotak musik yang tiba-tiba hadir di depan pintu rumah, di sebuah pagi yang mendung. Benda itu disertai cara pakai, dengan imbauan agar tak menolak pemberian itu.
Karena menolak pemberian itu merupakan salah satu dosa terberat yang pernah ada dalam sejarah manusia, demikian tulisan itu berbunyi. Mainkan, jangan dilenyapkan, nanti celaka.
Aturan mainnya sederhana: satu, sepasang suami-istri harus ada di ruangan yang sama; dua, undi siapa yang akan bertanya pertama kali, jika si pria, maka tekan tombol biru di benda tersebut, jika si wanita, tekan tombol merah jambu; tiga, setelah menekan tombol, akan muncul selembar kertas tercetak dari benda itu, berisikan sebuah pertanyaan yang harus ditanyakan oleh si penanya pertama dan wajib dijawab si lawan main. Permainan “interogasi” ini selesai setelah masing-masing pemain bertanya tiga kali. Ini adalah permainan yang sederhana, sebenarnya, namun pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kertas yang tercetak itu secara ajaib bisa mengetahui masa lalu masing-masing pemainnya. Dan menuju pertanyaan akhir, lingkup pertanyaannya semakin dalam dan pribadi. Semakin beraroma masa lalu, suram, dan ngeri.
Di sebuah giliran, Arina mendapatkan kertas berisi pertanyaan, “Mengapa kau begitu membenci kuah mi yang dimakan dengan nasi?” Pertanyaan yang konyol, namun ternyata menyimpan sebuah kenangan pahit bagi Tomo hingga ia membencinya dan berusaha melupakannya dari ingatan. Dan benda itu, dengan cara yang tak mereka tahu, bisa mengetahui hal yang sangat pribadi dari Tomo, kemudian memunculkannya lagi puluhan tahun setelah terkubur.
Arina yang mendengar pertanyaan ini lantas tertawa, dan menggoda Tomo yang merautkan wajah kusut. Namun karena Arina melihat ada sebuah luka yang sembunyi di balik mata Tomo yang tampaknya sangat serius, ia pun memutuskan untuk menyudahi candaannya.
“Katakanlah kepadaku,” kata Arina dengan intonasi yang sangat personal sambil menggenggam tangan Tomo, “apakah ada luka di baliknya?”
Tomo yang merautkan ketidaknyamanan akibat munculnya pertanyaan itu kemudian melunak, lalu menghela napasnya dengan embus yang keras. Arina memeluk Tomo, menenangkan lelaki itu.
Tomo memulai kisahnya. Saat itu usianya enam tahun. Neneknya masih hidup waktu itu, ia belakangan tinggal bersama Tomo dan kedua orang tuanya di Kumonoue karena sepeninggal kakek Tomo, ia hanya hidup sendirian di Nagoya. Sebagai anak kecil yang sudah jatuh cinta dengan mi instan, Tomo selalu ingin memakannya setiap hari. Ia sudah memakannya sejak dua tahun yang lalu. Neneknya, yang tanpa disengaja menangkap basah Tomo yang sedang asyik makan mi di dapur, memaksa Tomo untuk memakannya bersama nasi. Sesendok nasi begitu saja si nenek tuangkan di atas mangkuk mi yang sedang disantap Tomo.
“Makan dengan nasi!” perintah si nenek dengan mata melotot. Tomo yang kala itu masih kecil langsung berteriak dengan rengek marah karena keasyikannya diganggu. Namun si nenek langsung menempeleng kepalanya beberapa kali hingga Tomo terjungkal dari kursinya. Tomo menangis kencang, namun itu tak menghentikan si nenek untuk terus memukuli Tomo. Kedua orang tuanya saat itu tengah keluar sebentar. Mendapati tubuh Tomo yang bengap, kedua orang tua Tomo menanyakannya kepada si nenek tentang apa yang baru saja ia lakukan terhadap Tomo, namun wanita tua itu menyangkal bahwa bengap itu disebabkan Tomo yang jatuh dari kursi. Bengap itu makin sering, dan itu membuat kedua orang tua Tomo curiga.
Di suatu kesempatan lain, Tomo kembali kedapatan neneknya memakan mi dan ia lagi-lagi dipukuli. Namun kali itu kedua orang tua Tomo ada di rumah. Melihat Tomo dipukuli secara terang-terangan, kedua orang tua Tomo jelas hendak menghentikannya. Namun si nenek menyergap Tomo dengan todongan pisau yang menempel dingin di lehernya, mengancam agar kedua orang tua Tomo tak ikut campur dan berusaha menghentikannya.
“Tolong hentikan ini, Bu,” mohon ibu Tomo sambil menangis. “Ini urusan sepele, dan tak perlu Ibu sampai memukul dan mengancam nyawa Tomo seperti itu.”
“Kaubilang ini sepele?” sambar si nenek dengan tatapan nyalang. “Membiarkan anak sendiri makan mi setiap hari? Memakannya dengan nasi adalah pilihan terbaik supaya cucuku tetap sehat!”
“Bu, tapi kenapa Ibu harus memukulinya?”
Ayah Tomo mendekat, namun pisau yang menempel di leher Tomo makin menekan. Tangannya yang tremor menyebabkan pisau tajam itu bergesek di kulit leher dan mengirisnya perlahan.
“Bu! Ibu melukai Tomo!” pekik ibu Tomo. Si nenek tak goyah, meski lama-kelamaan tangannya mulai berlumuran darah Tomo.
“Pergi kalian berdua,” perintah si nenek. “Aku bisa mengurusnya sendiri. Jika kalian tak beranjak, anakmu akan kehabisan darah.”