KRISIS keuangan yang melanda Jepang pada 1991 benar-benar mengguncang negara itu tanpa ampun. Ini semua diawali oleh perjanjian beberapa menteri keuangan dan gubernur bank berbagai negara pada 1985 untuk menurunkan nilai mata uang dolar Amerika Serikat, si anak mami yang harus senantiasa disayang, terhadap yen Jepang dan Deutsche Mark Jerman melalui campur tangan langsung di bursa valuta asing. Mengurangnya nilai mata uang dolar berakibat pada peningkatan nilai yang tajam pada yen Jepang. Tingginya nilai yen membuat industri perekonomian dalam negeri tak bergairah. Pemerintah Jepang kemudian membuat kebijakan penurunan diskonto resmi. Yen pun menguat, akan tetapi terjadi kerugian besar pada aset-aset di bursa yang berlandaskan pada nilai dolar. Karena para investor yang menyimpan dana di luar Jepang tak mau ambil risiko, maka berdatanganlah dana-dana tersebut ke Jepang dalam jumlah yang sangat besar hingga membuat harga saham di bursa dan harga tanah di pasar real estate meningkat drastis. Kenaikan nilai aset dan laba menyebabkan banyak perusahaan dan individu memperbesar angka investasi yang kebanyakan berupa saham dan tanah. Tak mau rugi dengan momentum tingginya nilai aset, banyak bank memperbesar angka pinjaman hingga mencapai skala yang terlalu besar, hingga menciptakan apa yang disebut sebagai “ekonomi gelembung”.
Utang memang serentan itu, selemah gelembung sabun. Ia bisa menghancurkan siapa pun, bahkan satu negara sekali pun. Gelembung itu suatu waktu akan pecah, dan itu keniscayaan. Maka meletuslah gelembung itu, seketika membuat situasi di Jepang sulit. Banyak perusahaan gulung tikar, dan beberapa kepayahan dihantam badai krisis. Termasuk Amano Media Corporation, sebuah perusahaan swasta yang bergerak sebagai konsultan periklanan dan media, tengah berupaya agar perusahaannya tak kolaps. Perusahaan rekanan bisnis mereka satu per satu tutup. Tentu, yang biasanya dari sanalah Amano memperoleh keuntungan, tiba-tiba sekejap mereka harus berhadapan dengan sesuatu yang berat.
Daisuke Kawabata, pria paruh baya bertangan dingin di balik bisnis Amano yang sempat mencapai kegemilangan dalam sepuluh tahun terakhir, tampak kewalahan menangani perusahaan yang ia pimpin. Rekanan mereka bangkrut. Angka transaksi bisnis mereka menunjukkan grafik menurun. Daisuke tentu harus memutar otak, setidaknya agar perusahaan mereka bisa bertahan. Ia pada akhirnya mengeluarkan kebijakan yang dulu sempat ia kritik habis-habisan, dan kini ia menelan ludahnya sendiri: menambah jam kerja karyawan dan target capaian harian. Daisuke tak punya pilihan. Tentu kemudian muncul suara-suara sumbang yang kembali mengungkit seberapa keras ia dulu menentang kebijakan itu di depan dewan direksi, di suatu rapat yang pelik.
“Menambah jam kerja karyawan adalah kebijakan terburuk sepanjang sejarah perusahaan ini berdiri,” protes Daisuke, dulu. Suaranya berapi-api. Telunjuknya mengacung-acung. “Karena itu tak manusiawi!”
Penambahan jam kerja karyawan yang digariskan kebijakan itu pada dasarnya hanyalah penambahan 1 jam, namun dengan sisi kontroversi bahwa gaji pegawai akan tetap sama. “Kebijakan ini demi kelangsungan perusahaan ini, perusahaan kita semua,” kata Direktur.
Alasan komunal tersebut dipandang para pegawai sebagai pemanis belaka. Akibatnya, muncul gelombang protes oleh para pegawai untuk menentangnya, hingga akhirnya kebijakan itu berhasil dimentahkan. Saat peristiwa tersebut terjadi, Daisuke masih menjabat sebagai manajer operasional. Lalu beberapa tahun setelah itu, direksi perusahaan mengalami kegaduhan internal. Pasalnya, Direktur diisukan terlibat dalam skandal korupsi seorang politisi muda yang tengah mengemuka. Kehilangan muka seketika, direksi pun segera melakukan rapat darurat dan memutuskan Daisuke untuk dipromosikan menjadi pengganti Direktur. Daisuke dipertimbangkan karena ia dipandang baik oleh para pegawai, dan memiliki kesan sebagai pendengar yang baik. Sebetulnya ada calon-calon lainnya selain Daisuke, namun Daisuke memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari para pesaingnya, sehingga ia dapat menang dengan mudah. Melihat situasi ini, para investor Amano semakin memercayai perusahaan, hingga nilai sahamnya meningkat tajam. Ditambah lagi ketika Daisuke naik jabatan menjadi pimpinan, ia menjalankan berbagai strategi matang yang membuat Amano menjadi perusahaan media ternama yang diperhitungkan. Namun sialnya, di tahunnya yang kesepuluh, krisis mahadahsyat terjadi. Daisuke ditantang untuk tetap menjaga perusahaan agar tetap berdiri tegak, dan ia nyatanya melakukan segala hal yang mungkin untuk dilakukan, meski mencoreng namanya sendiri. Yang menjadikannya berbeda dari pimpinan-pimpinan sebelumnya, adalah caranya dalam melakukan pendekatan kepada para pegawai. Daisuke menggelar rapat-rapat untuk memastikan seluruh pegawai Amano mendengar kebijakan itu dari mulut direkturnya sendiri, serta alasan mengapa ia mengambil keputusan itu. IA tak peduli bagaimana melelahkannya menjalankan rapat-rapat yang sama untuk departemen dan unit yang berbeda-beda. “Ini adalah demi Amano kita bersama,” kata Daisuke, berulang-ulang, dalam rapat-rapat yang nyaris serupa itu. “Jika Amano runtuh, tentu kita akan sedih sekali, dan entah di mana lagi kita bisa mencari penghidupan.” Kegigihan Daisuke dalam melakukan pendekatan yang manusiawi itulah yang membuat para pegawai Amano bertahan.