SEMAKIN sibuknya Arina di kantor pascakrisis 1991 membuat Tomo semakin kesepian. Mereka belum punya anak untuk diurus, dan sepanjang tahun mereka melakukan siklus yang sama: Arina pergi ke kantor sebelum fajar terbit, dan pulang saat Tomo nyaris terlelap, Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu yang seharusnya jadi hari istirahat, seringkali Arina isi dengan pekerjaan kantor yang ia cicil dengan membawanya ke rumah. Tomo awalnya jengah melihat Arina yang terlalu lelah, namun ia sadar bahwa sebagai suami ia sendiri belum punya pekerjaan tetap, sehingga ia rasa tak berhak untuk banyak menuntut. Selama ini waktu-waktunya ia habiskan untuk menulis tanpa fokus yang jelas. Artikel. Esai. Cerpen. Apa pun. Setiap kali selesai, tulisan-tulisan itu ia kirim, dan belum ada kabar baik yang berbalas. Selain menulis, ia habiskan harinya untuk berkebun di samping rumah atau berburu di hutan. Karena ia melakukan itu semua sendirian, baginya kesepian tetap menyeruak di ruang-ruang rumahnya yang kosong.
Setiap pagi, setelah Arina berangkat bekerja, Tomo menyeduh secangkir kopi dan membaca koran yang datang setiap hari, ditemani sarapan yang Arina masak sebelum pergi. Ketika matahari mulai naik dengan sinarnya yang keemasan, ia mulai bersih-bersih dan berkebun. Jika mereka sedang ingin makan daging rusa, burung, atau ayam hutan, Tomo akan pergi berburu setelahnya. Jika ingin makan ikan, ia akan memancing. Ingin makan daging sapi, maka ia akan pergi bersepeda ke tukang daging. Biasanya rutinitas itu akan selesai di pukul sepuluh, dan ia akan menulis sampai sore.
Namun sempat distribusi koran di Kumonoue tersendat selama sepekan akibat loper koran di kota kecil itu tutup usia. Ia adalah seorang pria tua yang gigih, satu-satunya loper koran yang distributor itu miliki. Selama sepekan, warga Kumonoue merasakan kehilangan yang teramat sangat, karena loper itu begitu dikenali semua orang sebagai orang yang ramah. Di samping itu, ketidakhadiran surat kabar di rumah-rumah para langganan tentu membuat pagi-pagi mereka berbeda. Seperti ada yang kurang.
Namun tentu distributor koran di Kumonoue tak ingin jatuh hanya karena kehilangan seorang loper. Seminggu setelah sang loper koran berpulang, muncul separas gadis cantik berambut coklat tua yang mulai diakrabi warga Kumonoue. Namanya Eri Shiraishi. Ia adalah anak dari si mendiang loper koran. Sebagai anak sulung dengan tiga orang adik yang masih sekolah dan ibunya yang sudah lanjut usia, Eri pun merasa ia harus menjadi tulang punggung keluarga, sepeninggal sang ayah. Jika bukan ia yang mencari penghidupan, siapa lagi yang akan melakukannya? Eri pun mengajukan diri ke distributor koran tempat ayahnya dulu bekerja, yang tentu saja menerima Eri dengan senang hati. Sejak itu, wajah Eri sering terlihat di mana-mana karena ia bertugas untuk mengantar koran ke seluruh penjuru kota kecil itu. Untung saja tak ada pelanggan koran yang tinggal di dataran berbukit tinggi, sehingga ia masih mampu berkeliling Kumonoue dengan sepeda.
Pertama kali Tomo bertemu dengan Eri di suatu pagi berlangit keemasan, ia heran mengapa yang mengantarkan koran bukan pria tua biasanya. “Itu ayahku,” jelas Eri, “ia meninggal sepekan yang lalu, dan akulah yang akan meneruskan tanggung jawabnya.” Tomo kagum melihat kegigihan gadis muda itu, ditambah lagi setiap kali Eri tiba, pakaiannya dibasahi keringat.
“Pasti rasanya dingin sekali, ya,” komentar Tomo di suatu hari yang lain. Eri berpeluh, dan sepanjang perjalanan tentu ia diterpa angin dingin yang berpusar di Kumonoue.
“Tapi aku senang melakukannya,” kata Eri sambil sejenak singgah karena kelelahan melewati jalur berbukit. Katanya ada seorang pelanggan baru, dan menuju ke rumahnya harus melalui jalan bukit. Tapi ia mengaku tak keberatan dengan tugas barunya. “Melihat keramahan warga kota ini senantiasa membuatku bahagia.”
Sejak adanya tugas baru untuk mengantar koran ke pelanggan yang bermedan sulit, membuat Eri lebih lama singgah di teras rumah Tomo. Tomo perlakukan ia sebagai tamu. Ia sajikan secangkir teh dan kudapan sederhana, dan Eri menyantap semuanya lahap. Sembari mengisi tenaga untuk kembali mengayuh sepedanya, Eri banyak bercerita tentang dirinya sendiri, meski Tomo tak banyak mengumpan soal.
“Aku orang yang tak mudah jatuh hati,” ujar Eri. “kecuali kepada seorang penyair atau penulis.”